usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 18 Agustus 2015

Seorang wartawan harus menyiarkan kebenaran. Kebenaran itu merupakan fakta yang benar secara ontologis, berkonteks hukum formal, tidak melanggar hak asasi manusia dan dianggap benar oleh masyarakat. Dengan demikian, tidak ada kriteria:  yang dianggap benar oleh media pers yang memberitakannya, dan tidak ada pula kriteria: yang dianggap benar oleh kepentingan politik. Nah, kriteria berita seperti inilah yang diwajibkan oleh jurnalisme presisi. 
Menurut David Pearce Demers dan Suzanne Nichols, dalam buku Precision Journalism: A Practical Guide, media pers sudah menggunakan jurnalisme presisi sejak tahun 1935. Kenyataan ini ditandai oleh pemberitaan hasil jajak pendapat tentang warga negara Amerika Serikat yang merokok oleh majalah Fortune
Seiring dengan perkembangan teknik jajak pendapat, jurnalisme presisi juga berkembang. Tahun 1973, masih menurut David Pearce Demers dan Suzanne Nichols dalam buku yang sama, muncul buku Precision Journalism: A Reporter’s Introduction to Social Research Methods. Buku ini kemudian menjadi referensi standar dalam mempraktikkan jurnalisme presisi. Sejak itu jurnalisme presisi menemukan bentuknya sebagai teknik untuk mengumpulkan fakta.
Di Indonesia, konon praktik jurnalisme presisi sudah berlangsung sejak lama, paling tidak sejak tahun 1971. Waktu itu, harian Kompas menyiarkan berita tentang Pemilu yang didukung oleh hasil polling Litbang Kompas. Namun, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, praktik jurnalisme presisi menjadi sangat populer. Soalnya, beberapa media penyiaran melakukan penghitungan cepat terhadap hasil Pilpres 2014. Hasil penghitungan cepat itu ternyata berbeda antara yang disiarkan sebuah televisi swasta dengan televisi swasta yang lain. Tidak heran bila ada yang mengatakan bahwa penyiaran berita tentang hasil penghitungan cepat itu tidak lagi presisi. Sudah terjadi penggiringan opini masyarakat terhadap calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.  
Persoalannya lantas, benarkah praktik jurnalisme presisi telah gagal dalam penyiaran berita tentang penghitungan cepat hasil Pilpres 2014? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Soalnya, praktik penghitungan suara setiap lembaga tentu berbeda tingkat kesalahan (error) nya. Sudah begitu, standar yang dimiliki setiap lembaga survei berbeda satu sama lain. Yang jelas, penghitungan cepat merupakan salah satu metode yang dipakai untuk mengumpulkan data oleh jurnalisme presisi. Masih ada metode yang lain, seperti analisis isi dan survei. Dengan kata lain, ada wartawan yang menggunakan hasil analisis isi dan survei untuk melengkapi berita yang disiarkannya. 
Dengan demikian, penerapan jurnalisme presisi dipilih untuk memperoleh gambaran yang akurat tentang sikap atau pandangan individu atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Data yang dikumpulkan—melalui survei, polling, analisis isi, dan penghitungan cepat—disajikan dalam grafik dan teks untuk memudahkan masyarakat menangkap kebenaran yang terkandung dalam fakta. Maka mempraktikkan jurnalisme presisi merupakan perbuatan yang mulia.***
Rejodani, 15 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.