Ada banyak tumpang tindih
peraturan.
Jakarta—Dua kementerian saling melempar kewenangan
menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya, reklamasi menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Sedangkan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti belum bisa mengeluarkan aturan
moratorium jika izin lingkungan belum dikeluarkan Siti.
Siti menyitir Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang
diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. “Di situ disebutkan semua
izin terkait reklamasi itu kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan,” ujar
Siti, kemarin.
Dengan aturan reklamasi ini,
menurut Siti, izin pengerukan laut tak lagi di tangan Gubernur seperti diatur
dalam Keputusan Presiden No. 52/1995. Pasal 4 aturan itu dipakai Gubernur
Jakarta menerbitkan izin bagi tujuh perusahaan untuk menguruk Teluk Jakarta
membuat 17 pulau sejak 2010.
Menurut Siti, dengan aturan baru
itu, meski izin di tangan gubernur, reklamasi baru sah setelah ada rekomendasi
Menteri Kelautan. Siti setuju dengan rencana Susi menghentikan sementara
reklamasi sampai urusan izin dan aturan beres, apalagi analisis mengenai dampak
lingkungan belum seluruhnya selesai.
Soal lain adalah definisi “kawasan
strategis nasional tertentu.” Dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 disebutkan
bahwa kewenangan mengatur kawasan strategis nasional tertentu berada di tangan
menteri. Pemerintah Jakarta mengabaikannya karena pasal lain mnyebutkan
Jakarta, sebagai Ibu Kota, hanya masuk kawasan strategis nasional. “Bukan
kawasan strategis nasional tertentu,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Tuty Kusumawati.
Meski ada rekomendasi DPR untuk
mengehentikan reklamasi, kedua menteri belum mengeluarkan aturan penghentian
itu. Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah Kementerian
Lingkungan, Laksmi Wijayanti, mengatakan belum bisa menentukan dimulainya
moratorium. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Bramantya Setyamurti Poerwadi, juga berdalih tak bisa memutuskan
sendiri. “Kami perlu membicarakannya dengan pemerintah Jakarta,” ujar
Bramantya.
Guru besar tata negara dari
Universitas Bengkulu, Juanda, menyarankan agar pemerintah membentuk tim khusus
untuk meneliti regulasi, syarat reklamasi, serta dampak sosial-ekonominya. Juga
kemungkinan gugatan pengembang jika moratorium jadi disahkan lewat aturan.
Namun dia menegaskan pemerintah tak perlu takut menghentikannya jika proyek tak
menguntungkan. “Jika semua kajian oke dan tak ada pelanggaran hukum, reklamasi
bisa dilanjutkan,” tuturnya.
Wakil Gubernur Jakarta Djarot
Syaiful Hidayat juga menanti keputusan pemerintah pusat. Dia meminta agar
pembahasannya dipercepat supaya ada kepastian hukum. “Biar enggak gaduh.” (Devy
Ernis/Diko Oktara/Avit Hidayat/Amirullah/Praga Utama/Larissa Huda).
Demikian berita yang disiarkan, Koran
Tempo, Senin, 18 April
2016. Berita yang menunjukkan bahwa Menteri Siti dan Menteri Susi sangat
berhati-hati dalam memberikan perintah untuk menyetop reklamasi teluk Jakarta.
Hati-hati tentu saja tidak dilarang. Namun, kehati-hatian itu jangan sampai
mengorbankan kepentingan rakyat. Kehati-hatian tersebut jangan pula sampai
menghalangi menteri untuk mengambil keputusan yang prioritas.
Sekarang
keputusan untuk menghentikan reklamasi teluk Jakarta tersebut sudah mendesak.
Siapapun menteri yang berwenang harus mengambil keputusan untuk menyetopnya.
Sepanjang keputusan tersebut sudah mengutamakan keselamatan, keadilan, dan
kepentingan publik, tidak akan ada masalah. Sepanjang keputusan itu transparan
dan bertanggung jawab, hasilnya tentu akan diapresiasi masyarakat. Namun,
jangan-jangan menterinya enggan bertanggung jawab. Kalau sudah begini, memang
repot. Rakyat akan selalu menjadi korban. Menteri hanya ingin mempertahankan
jabatannya.
Namun,
masyarakat bisa melihat menteri mana yang perlu diapresiasi dan menteri mana
yang “gila” jabatan. Menteri yang terakhir ini akan mengutamakan prosedur
sehingga tanpa sadar terperangkap dalam prosedur yang berbelit. Dia tidak mau
membuat terobosan yang bisa mengutamakan kepentingan rakyat. Jadi, jangan
dikira rakyat tidak paham dengan makna di balik sikap menteri di atas.***
Jayapura, 19 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar