Seorang wartawan harus menyiarkan
kebenaran. Kebenaran itu merupakan fakta yang benar secara ontologis,
berkonteks hukum formal, tidak melanggar hak asasi manusia dan dianggap benar
oleh masyarakat. Dengan demikian, tidak ada kriteria: yang dianggap benar oleh media pers yang
memberitakannya, dan tidak ada pula kriteria: yang dianggap benar oleh
kepentingan politik. Nah, kriteria berita seperti inilah yang diwajibkan oleh
jurnalisme presisi.
Menurut David Pearce Demers dan
Suzanne Nichols, dalam buku Precision
Journalism: A Practical Guide, media pers sudah menggunakan jurnalisme
presisi sejak tahun 1935. Kenyataan ini ditandai oleh pemberitaan hasil jajak
pendapat tentang warga negara Amerika Serikat yang merokok oleh majalah Fortune.
Seiring dengan perkembangan
teknik jajak pendapat, jurnalisme presisi juga berkembang. Tahun 1973, masih
menurut David Pearce Demers dan Suzanne Nichols dalam buku yang sama, muncul
buku Precision Journalism: A Reporter’s
Introduction to Social Research Methods. Buku ini kemudian menjadi
referensi standar dalam mempraktikkan jurnalisme presisi. Sejak itu jurnalisme
presisi menemukan bentuknya sebagai teknik untuk mengumpulkan fakta.
Di Indonesia, konon praktik
jurnalisme presisi sudah berlangsung sejak lama, paling tidak sejak tahun 1971.
Waktu itu, harian Kompas menyiarkan
berita tentang Pemilu yang didukung oleh hasil polling Litbang Kompas. Namun,
pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, praktik jurnalisme presisi menjadi
sangat populer. Soalnya, beberapa media penyiaran melakukan penghitungan cepat terhadap
hasil Pilpres 2014. Hasil penghitungan cepat itu ternyata berbeda antara yang
disiarkan sebuah televisi swasta dengan televisi swasta yang lain. Tidak heran
bila ada yang mengatakan bahwa penyiaran berita tentang hasil penghitungan
cepat itu tidak lagi presisi. Sudah terjadi penggiringan opini masyarakat
terhadap calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Persoalannya lantas, benarkah
praktik jurnalisme presisi telah gagal dalam penyiaran berita tentang
penghitungan cepat hasil Pilpres 2014? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan
ini. Soalnya, praktik penghitungan suara setiap lembaga tentu berbeda tingkat
kesalahan (error) nya. Sudah begitu,
standar yang dimiliki setiap lembaga survei berbeda satu sama lain. Yang jelas,
penghitungan cepat merupakan salah satu metode yang dipakai untuk mengumpulkan
data oleh jurnalisme presisi. Masih ada metode yang lain, seperti analisis isi
dan survei. Dengan kata lain, ada wartawan yang menggunakan hasil analisis isi
dan survei untuk melengkapi berita yang disiarkannya.
Dengan demikian, penerapan
jurnalisme presisi dipilih untuk memperoleh gambaran yang akurat
tentang sikap atau pandangan individu atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Data
yang dikumpulkan—melalui survei, polling,
analisis isi, dan penghitungan cepat—disajikan dalam grafik dan teks untuk
memudahkan masyarakat menangkap kebenaran yang terkandung dalam fakta. Maka
mempraktikkan jurnalisme presisi merupakan perbuatan yang mulia.***
Rejodani,
15 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar