usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 03 September 2015


Jurnalisme bisnis, lengkapnya jurnalisme ekonomi dan bisnis, merupakan jenis jurnalisme menurut masalah yang dicakup, yakni bidang ekonomi dan bisnis. Ia menghasilkan berita bisnis, yaitu berita tentang perubahan ekonomi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya, jurnalisme bisnis menelusuri, mencatat, dan menganalisis semua perubahan ekonomi itu, baik yang terjadi karena perubahan nilai tukar mata uang, indeks harga saham gabungan, harga sembako di pasar tradisional, harga barang di mall, kinerja BUMN dan perusahaan swasta, dan sebagainya. Wajar bila banyak ahli menilai bahwa jurnalisme bisnis sangat kompleks.
Secara selintas, tidak semua berita bisnis merupakan berita yang komprehensif.  Berita model begini tidak akan mampu melahirkan sense yang kuat di kalangan khalayak tentang perubahan yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan negara. Lihatlah berita berikut:

Nilai tukar rupiah kemarin terus melemah ke level 13.800 per dolar AS. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pihaknya berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. “BI tidak hanya khawatir. BI sudah mati-matian menjaga stabilitas rupiah,” kata dia pada kesempatan yang sama.

Bank sentral, ucap dia, terus berada di pasar dan melakukan langkah-langkah stabiliasi nilai tukar, seperti intervensi pasar. Bank Indonesia juga telah memperkuat operasi moneter rupiah dan valas untuk memperkuat nilai tukar. “BI dengan seluruh instrumen yang dimiliki akan berada di pasar agar pergerakan nilai tukar rupiah wajar dan sesuai dengan pergerakan mata uang di kawasan,” ucapnya.


Berita berjudul “BI Perketat Aturan Pembelian Valuta Asing” di atas disiarkan oleh Koran Tempo, 19 Agustus 2015. Namun, berita tersebut tidak komprehensif. Tidak ada data tentang apa saja yang sudah dilakukan BI untuk menjaga stabilitas rupiah. Tidak ada penjelasan bentuk intervensi pasar yang dilakukan BI, apakah memasok dolar AS ke pasar. Kalaupun BI sudah memasok dolar ke pasar, sudah berapa banyak? Kalau sudah banyak, lalu berapa jumlah cadangan devisa RI saat ini? Bahkan, tidak ada data tentang apa yang dilakukan BI dalam rangka operasi moneter rupiah yang dilakukan. Akibatnya, berita tersebut tidak menjadikan khalayak punya sense yang kuat tentang dampak negatif melemahnya kurs rupiah terhadap kehidupan ekonomi negara. Mereka pun tenang-tenang saja.
Memang masalah ekonomi dan bisnis tidak sejelas dan senyata seperti harapan wartawan bisnis. Namun, para wartawan bisnis harus tetap menjelaskan masalah itu sejelas dan senyata mungkin kepada masyarakat. Dalam bayangan mereka, harus tergambar bahwa masyarakat tidak paham sama sekali tentang berbagai konsep tentang perubahan ekonomi. Dalam tingkat tertentu, mereka, bahkan, harus menjadi “ahli ekonomi”.
Ketika harus menyiarkan berita tentang kesehatan ekonomi RI misalnya, para wartawan bisnis harus membandingkan dua “angka” yang berbeda: sebelum dan sesudah inflasi. Mereka juga harus menyiarkan dampak jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Bertolak dari kenyataan di atas, kita pun sadar bahwa tidak mudah menyiarkan berita bisnis yang komprehensif. Namun, bersamaan dengan itu muncul tantangan: inilah persoalan mendasar yang harus dicarikan jalan keluarnya. Perguruan tinggi jurnalisme dan lembaga pelatihan jurnalisme, atau siapa saja yang ingin melihat jurnalisme bisnis Indonesia maju perlu memikirkan cara untuk membangun wartawan bisnis yang handal, sehingga bisa menghasilkan berita bisnis yang menjadi sinyal pengatur perilaku ekonomi masyarakat.***
Pulau Karya, 31 Agustus 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.