Polisi
menutup penambangan emas liar di Gunung Pongkor yang sudah berlangsung 22 tahun
dan merugikan Rp 22 triiun. Dibekingi tentara, polisi, jawara, hingga lembaga
swadaya.
Kampung Ciguha seperti baru terkena angina
puting beliung pada Selasa pecan lalu. Rumah-rumah roboh, tripleks berserakan,
batako, asbes, besi, balok, kayu kaso, bahkan kasur, hingga kursi, dan drum
bertebaran di lahan seluas dua kali lapangan sepak bola. Kampung di kaki Gunung
Pongkor, Kabupaten Bogor, itu seperti desa mati.
Biasanya kampung ini tak pernah
redup selama 24 jam. Musik dangdut koplo berdentam-dentam dari warung
remang-remang ataupun terang. Orang hilir-mudik tak henti-henti. Semua itu
berhenti secara tiba-tiba setelah hampir 3.000 polisi dan tentara
mengobrak-abrik Ciguha selama dua hari pada Sabtu dan Ahad sebelumnya.
Aparat itu menghancurkan apa saja
yang berdiri di Kampung Ciguha, yang menjadi pusat para gurandil alias
penambang emas liar Gunung Pongkor, yang konsesinya dimiliki PT Aneka Tambang
Tbk-perusahaan negara yang membuka cabang khusus mengolah emas di sini.
Di warung-warung itu pula
transaksi gelap hasil penambangan liar berlangsung, yang nilai transaksinya
diperkirakan mencapai Rp 1 triliun per tahun. “Ini operasi terbesar selama 22
tahun terakhir,” kata Ajun Komisaris Besar Suyudi Ario Seto, Kepala Kepolisian
Resor Kabupatin Bogor, pekan lalu.
Selama 22 tahun itu pula polisi
tak pernah bisa masuk ke Kampung Ciguha, yang ada di Desa Bantarkaret. Menurut
Suyudi, ada terlalu banyak beking aparat di sana yang menghadang jika
penambangan emas liar diusik. Ketika awal menjabat tahun lalu, ia berkunjung ke
PT Antam Gold Mining Business Unit Pongkor. “Penjagaan sangat ketat dan
berlapis. Seperti bukan kantor perusahaan Negara,” ujarnya.
Suyudi melihat sendiri bagaimana transaksi
suap-menyuap sangat lumrah di sana. Ada sekitar 8.000 gurandil di kampung
Ciguha yang menempati 2.000 bangunan semipermanen. Petugas keamanan PT Antam
baru membuka gerbang kepada para gurandil yang hendak naik ke ketinggian 700
meter, setelah mendapat uang sogok.
Di warung-warung, transaksi uang
lebih gila lagi. Ada para jawara yang merupakan preman kampung menadah uang
hasil pengayaan emas dari gurandil yang baru turun gunung setelah dua-tiga hari
mengayak emas di hulu Sungai Cikaniki dengan sianida dan merkuri. Pemilik
lubang-lubang emas yang berasal dari Banten dan Jakarta, bahkan Makassar,
hilir-mudik menangguk rupiah. “Pencuriannya sudah sangat terang-terangan,” kata
Suyudi.
Ia pun menembuskan laporan itu ke
atasannya. Dari Kepala Kepolisian Bogor, laporan terus merembet hingga sampai
di meja kantor Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalla
mendukung penuh penutupan tambang illegal Gunung Pongkor. “Memang sudah
seharusnya ditutup,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Operasi besar-besaran penutupan
Pongkor dimulai dengan razia truk tanah berisi emas, dua pekan lalu. Dalam
sehari, ada 1.930 truk keluar masuk Pongkor. Sebelas orang gurandil dan sebelas
penadah emas ditangkap. Dari seorang penadah, polisi menyita uang tunai Rp 500
juta, yang, menuntun mereka ke warung-warung tempat berdiam para jawara.
Di sana ada puluhan buku rekap
catatan setoran uang sekaligus jumlah gurandil dan pemilik lubang emas. Mereka
langsung ditetapkan menjadi tersangka dengan tuduhan pencurian emas di wilayah
konsesi Antam seluas 50 hetare.
Sebetulnya razia dan operasi
penangkapan gurandil rutin terjadi tiap tahun. Menurut General Manager PT Antam
Pongkor I Gede Gunawan, setiap tahun ia bekerja sama dengan kepolisian
menangkap gurandil dan penadah. Setiap operasi selalu ada yang ditangkap. “Tapi
mereka melawan,” katanya.
Bentuk perlawanannya berupa
penggerudukan kantor Antam. Sejak 2008, ada 16 kali unjuk rasa dipimpin tokoh
formal Desa Bantarkaret menggeruduk kantor Antam tiap kali ada gurandil yang ditangkap,
tapi buntutnya kerusuhan di kantor Antam.
Para pengunjuk rasa mengamuk
dengan membakar ban dan dua unit mobil. Ruangan-ruangan kantor Antam juga
dihancurkan. Permintaan mereka satu: bebaskan gurandil yang ditangkap. Sejak
itu, tak ada lagi penangkapan gurandil dalam jumlah besar. Hingga dua pekan
lalu itu. “Saya kumpulkan laporan-laporan selama lima tahun, tak satu pun
laporan penangkapan gurandil berujung di pengadilan,” ucap Suyudi.
Untuk mencegah kerusuhan serupa
terjadi, seusai penangkapan, polisi Bogor meminta Brigade Mobil Jawa Barat dan
tentara menggeruduk Ciguha dan meratakan kampung liar di sana. Setelah operasi,
kampung jadi sepi. Jumlah kartu tanda penduduk Bantarkaret, menurut catatan di
kelurahan, mencapai ribuan, tapi penduduk asli Ciguha sebenarnya hanya 174
keluarga.
Menurut Gede, para gurandil masuk
ke wilayah Antam melalui pinut utama atau melubangi tanah hingga ketemu
urat-urat cadangan emas. Mereka naik ke gunung Pongkor di kentinggian 600-700
meter, padahal Antam saja baru mengeruk emas di ketinggian 200-300 meter, yang
menghasilkan 1,9 ton setahun. Dengan mengambil emas di tanah perawan itu, tak
mengherankan bila penghasilan pemilik lubang emas mencapai Rp 50 juta sehari.
Ada 686 lubang di kawasan itu.
Lubang berukuran pintu masuk 1 x 1 meter itu mirip gua yang bias ditinggali.
Menurut Gede, para gurandil akan mengeruk tanah di dalam gua selama dua-tiga
hari. Maka, dalam operasi penutupan gua dengan semen dan beton itu, ditemukan
banyak alat masak.
Temuan Suyudi soal kerja sama gurandil
dengan petugas sekuriti Antam dikonfirmasi seorang jawara. Menurut Ade
Jamaludin, penjagaan para petugas keamanan Antam akan kendur begitu mendengar
kata “komit”. Para gerundil biasa mengucapkannya ketika mereka hendak masuk
area tambang. “Semua orang di sini tahu artinya itu uang sogok Rp 50 ribu,”
kata laki-laki 42 tahun ini.
Pada Mei lalu, ada polisi yang
datang ke warung-warung hendak menggusur bangunan liar di sana. Ade
mengumpulkan iuran Rp 300 ribu dari sekitar seribu warung. Uangnya ia serahkan
kepada kepala preman. Hasilnya, warung tetap berdiri hingga September. “Akan
kami selidiki keterlibatan orang dalam,” ujar Gede.
Setelah operasi, para pendatang
itu tak terlihat lagi. Ciguha kembali sepi, Sungai Cikaniki yang tercemar
jernih kembali dan bias direnangi lagi *Ali Anwar, M. Sidik Permana (Bogor),
Faiz Nashrillah (Jakarta).
Demikian berita yang disiarkan Majalah Berita
Mingguan Tempo, 28
September-4 Oktober 2015. Tanpa harus bergelar pengamat sosial, siapa pun tentu
mengerti bahwa inilah sebuah potret kekerasan rakyat yang ingin menguasai aset
milik negara yang sudah terjadi puluhan tahun. Kekerasan itu beranak-pinak
karena dilindungi oleh aparat keamanan. Begitulah, aparat keamanan yang
seharusnya melindungi aset negara malah berbalik melindungi pihak yang merampas
milik negara. Memalukan!
Kita
tentu mengerti bahwa potret buruk ini bukan hanya terjadi di kawasan Gunung
Pongkor. Ia juga pernah terjadi di daerah lain, misalnya, di area pertambangan
emas di Solok Selatan. Namun, kejadian itu dibiarkan terus berlangsung. Kalau
pun ada pihak yang prihatin, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya, kelak
harus berhadapan dengan aparat keamanan. Ternyata berhadapan dengan aparat
keamanan, sekalipun berada di posisi yang benar, menjadi trauma bagi
masyarakat. Mereka khawatir, bahkan mungkin, takut.
Kalau
sudah begini, bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi negara yang benar-benar
demokratis? Bagaimana mungkin kita mengharapkan masyarakat berpartisipasi untuk
membuat kebijakan publik? Menjamin implementasi kebijakan publik yang sudah ada
agar berjalan semestinya saja, kita masih belum bisa. Aparat keamanan masih
suka melanggar kebijakan publik kok!***
Rejodani,
1 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar