usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 18 Agustus 2015



Sultan Ingatkan Sekolah Tentang Larangan Pungutan


YOGYA, TRIBUN—Sekolah yang terbukti melakukan pungutan biaya pendidikan ke peserta didik ataupun wali murid, dapat dikenai pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) DIY nomor 10 tahun 2013 tentang pedoman pendanaan pendidikan.
Dalam pasal 36 diterangkan satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah dilarang memungut biaya dari peserta didik dan wali murid. Pada pasal 37 juga diterangkan, dilarang melakukan pemaksaan sumbangan terhadap peserta didik ataupun wali murid.
Anggota Komisi D DPRD DIY, Zuhrif Hudaya mengatakan, menanggapi adanya temuan dugaan pungutan di sejumlah sekolah pada siswa baru di DIY, harus ditelusuri sampai tuntas. Jika ditemukan pelanggaran, maka Kepala Sekolah bersangkutan harus bertanggungjawab.
Dalam Perda DIY Nomor 10 tahun 2013 pada Pasal 41, lanjut Zuhrif, diterangkan bahwa jika ditemukan pelanggaran pada Pasal 36 dan 37, maka akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda Rp 50 juta. “Dan ini Kepala Sekolah yang dikenai sanksi,” katanya, Jumat (7/8).
Politikus dari daerah pemilihan Kota Yogyakarta ini mengungkapkan, meskipun sesuai ketentuan bahwa SD-SMP kewenangan pengawasan ada di Kota dan Kabupaten, Pemda DIY dapat memberikan perintah ke Bupati dan Wali Kota. “Gubernur dapat memerintahkan pada Bupati dan Wali Kota untuk melaksanakan Perda ini,” katanya.


Biaya ditanggung BOS
Terpisah, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pungutan pada siswa ataupun wali murid tidak diperbolehkan. Meskipun dengan alasan sumbangan bersifat sukarela.
“Itu tidak boleh, kalau itu (sumbangan) memang harus clear, terjadi transaksi mestinya harus clear,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan.
Sultan menambahkan, memang adanya sumbangan yang bersifat sukarela sesuai kesepakatan antara pihak sekolah, komite, dan wali murid, hal itu dimungkinkan terjadi. Akan tetapi persoalannya adalah saat ini seluruh biaya pendidikan sudah dialokasikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Karena pemerintah, kan lewat BOS sudah sepenuhnya 100 persen dibiayai,” katanya.
Namun demikian, ia belum mengambil keputusan mengenai kasus ini. Menurut Sultan, sesuai ketentuan yang ada, satuan pendidikan setingkat SD hingga SMP berada di tingkat Kabupaten dan Kota. Sementara di tingkat provinsi, hanya setingkat SMA/SMK.
“Provinsi itu hanya SLB (Sekolah Luar Biasa_Red), dan sesuai Undang-Undang yang baru dengan SMA, jadi beda. Urusanku bukan SD ataupun SMP,” katanya.
Komite Sekolah
Anggota Forum Pemantau Independen Pakta Integritas (Forpi) Kota Yogyakarta, Baharuddin Kamba mengatakan, saat ini belum ada regulasi yang mengatur tegas soal pungutan kepada siswa baru. termasuk soal hukuman yang diberi jika melanggar.
“Regulasi yang mengatur secara tegas belum ada. Kalaupun ada, aturan yang ada masih abu-abu,” katanya kepada Tribun Jogja, Jumat (7/8).
Selama ini, katanya, aturan iuran yang ditarik ke siswa ditentukan oleh pihak sekolah melalui rapat komite sekolah. Jika pihak sekolah melanggar ketentuan dengan menarik iuran yang semestinya tak diperbolehkan, biasanya rapat komite sekolah itu yang menjadi acuan.
“Akhirnya pihak sekolah pun tidak bisa disalahkan. Karena aturan dari Pemkot memang meminta pihak sekolah untuk menentukan RAPBS, salah satunya iuran yang dibebankan ke siswa. Meski jelas-jelas sekolah tersebut melanggar aturan,” jelas Kamba.
Kamba berharap, aturan yang mengatur soal pungutan siswa ke depannya dipertegas, termasuk soal hukuman. Dinas Pendidkan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY pun diminta pula untuk membuat aturan yang tegas dan seragam untuk tiap kabupaten/kota di DIY.
“Hal ini agar regulasi di tiap daerah di DIY sama, meski Disdikpora DIY sendiri tidak membawahi langsung sekolah yang ada di kabupaten/kota,” katanya.(rfk/mrf/had)
Demikian berita yang disiarkan Harian Pagi Tribun Jogja, 8 Agustus 2015. Berita itu menegaskan bahwa sekolah dilarang memungut iuran dari orang tua atau wali murid. Soalnya, semua biaya penyelenggaraan pendidikan sudah ditanggung oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Siapa saja yang melanggar, menurut Perda DIY Nomor 10 tahun 2013, bisa dipenjara.
Persoalannya, siapa yang mengawasi pelaksanaan Perda itu? Siapa orang tua yang berani menolak pungutan liar itu? Apalagi kalau keputusan iuran itu berasal dari Komite Sekolah. Soalnya, Komite Sekolah cenderung menjadi perpanjangan tangan kepala sekolah. Komite sekolah juga memanfaatkan kondisi psikologis orang tua atau wali murid yang bersedia membayar biaya sekolah yang besar asal anaknya bisa sekolah.
Lewat berita ini, penulisnya sebenarnya mengajak orang tua atau wali murid dan Komite Sekolah untuk lebih kritis menyikapi ide pungutan liar yang disampaikan sekolah. Mereka tidak perlu khawatir terhadap kekurangan dana penyelenggaraan pendidikan. Bagi yang berdomisili di Yogya, mereka harus menaati Perda DIY Nomor 10 Tahun 2013 dan menjamin pihak sekolah juga menaati Perda yang sama.***
Rejodani, 15 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.