usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 01 September 2014


Selain mengungkapkan peristiwa yang terjadi atau ide yang muncul, berita juga punya makna sosial. Pesan yang disampaikan berita tidak hanya sampai kepada masyarakat pada waktu tertentu. Ia juga bisa menghubungkan manusia yang hidup pada waktu yang berbeda. Artinya, berita yang disiarkan oleh media pers pada hari ini bisa juga dibaca oleh masyarakat pada waktu mendatang, katakanlah setahun lagi. Tidak berlebihan kiranya bia berita juga punya makna historis.

Mengingat posisi itu, mau tak mau para wartawan perlu berhati-hati menulis berita. Mereka harus mengerti betul jurnalisme yang mereka praktikkan. Sampai di sini, tentu muncul pertanyaan, ada berapa banyak sih jenis jurnalisme itu? Secara praktis, jurnalisme bisa digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni, (i) jurnalisme berdasarkan masalah yang dicakupnya, (ii) jurnalisme berdasarkan teknik pengumpulan fakta, dan (iii) jurnalisme berdasarkan teknik menulis berita.

Untuk kelompok jurnalisme berdasarkan masalah yang dicakup, tersebutlah nama jurnalisme ekonomi dan bisnis (yang menyiarkan berita tentang masalah ekonomi dan bisnis), jurnalisme politik (yang menyiarkan berita tentang masalah politik), dan jurnalisme lingkungan hidup (yang menyiarkan berita tentang masalah lingkungan hidup). Apakah hanya ini? Itu yang lazim. Kalau ingin menambahkan jenis jurnalisme lain ke dalam kelompok ini, silakan. Namun, kita tidak pernah mendengar jenis jurnalisme yang disebut jurnalisme sosial.

Untuk jurnalisme berdasarkan teknik pengumpulan fakta, ada jurnalisme press relase (proses penyiaran berita hanya dilakukan berdasarkan press release semata), jurnalisme mulut (proses penyiaran berita hanya dilakukan berdasarkan hasil wawancara saja), journalism of attachment (proses penyiaran berita yang memasukkan unsur emosi manusia dalam perang), dan jurnalisme investigasi (proses penyiaran berita yang menggabungkan empat teknik pengumpulan fakta: wawancara, observasi, press release, dan konperensi pers).

Sedangkan untuk jurnalisme berdasarkan teknik menuliskan fakta, kita mengenal jurnalisme bombastis, (jurnalisme yang menghasilkan berita yang dibesar-besarkan, yang tidak sama dengan keadaan yang sebenarnya), jurnalisme makna (jurnalisme yang bukan sekadar menyajikan fakta fakta menurut urutan kejadiannya, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang mencakup, yang disertai latar belakang, proses dan riwayatnya, yang diberi interpretasi atas dasar interaksi fakta dan latar belakangnya. Tegasnya, menghasilkan berita sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna peristiwa), jurnalisme sastrawi (jurnalisme yang menghasilkan berita, yang seolah-olah karya sastra. Di dalam berita tersebut lebih banyak muncul dialog dan adegan. Penulis beritanya seolah-olah menyusup ke dalam berita itu), jurnalisme lugas (jurnalisme yang menghasilkan berita apa adanya, tidak ditambahi dengan kembang-kembang bahasa atau dikurangi agar terlihat lembut). Agaknya kita bisa menambahkan jurnalisme damai ke dalam kelompok jurnalisme ini.

Bertolak dari kenyataan ini, seorang wartawan bisa mempraktikkan tiga jenis jurnalisme sekaligus dalam menulis sebuah berita. Dia menggunakan jurnalisme lingkungan dalam melihat masalah yang akan diberitakan. Lalu dia menggunakan jurnalisme investigasi dalam mengumpulkan fakta. Terakhir, dia menggunakan jurnalisme makna dalam menuliskan fakta yang diperolehnya.

Wartawan atau penulis berita tentu mengerti bahwa mereka hanya bisa mempraktikkan jenis jurnalisme kalau mereka memahami betul apa dan bagaimana setiap jenis jurnalisme itu. Jadi, tidak perlulah kita menghimbau agar mereka memahami betul setiap jenis jurnalisme yang universal tersebut.***

Pulau Karya, 31 Agustus 2014



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.