usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Pengakses blog yang budiman,
Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka, pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.

Bertolak dari kriteria intelektualitas di atas, aku akan disebut memiliki kesadaran eksistensial sebagai ahli jurnalisme kalau aku punya pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang jurnalisme. Aku akan disebut memiliki kesadaran eksistensial tentang profesi jurnalisme kalau aku hidup dari profesi yang berkaitan dengan jurnalisme. Aku akan disebut punya orientasi kemasyarakatan tentang jurnalisme kalau aku bisa mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat. 
 
Figure 4 Piagam dari Balai Wartawan Bukittinggi untuk Abrar setelah dia mengikuti Kursus Jurnalistik Dasar Angkatan Pertama, 1 Februari - 1 Agustus 1982

Soal pengetahuan jurnalisme, aku sudah belajar tentang jurnalisme sejak 1 Februari 1982. Ketika itu aku mengikuti Kursus Jurnalistik Tingkat Dasar Angkatan Pertama yang diadakan oleh Balai Wartawan Bukittinggi, Sumatra Barat. Setelah itu, aku berkuliah di Jurusan Publisistik UGM dari Agustus 1982 hingga Agustus 1987 untuk memperoleh gelar Drs. Lima tahun kemudian, persisnya tahun 1992, aku berkuliah di Faculty of Environmental Studies, York University, Toronto, Kanada. Di sini aku menekuni jurnalisme lingkungan hidup sampai memperoleh gelar M.E.S. tahun 1994. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 2005, aku berkuliah di Faculty of Arts and Social Sciences, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Setelah lima tahun berkuliah, persisnya 2010, aku berhasil memperoleh gelar Ph.D dalam bidang jurnalisme.

Tentang profesi jurnalisme, sebenarnya aku sudah pernah menjadi reporter Tabloid Politik Eksponen sejak April-Mei 1983. Aku pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiswa Fisipol UGM Sintesa. Aku juga pernah menjadi Ketua Dewan Redaksi Majalah Mahasiswa UGM Balairung. Aku malah pernah melamar menjadi wartawan di harian Jawa Pos pada Maret 1998. Setelah melalui penyaringan tiga tahap, aku dinyatakan lulus dan berhak mengikuti pendidikan untuk menjadi wartawan Jawa Pos. Namun, kesempatan itu tidak kumanfaatkan. Ibuku lebih suka aku menjadi dosen daripada menjadi wartawan. Lalu, aku berusaha menjadi dosen. Alhamdulillah, usahaku berhasil. Sejak Maret 1988, aku menjadi dosen di almamaterku, Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Figure 4 Guntingan berita Jawa Pos, Sabtu 26 Maret 1988

Meski menjadi dosen, aku tidak bisa melupakan keinginanku untuk menjadi wartawan. Aku mencari kesempatan untuk mempraktikkan pengetahuanku tentang jurnalisme. Alhamdulillah, aku memperoleh kesempatan itu. Lihatlah, aku pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Berita KAGAMA dan tabloid Kabar UGM. Memang tingkat kesulitan menjadi pemimpin redaksi di kedua media internal ini tidak setinggi kesulitan menjadi pemimpin redaksi media pers umum. Namun, tetap saja aku harus merealisasikan segala sumber daya kulturalku untuk melaksanakan kewajibanku.

Figure 4 Ijazah Abrar sebagai pemegang gelar M.E.S. dalam jurnalisme lingkungan hidup

Di kampus, aku mengajar matakuliah “Penulisan Berita” sejak matakuliah itu diperkenalkan di JIK UGM sampai sekarang. Pada saat tulisan ini kutulis, aku, bahkan, mengampu matakuliah “Dasar-Dasar Jurnalisme”, dan “Penyuntingan Berita”. Aku bisa disebut makan gaji dari pemerintah karena, terutama, mengajar matakuliah yang berkaitan dengan jurnalisme.

Sejak tahun 2010, setelah memperoleh gelar Ph.D, aku mempraktikkan keterampilanku di bidang jurnalisme untuk menulis biografi dan profil lembaga. Dari sini, aku memperoleh penghasilan yang tidak sedikit. Dalam keadaan begini, aku sesungguhnya sudah menjalankan dan merawat profesi di bidang jurnalisme.

Figure 4 Ijazah Abrar, sebagai pemegang gelar Ph.D dalam jurnalisme

Pengakses blog yang budiman,
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa aku belajar jurnalisme dalam waktu yang cukup lama. Aku juga telah mempraktikkan jurnalisme sesuai dengan yang aku bisa. Aku menghayati, mengalami, dan mengerti persoalan-persoalan jurnalisme. Lalu, apakah aku sudah berhasil mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat?

Sudah, tetapi belum optimal. Buktinya? Aku sudah menulis beberapa buku yang berkaitan dengan jurnalisme, yakni Mengenal Jurnalisme Lingkungan Hidup (1993), Mengurai Permasalahan Jurnalisme (1995), Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan (1997), Penulisan Berita (2005), Bagaimana Menulis Biografi: Perspektif Jurnalisme (2010), dan Mengarungi Hubungan DPR dan Pemerintah dengan Jurnalisme (2014).

Tanpa terperangkap dalam pretensi apa-apa, muncul komitmenku untuk mengoptimalkan usahaku untuk lebih mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat. Bagaimana caranya? Mengasuh blog ini. Maka blog ini sebenarnya bertujuan untuk mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat. Dalam konteks ini, ia berisi antara lain: tulisanku tentang jurnalisme yang terdiri atas 300-500 kata yang akan ku-upload dua minggu sekali (Rubrik Inilah Jurnalisme), dan kutipan berita yang kuanggap sebagai hasil praktik jurnalisme yang berkualitas dan review-ku tentang berita tersebut yang akan ku-upload dua minggu sekali juga (Rubrik Pernik Jurnalisme).

Demikianlah perkenalanku dan sekaligus silaturahimku. Mungkin perkenalan ini terlalu singkat. Namun, bukan mustahil perkenalan ini akan berlanjut di masa mendatang. Semoga perkenalan ini dirahmati Allah dan Anda pun keranjingan mengunjungi blog ini. Amin.

Rejodani, 30 Maret 2014



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.