usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Wellington Lod Wenda dan Aku

Rektor UM dan Aku

Puisi Taufiq Ismail dan Aku

Danau Kerinci

Danau Sentani dan Aku

Gunung Semeru dan Aku

Teluk Yos Sudarso dan Aku

Kamis, 11 Agustus 2016




Rupanya, tak mudah membujuk Sri Mulyani Indrawati, yang menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia di Washington, DC, kembali ke Tanah Air. Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Presiden Joko Widodo intens melobi Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, meminta Sri Mulyani dibolehkan pulang kampung.
Pratikno mengaku tidak mengetahui persis isi pembicaraan Presiden Jokowi dengan Kim. Namun, upaya  Jokowi mengajak Sri Mulyani pulang untuk dijadikan Menteri Keuangan akhirnya berhasil. “dengan berat hati, Sri diizinkan,” ujar Pratikno di kantornya, kemarin.
Begitu izin diberikan, Sri Mulyani menulis surat pengunduran diri dari jabatannya di Bank Dunia. Kim membenarkan adanya surat itu dari Sri Mulyani. Menurut Kim, lewat surat tersebut Sri Mulyani memberi tahu bahwa Presiden Joko Widodo memintanya segera kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Keuangan.
Sebenarnya, Kim sedih melepas Sri Mulyani. Ia merasa kehilangan karena, selama enam tahun bekerja di Bank Dunia, lulusan University of Illinois Urbana-Champaign itu dinilai memiliki pandangan kuat terhadap masyarakat miskin. “Tapi, kami kagum akan keputusan Sri Mulyani kembali melayani negaranya,” ujar Kim dalam suratnya untuk pegawai Bank Dunia, kemarin. “Dia teman sejati di Bank Dunia dengan karya-karya besarnya.”
Sri Mulyani menolak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Presiden Jokowi saat diminta kembali ke Indonesia. “Yang pasti, saya ketemu Presiden sebelumnya dan saya merasa terhormat diminta kembali,” ujar Sri setelah dilantik di Istana Negara, kemarin.
Menurut dia, banyak koleganya di Bank Dunia yang terkejut mendengar keputusannya. Sebab, saat ini Bank Dunia tengah sibuk mengurus mobilisasi dana untuk negara-negara miskin (International Development Assistance/IDA). IDA adalah program penyaluran dana yang dikhususkan bagi Negara berpendapatan per kapita di bawah US$ 1.200. total ada 77 negara penerima bantuan.
Namun anggota direksi lembaga tersebut akhirnya memahami alasannya pulang kampong. Bank Dunia, kata Sri Mulyani, tahu betul akan pentingnya penguatan ekonomi Indonesia, yaitu bertujuan memberantas kemiskinan dan mengakselerasi pemerataan kesejahteraan. (Pingit Aria/Istman MP).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 28 Juli 2016. Berita ini menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo sangat beruntung bahwa Sri Mulyani Indrawati bersedia jadi Menteri Keuangan Kabinet Kerja. Lalu, bagaimana dengan rakyat Indonesia? Apakah penunjukkannya sebagai Menteri Keuangan Kabinet Kerja akan bermanfaat besar untuk rakyat?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas, ideologi ekonomi Sri Mulyani tidak berbeda dengan ideologi ekonomi Bank Dunia. Ideologi ekonominya tidak compatible dengan Tri Sakti dan Nawa Cita. Sekalipun disenangi pasar keuangan, kata Dradjad Wibowo dalam Tribun Jogja, 28 Juli 2016, citra Sri Mulyani bukanlah merakyat dan bersih. Citra ini agaknya  bertentangan dengan citra Presiden Joko Widodo yang masih dianggap merakyat dan bersih.

Sampai di sini, muncul pertanyaan, apakah Presiden Joko Widodo tidak paham persis “posisi” Sri Mulyani? Tentu saja dia sangat paham. Namun, agaknya dia punya agenda tersembunyi dalam penunjukkan Sri Mulyani. Agenda apakah itu? Entahlah! Konon ia berkaitan dengan Pemilihan Umum 2019.*** 

Rejodani, 1 Agustus 2016





Adapun fenomena kejanggalan itu antara lain pers cenderung tidak tertarik memperdalam fakta-fakta hukum dan pernyataan Susno Duadji yang sudah disampaikannya berkali-kali, baik kepada pers maupun pihak terkait, bahwa dirinya tidak terlibat dugaan kriminalisasi KPK. Alasan Susno Duadji yang menyebutkan dirinya tidak menangani kasus KPK, ternyata tidak menjadi inspirasi bagi insan pers untuk mengolahnya sebagai tema laporan utama atau wawancara dengan Susno Duadji. 

Demikian keterangan yang tertulis dalam buku Mereka Menuduh Saya (hal. 437) karya Achmad Setiyaji. Keterangan ini menyindir media pers yang tidak berusaha untuk menggali lebih dalam keterangan Susno Duadji. Padahal dia menjadi obyek pemberitaan.

Pada halaman lain, buku yang sama, seorang kolega Susno Duadji mengungkapkan keheranannya tentang sikap media pers. Katanya:


Biasanya, kan pers kritis terhadap suatu isu dengan pola kerjanya menelusuri penanggungjawab suatu kasus dan mengungkapkannya dalam suatu tulisan berita atau laporan mendalam sebagai cerminan pers bersangkutan telah menjalankan fungsi persnya melakukan penyebaran informasi, mendidik masyarakat, dan kontrol sosial. Tapi, kenapa ya, kok untuk isu yang menuduh Susno Duadji sebagai otak rekayasa kriminalisasi KPK ternyata pers tidak melakukan itu (hal. 438).


          Kutipan ini menunjukkan bahwa khalayak mengerti bahwa media pers selalu kritis terhadap sebuah isu. Namun, ketika memberitakan isu tentang Susno Duadji tentang otak kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), media pers sama sekali tidak kritis. Media pers mengikuti saja kemauan khalayak. Akibatnya, media pers melanggar azas praduga tak bersalah, melakukan trial by the press, dan yang lebih celaka lagi, tidak mendidik khalayak.

          Sebagai sebuah fenomena politik, tentu isu Susno Duadji sebagai otak kriminalisasi KPK sarat dengan kepentingan, sikap, dan pikiran politik. Isu tersebut dipakai untuk menjatuhkan Susno Duadji dan menaikkan orang lain. Karena kepentingan satu pihak sudah terlanjur lebih penting dari kepentingan bersama, Susno Duadji harus menjadi korban politik. 

          Apapun alasannya, nilai kritis jurnalisme tidak boleh luntur. Justru dengan nilai kritis itulah selama ini media pers mampu mengungkapkan informasi yang tersembunyi. Dengan nilai kritis itu pula media pers mampu membedah sebuah kasus menggunakan jurnalisme investigatif. Untuk itu, media pers tidak boleh lagi mengulangi kasus Susno Duadji. Jadikanlah itu kasus terakhir dalam praktik jurnalisme Indonesia.  

          Persoalannya lantas, apa yang harus dilakukan jurnalisme agar tetap memelihara nilai kritisnya? Jawabannya tegas: “jujur” dan “adil”. Jujur di sini hendaklah dipahami sebagai jujur kepada diri wartawan sendiri, jujur kepada Tuhan, dan jujur kepada khalayak. Sedangkan adil haruslah dimaknai sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya”.

          Mungkin saja petuah ini hanya mudah dibicarakan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Soalnya, kata A. Mustofa Bisri dalam buku Mencari Bening Mata Air (hal 125), sekalipun dianugerahi akal dan nurani, manusia dilengkapi ‘athifah, perasaan benci dan suka. Dominasi perasaan benci atau suka kadang-kadang bisa mengalahkan akal dan nurani. Kalau sudah begini, wartawan dituntut untuk tidak terlalu benci atau suka. Mereka boleh benci atau suka, tetapi sekadarnya saja, agar tidak mengalahkan akal dan nuraninya.*** 

Rejodani, 1 Agustus 2016
 


Rabu, 20 Juli 2016


Hak dan kewajiban merupakan hal yang sambung-menyambung atau korelatif antara satu dan lainnya. Setiap ada hak maka ada kewajiban. Demikian kutipan pendapat Abd. Haris dalam bukunya yang berjudul Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius hal. 103.
Apakah isi kutipan di atas juga berlaku pada wartawan? Wartawan memang punya hak dan kewajiban. Apa hak wartawan? Hak wartawan adalah memperoleh segala jenis informasi tentang publik yang kelak akan ditulis menjadi berita. Apa pula kewajiban wartawan? Kewajiban wartawan adalah menggunakan haknya untuk kebaikan dirinya dan kebaikan khalayak. Dalam implementasinya, wartawan menyiarkan berita dengan mengutamakan kepentingan khalayak dan menjaga kehormatan dirinya. Dengan demikian, hak wartawan adalah kekuasaan yang diberikan oleh media pers tempatnya bekerja. Namun, hak ini sesungguhnya berasal dari khalayak. 
Dalam praktiknya, wartawan memaknai haknya bertolak dari kesadaran batinnya. Akibatnya, dia merasa punya kekuatan untuk menembus semua hambatan dalam  memperoleh informasi publik. Kekuatan inilah yang kemudian menjadi fondasi kerjanya sehari-hari.
Persoalannya lantas, apakah hak dan kewajiban wartawan itu setara? Mengacu kepada pendapat Buya Hamka yang dikutip Abd. Haris dalam buku Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius, hal 104, hak lebih luas daripada kewajiban. Artinya, tidak semua informasi publik yang diperoleh wartawan wajib dilaporkan kepada khalayak. Ketika seorang narasumber minta informasi yang disampaikannya off the record,  wartawan wajib tidak menyiarkannya. Sebaliknya, ketika seorang narasumber ikhlas semua informasi dari dirinya untuk disiarkan, wartawan tidak wajib menyiarkan semuanya. Dia boleh menyiarkan hanya satu kalimat saja.
Sampai di sini, muncul pertanyaan, bagaimana sih sebenarnya pekerjaan wartawan itu? Setiap wartawan dilatih sebelum menjalani profesinya. Dia juga diawasi oleh editornya ketika menjalani profesinya. Dia tidak menyiarkan berita yang akan ditulisnya seorang diri. Dengan demikian, berita yang sampai kepada khalayak merupakan hasil kerja kolektif. Namun, kalau ada narasumber dan khalayak yang protes atau menuntut, mereka bisa menyampaikannya kepada penanggung jawab media pers bersangkutan. 
Kalau kelak memang ada kejadian seperti itu, media pers wajib “melayaninya” sesuai dengan batasan pemberitaan yang berlaku. Media pers tidak boleh mendiamkan saja protes dan tuntutan itu. Artinya, kewajiban media pers berlaku sampai pada pasca penyiaran berita.   
 Maka praktis ada kegiatan yang tidak wajib dikerjakan wartawan tetapi dia berhak mengerjakannya. Tegasnya, tidak selalu dimana ada kewajiban di sana pula ada hak wartawan. Atau sebaliknya, tidak selalu dimana ada hak di sana pula ada kewajiban wartawan. Namun, wartawan yang menjadi penanggung jawab media pers wajib “melayani” protes dan tuntutan narasumber atau khalayak.
Bertolak dari uraian singkat di atas, tentu timbul pertanyaan, apa sebenarnya kewajiban jurnalisme? Kewajiban jurnalisme adalah meyakinkan wartawan, narasumber dan khalayak bahwa jurnalisme tidak pernah melayani kebohongan dan fitnah. Kalau ada berita bohong atau fitnah, itu bukan karena jurnalismenya, melainkan karena wartawan yang tidak menjalankan hak dan kewajibannya secara proporsional.***  
Rejodani, 15 Juli 2016
 




Nilai Transaksinya mencapai Rp 275 juta

Jakarta—Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan skandal senjata ilegal dari Amerika Serikat yang dimiliki anggota Pasukan Pengamanan Presiden sedang ditangani Pusat Polisi Militer TNI. Delapan anggota Paspampres yang terlibat bakal dijatuhi sanksi, termasuk tiga yang disebut di dalam sidang  di Pengadilan Federal New Hampshire, Amerika Serikat.
“Hukuman nanti diserahkan kepada ankum (atasan yang berhak menghukum) atau Komandan Paspampres (Mayor Jenderal Bambang Suswantono),” ujar Gatot saat dicegat awak media di kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Menurut Gatot, skandal pembelian senjata itu sudah terendus sejak empat bulan lalu. Delapan anggota paspampres yang terdiri atas perwira pertama akan dikenai sanksi karena tidak mendaftarkan kepemilikan senjata tersebut ke Pengurus Besar Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin). Sedangkan senjata itu dibeli untuk kepentingan pribadi. Padahal setiap anggota TNI yang memiliki senjata secara pribadi, apapun kepentingannya, harus memiliki izin administrasi dari Perbakin.
Pada Selasa pekan lalu, Pengadilan Federal New Hampshire, Amerika Serikat, menyidangkan terdakwa tentara Amerika  Serikat, Sersan Audi N. Sumilat, 36 tahun, terkait dengan penjualan senjata ilegal yang melibatkan tiga anggota Paspampres Indonesia. Sumilat, yang bertugas di pangkalan militer Fort Bliss, mengaku bersalah menjual senjata kepada anggota Paspampres agar diselundupkan ke luar Amerika Serikat. Sumilat bakal divonis pada 11 Oktober mendatang dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan maksimal denda US$ 250 ribu atau sekitar Rp 3,2 miliar.
Menurut El Paso Times; Rabu pekan lalu, dokumen pengadilan federal New Hampshire di Amerika Serikat tidak menyebutkan bahwa anggota Paspampres bakal didakwa dalam kaitan dengan skandal tersebut. Dokumen pengadilan hanya menyebutkan, “Polisi Militer Indonesia telah menyita semua senjata ilegal tersebut di Indonesia.”
Tiga anggota Paspampres yang disebutkan dalam dokumen itu adalah Erlangga Perdana Gassing, Danang Praseto Wibowo, dan Arief Widyanto.
Gatot mengatakan senjata yang dimiliki anggota Paspampres berjenis pistol. Jumlahnya mencapai delapan buah, dan sudah disita Puspom TNI. Pernyataan Gatot berbeda dengan dokumen pengadilan federal New Hampshire, yang menyebutkan jumlah senapan mencapai 22 buah dengan nilai US$ 21 ribu atau sekitar Rp 275 juta.
Mengenai skandal tersebut, Komandan Paspampres Mayjen Bambang Suswantono enggan menjelaskan sanksi bagi anggotanya. “Sudah ditangani Markas Besar TNI. Silakan konfirmasi dengan Mabes,” kata dia.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan anggota Paspampres hanya boleh menggunakan senjata yang sudah disediakan Kementerian Pertahanan dalam operasional sehari-hari. Menurut Ryamizard, pembelian senjata standar Paspampres itu dianggarkan oleh Kementerian Pertahanan. “Harus sepengetahuan kami (jika pakai senjata lain),” ujarnya.
Adapun Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan bahwa Istana Kepresidenan tak akan ikut campur dalam penanganan kasus kepemilikan senjata ilegal oleh Paspampres. “Sudah diserahkan ke Polisi Militer. Itu (kepemilikan senjata ilegal) kan urusa sana.” (Istman MP/Natalia Santi/Hussen Abri Dongoran/Kodrat).

Demikianlah berita yang disiarkan Koran Tempo, 12 Juli 2016. Berita yang mempermalukan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Berita yang juga membuat kita curiga, jangan-jangan masih ada tindakan paspampres lain yang melanggar hukum. Soalnya, mereka sudah bertindak sewenang-wenang dan mentang-mentang (abuse of power).

Sebagai Panglima TNI, seharusnya Gatot Nurmantyo merasa malu sudah “kecolongan”. Dia juga harus marah kepada Komandan Paspampres waktu itu. Namun, berita di atas tidak memperlihatkan rasa marah itu. Perasaan menyesal pun tidak. Malah dia memberikan keterangan yang berbeda dengan isi dokumen pengadilan federal New Hampshire tentang jumlah senjata yang diselundupkan. Kalau sudah begini, bagaimana rakyat bisa sepenuhnya respek terhadap Panglima TNI?   

Di zaman keterbukaan seperti ini, seorang pejabat negara perlu berhati-hati dalam menyembunyikan informasi. Soalnya, banyak media—apakah media asing atau media sosial—yang tiba-tiba menyiarkan informasi rahasia. Bahkan kawat politik pun bisa bocor kepada media pers (Ingat kasus Wikileaks yang membocorkan ratusan ribu kawat diplomatik ke beberapa koran besar dunia). Kalau kelak masyarakat kelak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dari media asing atau media sosial, yang akan jadi “korban” adalah pejabat itu sendiri. Dia tidak akan memperoleh respek dari masyarakat. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin dia bisa melaksanakan semua rencana kerja cerdasnya dengan baik?***

Rejodani, 15 Juli 2016

Rabu, 06 Juli 2016




Pekerjaan dan keahlian para wartawan adalah mengemas informasi menjadi sebuah berita yang penting dan bermanfaat buat khalayak. Dalam mengerjakan pekerjaan itu, mereka menggunakan berbagai teknik, mulai dari teknik mengumpulkan fakta, teknik menulis berita, tekni mem-framing berita, teknik menyunting berita hingga teknik menyiarkan berita. Mereka yang menguasai semua teknik inilah yang berhak disebut memiliki keterampilan teknis jurnalisme. 

Semua teknik di atas bisa dipelajari dan dilatihkan. Namun, untuk memperoleh keterampilan teknis jurnalisme yang memadai, semua orang harus berlatih menggunakan semua teknik tersebut. Semakin sering mereka berlatih, semakin terampil pula mereka menggunakan teknis jurnalisme.   

          Bagi mereka yang sudah terampil menggunakan teknis jurnalisme, profesi wartawan bukan sekadar mempraktikkan keterampilan teknis jurnalisme. Mereka menjadikan profesi wartawan sebagai sarana mengabdi untuk kepentingan orang banyak. Mereka menjadikannya sebagai jalan hidup. Dalam keadaan begini, mereka ingin berita yang dibaca khalayak mengutamakan kepentingan khalayak dan bermanfaat buat khalayak. Kalau sudah begini, barulah mereka puas. Pada titik inilah mereka menganggap diri mereka sudah menjalankan profesinya dengan baik. 

          Persoalannya lantas, bagaimana khalayak menilai sebuah berita memang penting dan bermanfaat buat mereka? Yakni dengan mengidentifikasi wacana yang terkandung dalam berita. Kalau wacananya memang penting buat khalayak dan bermanfaat buat mereka, sesungguhnya wartawan yang menulis berita bersangkutan sudah menjalankan profesinya dengan baik. Sebaliknya, kalau wacananya tidak penting buat khalayak dan tidak pula bermanfaat buat khalayak, atau malah beritanya tidak punya wacana sama sekali, penulis berita tersebut belum menjalankan profesinya dengan baik. Yang terakhir inilah yang membuat reputasi jurnalisme menjadi jelek. 

          Bertolak dari penjelasan singkat ini, kita bisa mengatakan bahwa reputasi jurnalisme ditentukan oleh wacana yang terdapat dalam sebuah berita. Kalau wacana itu penting dan bermanfaat buat khalayak, jurnalismenya bereputasi. Kalau wacana itu tidak ada atau ada tapi tidak penting dan tidak pula bermanfaat buat khalayak, jurnalismenya tidak bereputasi.

          Dengan penampilan berita yang disiarkan media pers sekarang ini, mungkin tidak mudah mencari praktik jurnalisme yang bereputasi. Soalnya, beberapa pemilik media pers sekarang adalah juga ketua umum partai politik. Mereka menggunakan media persnya untuk menyiarkan berita dengan wacana yang mengutamakan kepentingan partainya dan bermanfaat untuknya. Namun, kita tidak boleh larut dengan kondisi ini. Kita perlu mencari wacana lain yang bisa meng-counter wacana itu.***

Rejodani, 2 Juli 2016
 

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.