Pulau
Agung Sedayu tetap dilanjutkan dengan sejumlah syarat.
Devy Ernis
JAKARTA—Komite Bersama Reklamasi Teluk Jakarta
memutuskan melarang PT Agung Podomoro Land meneruskan pembangunan Pulau G.
“Kami putuskan pembangunan Pulau G harus dihentikan dalam waktu seterusnya,”
kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli di kantornya, kemarin.
Keputusan tersebut diambil seusai
rapat koordinasi yang dipimpin oleh Rizal Ramli serta dihadiri Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, juga
Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Siti Nurbaya.
Rizal mengatakan Komite Bersama
menilai pembangunan Pulau G masuk kategori pelanggaran berat karena mengancam
lingkungan hidup, obyek vital strategis, pelabuhan, dan lalu lintas laut. Obyek
vital antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang, yang hanya
berjarak 300 meter dari pulau.
PLTU ini memasok kebutuhan listrik
di wilayah Jakarta, seperti di Bandara Soekarno-Hatta dan Stasiun Gambir.
Pembangkit ini mengandalkan air laut sebagai air baku untuk menghasilkan
listrik dan air pendingin mesin pembangkit. Karena itu, jika pembangunan pulau
tetap dilanjutkan, dapat berpotensi mengganggu pasokan listrik ke Jakarta.
Menurut Rizal, pembangunan di Pulau
G juga bakal mengganggu kabel bawah laut yang menghubungkan jaringan nasional
dan internasional. Reklamasi juga dinilai akan mengganggu lalu lintas kapal
nelayan karena mereka jadi sulit berlabuh di Muara Angke akibat pendangkalan
laut. “Sekarang nelayan harus memutar, sehingga ongkos bahan bakar jadi mahal,”
ucapnya.
Selain Pulau G, Komite Bersama
menyoroti Pulau C, D, dan N. Pembangunan ketiga pulau tersebut masuk dalam
pelanggaran sedang lantaran pembangunannya tidak sesuai dengan proposal. Dalam
proposal, Pulau C dan D dibuat terpisah, tapi kenyataannya menyatu.
Agung Sedayu Group masih bisa
melanjutkan pembangunan tiga pulau itu dengan sejumlah perbaikan, seperti
membangun kanal pemisah selebar 100 meter dan dalam 8 meter untuk mencegah
banjir. Ada sekitar 300 ribu meter kubik batu-batu dan tanah yang harus dikeruk
untuk membuat kanal. “Biayanya memang bisa sampai miliaran rupiah untuk
mengeruk itu, tapi harus dilakukan,” Rizal.
Ketua Tim Lingkungan Komite Bersama
Reklamasi San Afri Awang mengatakan saat ini PT Kapuk Niaga Indah, anak usaha
Agung Sedayu, sedang mengeruk pulau untuk membuat kanal. “Tim kami sudah
mengecek ke lapangan,” kata Direktur Planologi Kementerian Lingkungan itu.
Sedangkan untuk Pulau N, pembangunan pelabuhan milik Pelindo II, juga
diteruskan dengan beberapa perbaikan.
Keputusan penghentian proyek Pulau
G itu akan dituangkan dalam surat keputusan yang nantinya ditandatangani oleh
menteri terkait, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perhubungan,
serta Menteri Lingkungan Hidup, dalam waktu dekat.
Komite Bersama masih mengkaji 13
pulau lainnya. Selama tiga bulan ke depan, komite juga bakal menyelaraskan
seluruh aturan mengenai reklamasi. Jika telah selesai, aturan akan disahkan.
Menteri Susi menyambut baik
keputusan ini. “Sudah seharusnya pengembang ikut aturan.”
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 1 Juli 2016. Berita ini
segera dibantah oleh PT Agung Podomoro Land (APL). Bantahan ini disiarkan oleh Detik.com, 2 Juli 2016 sebagai berikut:
PT Agung Podomoro
Land (PT APL) mengklaim reklamasi pulau G dilakukan oleh para ahli profesional.
Mereka juga membantah aktivitas reklamasi tersebut merusak lingkungan maupun
mengganggu jalur kapal nelayan.
"Pelaksana proyek ini
merupakan para ahli di bidang reklamasi, sehingga proses reklamasi Pulau G
dilaksanakan dengan baik dan tentunya dengan kajian yang menyeluruh. Sebelum
pelaksanaan, survei lapangan telah dilaksanakan dengan berbagai metode, antara
lain: batimetri, pinger dan soiltest," ucap VP Director PT APL, Noer
Indradjaja dalam konfrensi pers di Hotel Pulman Central Park, Jakarta Barat,
Sabtu (2/6/2016). (http://news.detik.com/berita/3247422/agung-podomoro-bantah-reklamasi-pulau-g-rusak-lingkungan-dan-ganggu-kapal,
diakses 2 Juli 2016).
Persoalannya
lantas, wacana mana yang harus kita percaya: wacana yang disampaikan pemerintah
atau wacana yang disampaikan PT APL? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini
tanpa mengetahui indikator yang dipakai. Maka, diperlukan informasi tentang
indikator itu.
Secara
konseptual, wacana adalah makna yang tersirat. Ia lahir berkat teknik framing yang dipakai. Dalam jurnalisme,
apa pun teknik framing yang dipakai,
tentu saja sah. Namun, teknik itu harus merujuk kepada kepentingan publik.
Dengan kata lain, dalam melihat wacana yang pantas kita tangkap, yang menjadi
pertimbangan utama adalah kepentingan publik.
Dari kedua
berita di atas, kira-kira berita mana yang mengutamakan kepentingan publik?
Jawabannya sangat tegas: berita pertama. Jadi, wacana yang harus kita pegang
adalah wacana yang disampaikan berita pertama.***
Rejodani, 2 Juli 2016
0 komentar:
Posting Komentar