usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 01 Juli 2015



Di Indonesia, pada setiap era muncul media alternatif. Dulu pada zaman orde baru, muncul Kabar Pijar dan Independen. Kedua media ini tidak memiliki Surat Tanda Terdaftar (STT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Namun, keduanya diminati khalayak. Pemerintah merasa khawatir. Ia kemudian “menertibkan” media alternatif.
Mengapa pemerintah orde baru harus menertibkan media alternatif? Apakah karena media alternatif suka menyiarkan kabar bohong? Atau mereka selalu mengkritisi pemerintah? Secara konseptual, materi berita yang disiarkan media alternatif memang berbeda dengan materi berita yang disiarkan media mainstream. Perbedaan itu kata Robert A. Hackett, dalam buku News and Dissent: The Press and the Politics of Peace in Canada Kita meliputi: 
                i.          Kalau yang disiarkan adalah realitas politik, maka komentar dan analisis tentang realitas tersebut mendapat porsi yang lebih banyak ketimbang reportasenya. 
              ii.        Mengungkapkan kaitan yang jelas antara penyiaran berita dan perspektif politik yang dianut redaksi. 
           iii.        Memperlihatkan sikap oposisi terhadap keputusan-keputusan semua lembaga eksekutif yang dominan. 
           iv.        Cenderung memberitakan peristiwa-peristiwa atau isu-isu yang oleh media mainstream tidak dianggap merupakan kelanjutan dari peristiwa atau ide terdahulu (hal. 251-252).
          Kutipan ini menunjukkan bahwa berita yang disiarkan oleh media alternatif adalah sisi lain dari realitas sosial.
          Kini, di zaman reformasi, juga muncul media alternatif. Ia juga menampilkan sisi lain dari realitas sosial. Ia muncul dalam berbagai bentuk dan rupa. Namun, semuanya menggunakan berbagai sumber daya yang ada dalam internet, mulai dari www, mailing list, fb, hingga blog.
          Semua media alternatif, baik di zaman orde baru maupun reformasi, mempraktikkan jurnalisme alternatif. Secara sederhana, jurnalisme alternatif merupakan antitesis terhadap jurnalisme mainstream. Ia mempraktikkan apa yang tidak dipraktikkan oleh jurnalisme mainstream. Lebih dari itu, tentu saja tujuan jurnalisme alternatif berbeda dengan tujuan media mainstream. 
          Sampai di sini muncul pertanyaan, apa sih sebenarnya tujuan jurnalisme alternatif? Tujuannya sederhana saja: menyampaikan informasi penting secara langsung kepada khalayak tanpa dipungut bayaran. Penting di sini, biasanya, berkaitan dengan politik.
          Belum diperoleh informasi tentang contoh praktik jurnalisme alternatif seperti tersebut di atas di Indonesia. Namun, di tataran global, terdapat contoh yang sudah cukup lama berpraktik, yakni WikiLeaks. Lewat WikiLeaks inilah kita mengerti penyadapan yang dilakukan oleh pemerintahan AS terhadap beberapa kepala negara di dunia ini, termasuk Presiden Indonesia. Melalui WikiLeaks pula kita paham bagaimana AS memperlakukan negara lain untuk kepentingannya. Tidak heran bila WikiLeaks membuat kita berpikir tentang masa depan politik dan jurnalisme politik.***  
Rejodani, 30 Juni 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.