Sekarang, narasi sudah menjadi bagian
penting dari jurnalisme. Ia sudah menjadi sebuah cara menyampaikan fakta kepada
pembaca. Akibatnya, ia akan ikut
menentukan apakah sebuah berita akan terus dibaca atau segera ditinggalkan.
Sebagai
sebuah cara untuk menyampaikan fakta, tentu saja narasi boleh puitis, sepanjang
ia menyangkut fakta. Namun, tidak berarti bahwa setiap prosa puitis merupakan
narasi. Biasanya narasi dalam jurnalisme malah tidak puitis.
Bertolak
dari posisi narasi sebagai cara untuk menyampaikan fakta, muncul pertanyaan,
mengapa tidak banyak media pers yang mengoptimalkan potensi narasi jurnalisme?
Pertanyaan ini logis mengingat tidak muncul kekhawatiran dalam diri masyarakat
tentang pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) setelah membaca berita
tentang MEA di Indonesia. Padahal MEA, yang berlaku sejak 1 Januari 2016,
menjadikan lapangan pekerjaan di Indonesia bisa direbut oleh ahli dari
negara-negara ASEAN dan barang-barang dari negara-negara ASEAN akan membanjiri
Indonesia! MEA juga akan menggerus eksistensi para ahli Indonesia di tanah air
mereka sendiri.
Bila
diskenariokan, sesungguhnya narasi hanya sebuah alat untuk menyampaikan
ekspresi. Tanpa ekspresi, narasi tidak berdaya guna. Jadi, pemilihan narasi
sangat ditentukan oleh ekspresi.
Dalam jurnalisme, ekspresi itu
dibangun oleh framing. Ketika sebuah
berita sudah memperoleh framing,
sebenarnya ia sudah memiliki ekspresi. Tinggal sekarang bagaimana penulisnya
memilih narasi yang pas untuk framing
seperti itu.
Seorang wartawan tidak mungkin memilih narasi
yang tepat tanpa pemahaman yang akurat tentang khalayak yang akan membaca beritanya
kelak. Untuk bisa memahami khalayak, dia harus menyelami dan merasakan
perkembangan psikologis dan sosiologis khalayak. Dia harus berinteraksi dengan
khalayak seluas-luasnya. Dia, bahkan, harus bisa mengeja kebutuhan emosional
khalayak.
Persoalannya, tidak banyak wartawan
yang betul-betul peduli dengan kondisi khalayak. Tidak jarang wartawan hanya
peduli dengan credo media pers tempat
mereka bekerja. Mereka lupa membayangkan
dampak negatif berita yang mereka tulis pada pembaca. Yang mereka siarkan adalah
berita yang benar-benar menarik, tanpa mempertimbangkan nilai penting buat
khalayak.
Dari sikap seperti ini, bagaimana
mungkin kita bisa mengharapkan lahir kreativitas tentang narasi dalam
jurnalisme Indonesia. Dengan terus mengeja kepentingan media pers tempat mereka
bekerja, para wartawan terjebak dalam narasi yang itu ke itu saja. Mereka tidak
tertantang untuk mengoptimalkan potensi narasi dalam jurnalisme.***
Surabaya, 30 April 2016
Lucky 15 Casino - Mapyro
BalasHapus› lucky15 양주 출장마사지 › Lucky 천안 출장샵 › lucky15 › 용인 출장샵 Lucky Lucky Lucky 15 Casino is a hotel in San Jose, California 군산 출장안마 and is open daily 24 hours. 상주 출장샵 The casino is part of the Funeral Home Care Group.