Dalam tulisan berjudul
“Berkas Panama dan Jurnalisme Investigasi”, Wijayanto menyarankan agar media
pers menggunakan jurnalisme investigasi untuk membongkar perbuatan jahat yang
dilakukan pengusaha dan pejabat Indonesia yang namanya tercantum dalam Berkas
Panama (Panama Papers). Selain itu, pada akhir tulisan yang disiarkan
Koran Tempo, 18 April 2016 tersebut,
dia menulis: “Semoga skandal Panama menyentak kesadaran para jurnalis
Indonesia, dan juga para perusahaan media, untuk memulai tradisi baru
jurnalisme investigasi”.
Ide ini tentu saja
baik. Namun, tidak mudah untuk menjadikan praktik jurnalisme investigasi
sebagai sebuah tradisi. Soalnya, tradisi itu berkaitan dengan cita rasa
wartawan tentang sebuah berita. Cita rasa itu bertolak dari kepuasan yang
terbentuk di kalangan wartawan terhadap berita yang ditulisnya. Kalau seorang
wartawan sudah merasa puas dengan berita yang ditulisnya, dia tidak akan
mempersoalkan teka-teki atau misteri tentang topik yang terkandung dalam berita
yang ditulisnya. Kalau sudah begini, sesungguhnya praktik jurnalisme
investigasi sudah berhenti.
Memang tidak mudah
memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah teka-teki atau membongkar sebuah
misteri. Soalnya, tidak jarang informasi tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan
teknik mengumpulkan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini,
dalam jurnalisme, biasa disebut investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan
menggunakan investigasi, disebut jurnalisme investigasi.
Sesungguhnya
jurnalisme investigasi adalah jenis jurnalisme berdasarkan teknik mengumpulkan
fakta. Jurnalisme ini menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang biasa
dipakai dalam jurnalisme, mulai dari press
release, konperensi pers, wawancara dan dokumen. Khusus yang dua terakhir
ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan menelusuri dokumen
rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi. Karena tersembunyi,
usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya tidak banyak wartawan
yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.
Praktik jurnalisme
investigasi tidak hanya perlu dalam mengungkapkan korupsi, tetapi juga
mengungkapkan perjalanan tokoh yang dikisahakan dalam sebuah biografi. Soalnya,
tokoh yang dikisahkan dalam biografi memiliki ego yang besar. Ego di sini,
hendaklah dipahami sebagai perasaan, pikiran, dan kesadaran bahwa di berbeda
dengan yang lain. Dengan karakteristik seperti ini, dia kadang-kadang tampil
sebagai pribadi yang paling pintar, paling benar dan paling hebat. Tegasnya,
dia lebih superior daripada tokoh lain.
Tentu saja tidak ada
yang salah dengan sikap tokoh yang seperti ini. Justru sikap ini perlu dalam
kehidupannya agar bisa mengembangkan dirinya secara optimal. Yang tidak boleh
tentu saja bila sikap ini meluncur pada egoisme
atau self importance.
Namun, semua perasaan
superior ini harus punya bukti keras (hard
evidence). Ia harus didukung fakta yang lengkap dan bisa diterima akal
sehat. Ia juga harus memenuhi tuntutan verifikasi dan konfirmasi. Nah, semua
ini hanya bisa ditemukan lewat praktik jurnalisme investigasi. Dengan kata
lain, praktik jurnalisme investigasi akan mampu menjawab teka-teki seorang
tokoh yang dikisahkan dalam sebuah biografi.
Pada titik inilah kita
mengatakan bahwa jurnalisme investigasi membantu wartawan dan biograf dalam
menghadirkan jawaban dari misteri atau teka-teki yang terkandung dalam kehidupan
seorang tokoh. Pemahanam ini diperlukan justru pada kondisi sekarang ini: di
saat banyaknya tokoh yang ingin terjun ke dalam dunia politik dan menerbitkan
biografinya.***
Jayapura, 19 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar