usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 15 Juni 2015


Dulu, di Indonesia, kita mengenal istilah media jaringan. Istilah ini mengandung  konsep kerja sama manajemen media. Misalnya: dua buah surat kabar yang berbeda politik redaksionalnya bahu-membahu memproduksi dan memasarkan hasil penerbitan masing-masing. Dengan begitu, biaya produksi berita menjadi lebih murah. Berita pun bisa disiarkan di beberapa surat kabar.
Kendati begitu, jurnalisme yang dipraktikkan oleh media jaringan tersebut tidak bisa disebut sebagai jurnalisme jaringan. Jurnalismenya tetap saja jurnalisme biasa saja (as usual). Yang disebut dengan jurnalisme jaringan, kata, Jarvis, seperti dikutip Ansgard Heinrich dalam buku Network Journalism, merupakan kolaborasi antara wartawan profesional dan wartawan amatir untuk memperoleh berita, melalui jaringan di antara mereka (hal. 57). Lewat jaringan ini pula jurnalis jaringan berbagi fakta, pertanyaan, jawaban, ide, bahkan perspektif. Dengan begitu, fokus mereka lebih dari sekadar berita yang dihasilkan.
Sampai di sini muncul pertanyaan, alat apa yang dipakai jurnalis jaringan dalam mempraktikkan jurnalismenya? Tentu saja internet. Melalui internet lah mereka berbagi fakta, ide, dan perspektif. Lewat internet juga mereka menyepakati berita yang akan mereka siarkan. Bahkan, melalui internet pula mereka menyiarkan berita yang mereka hasilkan.
Kendati begitu, internet bukan satu-satunya media yang dipakai jurnalis jaringan dalam menyiarkan berita hasil praktik jurnalisme jaringan. Mereka juga menggunakan televisi swasta. Khusus mengenai yang terakhir ini, tentu saja mereka harus  “berkompromi” dengan media mainstream. Dalam konteks ini, reporter televisi swasta harus berbagi konsep tentang bagaimana memproduksi sebuah berita kepada wartawan amatir.
Mungkin agak sulit membayangkan bagaimana sebuah berita yang dihasilkan oleh jurnalis jaringan bisa memberdayakan khalayak secara langsung. Namun, kenyataan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya jurnalisme jaringan mirip dengan jurnalisme warga. Kalau jurnalisme warga dipraktikkan oleh wartawan amatir semata, jurnalisme jaringan dipraktikkan oleh wartawan profesional dan wartawan amatir bersama-sama. Tujuan mereka hanya satu: memberdayakan khalayak secara langsung. 
Mungkin agak sulit pula mempraktikkan jurnalisme jaringan di Indonesia. Namun, secara konseptual, ia memberi kesempatan kepada berbagai pihak untuk memberikan informasi, termasuk informasi rahasia. Ia, bahkan, bisa menjadi titik awal terciptanya ruang publik yang bersifat global.*** 
Rejodani, 15 Juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.