Selain mengungkapkan peristiwa
yang terjadi atau ide yang muncul, berita juga punya makna sosial.
Pesan yang disampaikan berita tidak hanya sampai kepada masyarakat
pada waktu tertentu. Ia juga bisa menghubungkan manusia yang hidup
pada waktu yang berbeda. Artinya, berita yang disiarkan oleh media
pers pada hari ini bisa juga dibaca oleh masyarakat pada waktu
mendatang, katakanlah setahun lagi. Tidak berlebihan kiranya bia
berita juga punya makna historis.
Mengingat posisi itu, mau tak mau
para wartawan perlu berhati-hati menulis berita. Mereka harus
mengerti betul jurnalisme yang mereka praktikkan. Sampai di sini,
tentu muncul pertanyaan, ada berapa banyak sih jenis
jurnalisme itu? Secara praktis, jurnalisme bisa digolongkan ke dalam
tiga kelompok, yakni, (i) jurnalisme berdasarkan masalah yang
dicakupnya, (ii) jurnalisme berdasarkan teknik pengumpulan fakta, dan
(iii) jurnalisme berdasarkan teknik menulis berita.
Untuk kelompok jurnalisme
berdasarkan masalah yang dicakup, tersebutlah nama jurnalisme ekonomi
dan bisnis (yang menyiarkan berita tentang masalah ekonomi dan
bisnis), jurnalisme politik (yang menyiarkan berita tentang masalah
politik), dan jurnalisme lingkungan hidup (yang menyiarkan berita
tentang masalah lingkungan hidup). Apakah hanya ini? Itu yang lazim.
Kalau ingin menambahkan jenis jurnalisme lain ke dalam kelompok ini,
silakan. Namun, kita tidak pernah mendengar jenis jurnalisme yang
disebut jurnalisme sosial.
Untuk jurnalisme berdasarkan
teknik pengumpulan fakta, ada jurnalisme press relase (proses
penyiaran berita hanya dilakukan berdasarkan press release
semata), jurnalisme mulut (proses penyiaran berita hanya dilakukan
berdasarkan hasil wawancara saja), journalism of attachment
(proses penyiaran berita yang memasukkan unsur emosi manusia dalam
perang), dan jurnalisme investigasi (proses penyiaran berita yang
menggabungkan empat teknik pengumpulan fakta: wawancara, observasi,
press release, dan konperensi pers).
Sedangkan untuk jurnalisme
berdasarkan teknik menuliskan fakta, kita mengenal jurnalisme
bombastis, (jurnalisme yang menghasilkan berita yang
dibesar-besarkan, yang tidak sama dengan keadaan yang sebenarnya),
jurnalisme makna (jurnalisme yang bukan sekadar menyajikan fakta
fakta menurut urutan kejadiannya, bukan fakta secara linier,
melainkan fakta yang mencakup, yang disertai latar belakang, proses
dan riwayatnya, yang diberi interpretasi atas dasar interaksi fakta
dan latar belakangnya. Tegasnya, menghasilkan berita sekaligus
menyajikan interpretasi akan arti dan makna peristiwa), jurnalisme
sastrawi (jurnalisme yang menghasilkan berita, yang seolah-olah karya
sastra. Di dalam berita tersebut lebih banyak muncul dialog dan
adegan. Penulis beritanya seolah-olah menyusup ke dalam berita itu),
jurnalisme lugas (jurnalisme yang menghasilkan berita apa adanya,
tidak ditambahi dengan kembang-kembang bahasa atau dikurangi agar
terlihat lembut). Agaknya kita bisa menambahkan jurnalisme damai ke
dalam kelompok jurnalisme ini.
Bertolak dari kenyataan ini,
seorang wartawan bisa mempraktikkan tiga jenis jurnalisme sekaligus
dalam menulis sebuah berita. Dia menggunakan jurnalisme lingkungan
dalam melihat masalah yang akan diberitakan. Lalu dia menggunakan
jurnalisme investigasi dalam mengumpulkan fakta. Terakhir, dia
menggunakan jurnalisme makna dalam menuliskan fakta yang
diperolehnya.
Wartawan atau penulis berita
tentu mengerti bahwa mereka hanya bisa mempraktikkan jenis jurnalisme
kalau mereka memahami betul apa dan bagaimana setiap jenis jurnalisme
itu. Jadi, tidak perlulah kita menghimbau agar mereka memahami betul
setiap jenis jurnalisme yang universal tersebut.***
Pulau Karya, 31 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar