usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Jumat, 02 Oktober 2015

 
Polisi menutup penambangan emas liar di Gunung Pongkor yang sudah berlangsung 22 tahun dan merugikan Rp 22 triiun. Dibekingi tentara, polisi, jawara, hingga lembaga swadaya.


Kampung Ciguha seperti baru terkena angina puting beliung pada Selasa pecan lalu. Rumah-rumah roboh, tripleks berserakan, batako, asbes, besi, balok, kayu kaso, bahkan kasur, hingga kursi, dan drum bertebaran di lahan seluas dua kali lapangan sepak bola. Kampung di kaki Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor, itu seperti desa mati.
Biasanya kampung ini tak pernah redup selama 24 jam. Musik dangdut koplo berdentam-dentam dari warung remang-remang ataupun terang. Orang hilir-mudik tak henti-henti. Semua itu berhenti secara tiba-tiba setelah hampir 3.000 polisi dan tentara mengobrak-abrik Ciguha selama dua hari pada Sabtu dan Ahad sebelumnya.
Aparat itu menghancurkan apa saja yang berdiri di Kampung Ciguha, yang menjadi pusat para gurandil alias penambang emas liar Gunung Pongkor, yang konsesinya dimiliki PT Aneka Tambang Tbk-perusahaan negara yang membuka cabang khusus mengolah emas di sini.
Di warung-warung itu pula transaksi gelap hasil penambangan liar berlangsung, yang nilai transaksinya diperkirakan mencapai Rp 1 triliun per tahun. “Ini operasi terbesar selama 22 tahun terakhir,” kata Ajun Komisaris Besar Suyudi Ario Seto, Kepala Kepolisian Resor Kabupatin Bogor, pekan lalu.
Selama 22 tahun itu pula polisi tak pernah bisa masuk ke Kampung Ciguha, yang ada di Desa Bantarkaret. Menurut Suyudi, ada terlalu banyak beking aparat di sana yang menghadang jika penambangan emas liar diusik. Ketika awal menjabat tahun lalu, ia berkunjung ke PT Antam Gold Mining Business Unit Pongkor. “Penjagaan sangat ketat dan berlapis. Seperti bukan kantor perusahaan Negara,” ujarnya.
Suyudi melihat sendiri bagaimana transaksi suap-menyuap sangat lumrah di sana. Ada sekitar 8.000 gurandil di kampung Ciguha yang menempati 2.000 bangunan semipermanen. Petugas keamanan PT Antam baru membuka gerbang kepada para gurandil yang hendak naik ke ketinggian 700 meter, setelah mendapat uang sogok.
Di warung-warung, transaksi uang lebih gila lagi. Ada para jawara yang merupakan preman kampung menadah uang hasil pengayaan emas dari gurandil yang baru turun gunung setelah dua-tiga hari mengayak emas di hulu Sungai Cikaniki dengan sianida dan merkuri. Pemilik lubang-lubang emas yang berasal dari Banten dan Jakarta, bahkan Makassar, hilir-mudik menangguk rupiah. “Pencuriannya sudah sangat terang-terangan,” kata Suyudi.
Ia pun menembuskan laporan itu ke atasannya. Dari Kepala Kepolisian Bogor, laporan terus merembet hingga sampai di meja kantor Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kalla mendukung penuh penutupan tambang illegal Gunung Pongkor. “Memang sudah seharusnya ditutup,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Operasi besar-besaran penutupan Pongkor dimulai dengan razia truk tanah berisi emas, dua pekan lalu. Dalam sehari, ada 1.930 truk keluar masuk Pongkor. Sebelas orang gurandil dan sebelas penadah emas ditangkap. Dari seorang penadah, polisi menyita uang tunai Rp 500 juta, yang, menuntun mereka ke warung-warung tempat berdiam para jawara.
Di sana ada puluhan buku rekap catatan setoran uang sekaligus jumlah gurandil dan pemilik lubang emas. Mereka langsung ditetapkan menjadi tersangka dengan tuduhan pencurian emas di wilayah konsesi Antam seluas 50 hetare.
Sebetulnya razia dan operasi penangkapan gurandil rutin terjadi tiap tahun. Menurut General Manager PT Antam Pongkor I Gede Gunawan, setiap tahun ia bekerja sama dengan kepolisian menangkap gurandil dan penadah. Setiap operasi selalu ada yang ditangkap. “Tapi mereka melawan,” katanya.
Bentuk perlawanannya berupa penggerudukan kantor Antam. Sejak 2008, ada 16 kali unjuk rasa dipimpin tokoh formal Desa Bantarkaret menggeruduk kantor Antam tiap kali ada gurandil yang ditangkap, tapi buntutnya kerusuhan di kantor Antam.
Para pengunjuk rasa mengamuk dengan membakar ban dan dua unit mobil. Ruangan-ruangan kantor Antam juga dihancurkan. Permintaan mereka satu: bebaskan gurandil yang ditangkap. Sejak itu, tak ada lagi penangkapan gurandil dalam jumlah besar. Hingga dua pekan lalu itu. “Saya kumpulkan laporan-laporan selama lima tahun, tak satu pun laporan penangkapan gurandil berujung di pengadilan,” ucap Suyudi.
Untuk mencegah kerusuhan serupa terjadi, seusai penangkapan, polisi Bogor meminta Brigade Mobil Jawa Barat dan tentara menggeruduk Ciguha dan meratakan kampung liar di sana. Setelah operasi, kampung jadi sepi. Jumlah kartu tanda penduduk Bantarkaret, menurut catatan di kelurahan, mencapai ribuan, tapi penduduk asli Ciguha sebenarnya hanya 174 keluarga.
Menurut Gede, para gurandil masuk ke wilayah Antam melalui pinut utama atau melubangi tanah hingga ketemu urat-urat cadangan emas. Mereka naik ke gunung Pongkor di kentinggian 600-700 meter, padahal Antam saja baru mengeruk emas di ketinggian 200-300 meter, yang menghasilkan 1,9 ton setahun. Dengan mengambil emas di tanah perawan itu, tak mengherankan bila penghasilan pemilik lubang emas mencapai Rp 50 juta sehari.
Ada 686 lubang di kawasan itu. Lubang berukuran pintu masuk 1 x 1 meter itu mirip gua yang bias ditinggali. Menurut Gede, para gurandil akan mengeruk tanah di dalam gua selama dua-tiga hari. Maka, dalam operasi penutupan gua dengan semen dan beton itu, ditemukan banyak alat masak.
Temuan Suyudi soal kerja sama gurandil dengan petugas sekuriti Antam dikonfirmasi seorang jawara. Menurut Ade Jamaludin, penjagaan para petugas keamanan Antam akan kendur begitu mendengar kata “komit”. Para gerundil biasa mengucapkannya ketika mereka hendak masuk area tambang. “Semua orang di sini tahu artinya itu uang sogok Rp 50 ribu,” kata laki-laki 42 tahun ini.
Pada Mei lalu, ada polisi yang datang ke warung-warung hendak menggusur bangunan liar di sana. Ade mengumpulkan iuran Rp 300 ribu dari sekitar seribu warung. Uangnya ia serahkan kepada kepala preman. Hasilnya, warung tetap berdiri hingga September. “Akan kami selidiki keterlibatan orang dalam,” ujar Gede.
Setelah operasi, para pendatang itu tak terlihat lagi. Ciguha kembali sepi, Sungai Cikaniki yang tercemar jernih kembali dan bias direnangi lagi *Ali Anwar, M. Sidik Permana (Bogor), Faiz Nashrillah (Jakarta).

Demikian berita yang disiarkan Majalah Berita Mingguan Tempo, 28 September-4 Oktober 2015. Tanpa harus bergelar pengamat sosial, siapa pun tentu mengerti bahwa inilah sebuah potret kekerasan rakyat yang ingin menguasai aset milik negara yang sudah terjadi puluhan tahun. Kekerasan itu beranak-pinak karena dilindungi oleh aparat keamanan. Begitulah, aparat keamanan yang seharusnya melindungi aset negara malah berbalik melindungi pihak yang merampas milik negara. Memalukan!

Kita tentu mengerti bahwa potret buruk ini bukan hanya terjadi di kawasan Gunung Pongkor. Ia juga pernah terjadi di daerah lain, misalnya, di area pertambangan emas di Solok Selatan. Namun, kejadian itu dibiarkan terus berlangsung. Kalau pun ada pihak yang prihatin, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya, kelak harus berhadapan dengan aparat keamanan. Ternyata berhadapan dengan aparat keamanan, sekalipun berada di posisi yang benar, menjadi trauma bagi masyarakat. Mereka khawatir, bahkan mungkin, takut.

Kalau sudah begini, bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi negara yang benar-benar demokratis? Bagaimana mungkin kita mengharapkan masyarakat berpartisipasi untuk membuat kebijakan publik? Menjamin implementasi kebijakan publik yang sudah ada agar berjalan semestinya saja, kita masih belum bisa. Aparat keamanan masih suka melanggar kebijakan publik kok!***   

Rejodani, 1 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.