Dalam kehidupan profesional,
setiap kegiatan perlu didasari etika. Tanpa etika, kegiatan itu akan meluncur
pada radikalisme. Ia akan meninggalkan kesan tidak baik di kalangan orang yang
menjadi penikmat hasil kegiatan itu. Sekalipun kegiatan bersangkutan dianggap
berhasil, tetap saja ia meninggalkan cacat. Cacat ini, kalau sampai
meninggalkan luka, akan berbekas. Tidak jarang, bahkan, pelaku kegiatan
tersebut disebut tidak etis.
Etika adalah semacam peraturan,
prinsip, nilai, dan idealisme yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang menjadi
panduan agar kegiatannya bisa dipercaya. Ini menunjukkan bahwa etika media
adalah prinsip, nilai, dan idealisme yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang
bekerja di dunia media yang menjadi panduan agar kegiatan dan hasil kegiatannya
bisa dipercaya. Semua itu bisa saja tertulis, tetapi bisa juga dalam bentuk
konvensi yang sudah disepakati bersama.
Kepercayaan dan kebenaran
menjadi kata kunci dalam kegiatan media massa. Bila media massa tidak dipercaya
oleh khalayak, mustahil media massa itu akan diakses oleh khalayak. Bila berita
yang disiarkan sebuah media massa tidak mengandung kebenaran, mustahil pula
berita itu akan dijadikan khalayak sebagai referensi yang akan memandu tingkah
laku mereka.
Dengan begitu, sikap etis media
massa bisa mempertahankan khalayaknya. Ia bisa mendukung perkembangan media
massa bersangkutan. Bukankah kehidupan media massa secara tidak langsung
tergantung kepada jumlah khalayak setianya?
Pada saat yang bersamaan, sikap
etis media massa akan menentukan apakah berita yang disiarkannya bermanfaat
bagi khalayak atau tidak. Kalau khalayak menganggap berita itu tidak benar,
mereka akan melupakan berita itu. Mereka akan beralih kepada berita lain, atau,
bahkan, media massa lain.
Salah
satu sikap yang bisa ditempuh media massa agar dinilai etis adalah jujur. Dalam
tingkat praktis, ini bermakna bahwa orang media, terutama wartawan, tidak boleh
berbohong. Namun, sikap ini mendapat ujian berat ketika seorang wartawan harus
berhadapan dengan deadline dan
melindungi narasumber rahasia. Tidak jarang wartawan gagal dalam ujian ini.
Mereka tidak jujur.
Sikap tidak jujur ini
kadang-kadang bisa diterima. Dengan alasan bahwa wartawan adalah juga manusia,
wartawan bersangkutan dimaafkan dengan catatan mereka harus meralat berita yang
keliru kemarin secepatnya dalam jumlah lahan yang sama. Asumsinya, kalau si
wartawan punya waktu yang lebih panjang, dia akan bersikap jujur.
Dalam
pada itu, William L. Rivers dan Cleve Mathews, dalam buku Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya mengakui
bahwa tidak mudah bagi wartawan untuk menyajikan kebenaran kepada khalayak.
Namun mereka memberikan kesempatan kepada khalayak untuk menilai informasi
tersebut. Selanjutnya mereka menulis:
Bagaimanapun, para wartawan tahu lebih dulu kebenaran sukar dipahami dan obyektivitas mungkin cuma ilusi. Reporter dan redaktur menyaring berbagai fakta dari berbagai sumber dan menghasilkan suatu campuran; atau, dengan kata lain, mereka menunjukkan sumber informasi yang mereka peroleh sehingga para pembaca atau pemirsa dapat menilai sendiri informasi tersebut (hal. 52).
Kutipan
ini menunjukkan bahwa misi jurnalisme yang ideal itu (menyajikan kebenaran) itu
tidak selalu bisa terwujud. Akibatnya, khalayak harus memahami berita yang
disiarkan media pers secara sendiri-sendiri. Maka diperlukan keterampilan
khalayak untuk menilai berita yang sampai kepada mereka. Apa bentuk
keterampilan itu?
Tentu
saja keterampilan untuk menentukan kebenaran. Bagaimana caranya? Kalau untuk
menemukan kebenaran sebuah ilmu, seperti kata Darji Darmodiharjo, dalam
tulisannya yang berjudul “Konsep Nilai dan Kebenaran Relatif-Proporsional”,
“Kebenaran ilmu dinilai melalui rasionalitas dan bukti-bukti empirisnya, yang
dapat dicari dan diukur hubungan kausalitas antara variabel yang satu dengan
variabel yang lainnya” (hal. 612).
Namun, kebenaran berita diukur
dari empat kebenaran, yakni: (i) benar secara ontologis, artinya ada sumber
beritanya. Indikatornya, empiris, (ii) benar dalam konteks hukum formal,
maknanya proses jurnalismenya tidak melanggar Undang-Undang. Indikatornya:
legalitas, (iii) benar dalam konteks universal, maknanya proses jurnalismenya
tidak melanggar hak asasi manusia. Indikatornya: pantas/adil, dan (iv) benar
berkonteks “dianggap benar oleh masyarakat”, maknanya faktanya tidak
bertentangan dengan pendapat orang banyak. Indikatornya: ada wacana seperti itu
dalam kehidupan masyarakat.
Cara
yang juga bisa digunakan adalah mengkonfirmasikan berita yang ditulis wartawan
bisnis kepada kode etik jurnalistik (KEJ). KEJ berbeda dengan etika. Namun, ia
bagian dari etika. Ia merupakan peraturan tertulis yang sudah disahkan oleh
Dewan Pers berdasarkan kesepakatan semua asosiasi profesi wartawan di
Indonesia. Ia terdiri atas 11 Pasal. Bagi siapa saja yang melanggar KEJ ini,
mereka akan memperoleh sanksi dari asosiasi profesi wartawan tempat mereka
bernaung.
Ketika seorang wartawan
menjadikan KEJ sebagai norma yang memandu keterampilannya menulis berita
bisnis, sebenarnya dia disebut bersikap etis. Dia, bahkan, dinilai sebagai
seorang yang bermoral. Tidak mudah memang menjadi seorang wartawan yang
bermoral. Apalagi pada saat sekarang, ketika banyak orang lebih memilih sikap
pragmatis dalam menjalani kehidupan ini.
Namun, bagi wartawan yang mau
berpikir, mempraktikkan etika jurnalisme merupakan perjuangan manusia melawan
hawa nafsu dan naluri. Ketika mereka mempraktikkan etika jurnalisme, sebenarnya
mereka membebaskan diri mereka dari cengkeraman dorongan-dorongan yang
merugikan kemanusiaannya. Pada saat yang bersamaan, mereka membangun kehalusan
rohani mereka. Mereka pun memiliki martabat dan kehormatan yang tinggi. Pada
titik inilah sebenarnya muncul penilaian bahwa etika jurnalisme itu indah.***
Rejodani, 15 Maret 2016.
0 komentar:
Posting Komentar