usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 15 Juni 2015



JAKARTA—Pegiat antikorupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjukkan sikap tak mendukung pemberantasan korupsi. Dalam sejumlah pernyataannya, Kalla seolah-olah memberi ruang kepada bawahannya untuk menerabas aturan. “Wakil Presiden memberi angin segar kepada birokrat agar tak bersikap antikorupsi,” kata Koordinator Badan Pekerja ICW, Ade Irawan, kemarin.
Salah satu sikap Kalla yang dikritik Ade adalah saat dia membela Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang sempat menolak melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalla memakluminya dengan alasan kekayaan Budi tak besar. Lagi pula, kata Kalla, Budi pernah melaporkan hartanya ketika menjabat Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo pada 2012.
Menurut Ade, pernyataan Kalla bisa membuat birokrat lain meniru cara pandangnya. Padahal, dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disebutkan, seorang pejabat wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. “Harusnya, kalau ada yang tidak ikut aturan, jangan dibela,” kata Ade.
Kalla pun dianggap ikut menggembosi Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga hari yang lalu, di Bintan, Kepulauan Riau, ia mengatakan penyidik KPK mesti berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Ditanya lagi ihwal ini dua hari yang lalu, Kalla menegaskan hal tersebut mesti sesuai dengan undang-undang. Pernyataan Kalla senada dengan pendapat Budi Waseso yang menilai aturan penyelidik dan penyidik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih mengikat ketimbang Undang-Undang KPK.
Ketika memutus praperadilan yang diajukan bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi, memerintahkan KPK bukan dari kepolisian dan kejaksaan. Khusus penyelidik, menurut dia, mesti berasal dari kepolisian.
KPK berkukuh punya kewenangan mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri sesuai dengan Undang-Undang KPK yang berlaku khusus (lex specialis). Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Ahmad Sodiki, juga berpendapat KPK boleh mengabaikan KUHAP karena memiliki aturan sendiri. “KPK sudah dilindungi ketentuan yang berlaku khusus, terutama dalam hal menyidik korupsi,” kata Sodiki.
Ade Irawan meminta Kalla menunjukkan sikap yang sejalan dengan Presiden Joko Widodo. “Presiden sudah lumayan menunjukkan komitmen dan keberpihakan pada pemberantasan korupsi,” ujar Ade.
Juru bicara Wakil Presiden, Hussain Abdullah, mengatakan, dalam sejumlah pernyataannya, Kalla memang seperti menyindir KPK. Padahal, kata Hussain, hal itu merupakan kritik Kalla agar KPK lebih baik. “Kritik itu kadang disalahartikan oleh masyarakat,” ujarnya.
Hussain menyangkal Kalla tak antikorupsi. “Segala kebijakan Pak JK adalah semangat pemberantasan korupsi,” kata Hussain. Saat ini, kata dia, Kalla bahkan sedang menyiapkan strategi agar KPK tidak kalah dalam sidang praperadilan.*Reza Aditya/Moyang Kasih Dewimerdeka/Faiz Nasrillah/Antonis

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 3 Juli 2015. Berita ini disanggah oleh Kalla dan sanggahannya dimuat oleh Koran Tempo, 6 Juni 2015, sebagai berikut:




JUSUF KALLA BANTAH PEMBERITAAN DAN TAJUK “KORAN TEMPO”


JAKARTA—Wakil Presiden Jusuf Kalla menyangkal telah memberi permakluman terhadap keengganan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso untuk melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalla justru mendorong Budi Waseso mematuhi aturan wajib bagi penyelenggara negara tersebut.
Bantahan itu merupakan hak jawab atas berita Koran Tempo edisi Rabu, 3 Juni 2015, berjudul “Kalla Dinilai Tak Anti-Korupsi” dan tajuk Koran Tempo edisi Jumat, 5 Juni 2015, berjudul “Stop Pernyataan Tak Anti-Korupsi”. Menurut Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi, Husain Abdullah, Kalla tak pernah membela Budi Waseso yang menolak melaporkan hartanya.
“Saya sudah cek beberapa rekaman Pak JK yang menjawab pertanyaan soal laporan harta kekayaan. Dalam semua rekaman, Pak JK menyarankan agar Budi Waseso melaporkan hartanya,” kata Husain, kemarin. “Kata Pak JK, sebagai pejabat negara, Budi Waseso wajib melaporkan.”
Dalam berita berjudul “Kalla Dinilai Tak Anti-Korupsi”, Koran ini memuat pernyataan pegiat antikorupsi di Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai Kalla menunjukkan sikap tak mendukung pemberantasan korupsi. Sikap Kalla yang dikritik ICW adalah saat dia—seperti diberitakan sejumlah media—membela Budi Waseso, yang sempat menolak melaporkan kekayaannya ke KPK. Dalam berita tersebut, Koran Tempo juga memuat sanggahan Kalla melalui Husain Abdullah.
Kepada sejumlah media di Bandung, dua hari lalu. Kalla menjelaskan bahwa bukan berarti dia membela Budi Waseso. Dia hanya mengatakan Budi Waseso sudah pernah melaporkan hartanya ketika menjabat Kepala Polda Gorontalo. “Jangan terbalik-balik. Saya tidak pernah mengatakan tak usah (melaporkan kekayaan ke KPK), tidak,” ujarnya. Menurut Kalla, melaporkan harta merupakan kewajiban setiap penyelenggara negara.
Adapun dalam tajuk berjudul “Stop Pernyataan Tak Anti-Korupsi,” Koran Tempo mengkritik Kalla yang dinilai kerap kontraproduktif dalam pemberantasan korupsi. Hal itu juga dibantah Husain Abdullah.

Lalu, bagaimana seharusnya sikap masyarakat? Tentu terpulang kepada masyarakat. Yang jelas Koran Tempo sudah menghadirkan sanggahan Jusuf Kalla. Kalau dari sanggahan itu tersirat bahwa Koran Tempo salah kutip, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah wartawan Koran Tempo demikian bodohnya, sehingga tidak bisa memastikan akurasi kutipannya?

Agaknya tidak. Kalau begitu, apakah itu berarti sanggahan Jusuf Kalla hanya sekadar untuk memperbaiki citranya saja? Entahlah! Yang jelas, kita perlu berterima kasih kepada Koran Tempo yang sudah menghadirkan kedua berita di atas.***

Rejodani, 15 Juni 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.