usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Jumat, 02 Oktober 2015

Tahun 2001 disebutkan sebagai tahun kemunculan istilah jurnalisme kontekstual (contextualized journalism). Empat tahun kemudian, tahun 2005, istilah ini sudah masuk dalam buku Key Concepts in Journalism Studies sebagai entri ke-42. Lalu, apa konsep yang dikandungnya?

Agaknya ia merupakan perluasan jurnalisme online. Salah satu alasannya adalah, yang memunculkan istilah itu adalah John V. Pavlik dalam buku berjudul Journalism and New Media. Apalagi Pavlik, dalam buku itu, menulis antara lain:


Contextual journalism incorporates not only the multimedia capabilities of digital platforms but also interactive, hypermedia, fluid qualities of online communications and customizable features of addressable media (hal. 217).


          Kutipan ini mengungkapkan bahwa jurnalisme kontekstual tidak hanya berurusan dengan kemampuan platform media digital, tetapi juga kemampuan media interaktif, hypermedia, kualitas komunikasi online dan media yang disesuaikan dengan keinginan pengirim konten. Dengan demikian, jurnalisme kontekstual sebenarnya mampu  menghasilkan berita yang lebih lengkap. Harapannya satu: untuk menguntungkan khalayak global.

          Secara konseptual, jurnalisme kontekstual bisa menjamin objektivitas dan kebenaran. Soalnya, ia bisa memasok konteks berita lewat media online dan media interaktif. Kontennya bisa lebih dinamis karena bisa diperbarui secara periodik. Lebih dari itu, ia bisa dihubungkan dengan berbagai laman (websites) untuk memudahkan khalayak memahami sebuah isu.

          Dengan segala pengertian di atas, jurnalisme kontekstual menuntut seorang wartawan tidak hanya sebagai tukang cerita (storyteller). Dia juga harus menjadi perencana komunikasi. Dia harus mengerti letak informasi yang bisa memberikan konteks pada berita yang sedang ditulisnya. Dia harus bisa juga menyampaikan informasi pendukung fakta yang sudah pernah disiarkan oleh media online. Ia harus bisa pula mengatur urut-urutan informasi yang harus disampaikan kepada khalayak.  Ia, bahkan, harus bisa menjamin bahwa khalayak punya banyak informasi tentang sebuah isu.

          Sampai di sini muncul pertanyaan, apakah jurnalisme kontekstual bisa menjamin tidak ada lagi informasi rahasia tentang sebuah isu? Apakah ia bisa menjamin bahwa sebuah isu akan bisa terungkap sejelas-jelasnya? Salah satu tujuan jurnalisme kontekstual adalah membongkar informasi yang terdapat di “kedalaman” dan di “kegelapan”. Jurnalisme kontekstual diharapkan bisa mengungkapkan kebenaran tentang sebuah isu. Ia juga dibayangkan bisa membuka selubung rahasia yang menyelimuti sebuah isu. 

Namun berhasil atau tidaknya, sangat ditentukan oleh antusiasme wartawan yang mempraktikkan jurnalisme kontekstual. Kalau mereka antusias dan bersikukuh ingin mempraktikkan jurnalisme kontekstual, tentu tujuan jurnalisme kontekstual di atas akan tercapai. Kalau tidak, jurnalisme kontekstual akan kehilangan tajinya. *** 

Rejodani, 1 Oktober 2015




0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.