Jurnalisme online lahir berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
(TKI). Dengan TKI, ia memiliki cara berada yang khas dibandingkan dengan
jurnalisme lain. Dengan TKI pula ia bisa menyampaikan informasi yang tidak
tergolong mainstream. Persoalannya,
apakah ia bisa digolongkan ke dalam jurnalisme?
Untuk memperoleh jawabannya,
simaklah penjelasan Ana Nadhya Abrar dalam bukunya yang berjudul Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu
Komunikasi berikut:
Sesungguhnya jurnalisme online lahir pada 19 Januari 1998, ketika Mark Drudge membeberkan cerita perselingkungan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang sering disebut “monicagate” (Grossman, 1999:17). Ketika itu, Drudge, berbekal sebuah laptop dan modem, menyiarkan berita tentang “monicagate” lewat internet. Semua orang yang mengakses internet segera mengetahui rincian cerita “monicagate”.
Berpangkal pada kenyataan di atas, jurnalisme online itu seolah-olah bukan jurnalisme. Jonathan Dube, seorang wartawan jurnalisme online, bahkan merasakan jurnalisme online tidak seseru jurnalisme biasa (1999:37). Ini terasa logis. Sebab, orang yang tidak memiliki keterampilan jurnalistik memadai pun bisa bercerita lewat jurnalisme online. (hal.47).
Kutipan
yang agak panjang ini memperlihatkan bahwa jurnalisme online lahir karena lahirnya keinginan orang untuk menyiarkan
berita yang bersifat rahasia. Ia terwujud lewat internet dengan bantuan laptop
dan modem. Praktiknya bisa dilakukan oleh siapa saja yang punya informasi rahasia
dan ingin membaginya dengan pengakses internet.
Namun,
seiring dengan perjalanan waktu, orang mempraktikkan jurnalisme online dengan cara yang lebih
terstruktur. Lihatlah, James C. Foust (2009: 5) mengatakan bahwa jurnalisme online sekarang sudah menempuh proses
jurnalisme untuk mengumpulkan fakta, mengolahnya serta melaporkannya sesuai
dengan format yang tepat. Sampai di sini, muncul pertanyaan, apakah sekarang siapa
saja yang memiliki informasi rahasia dan bisa mengakses internet bisa
mempraktikkan jurnalisme online?
Kalau
harus menggunakan keterampilan jurnalisme yang memadai, tentu saja tidak semua
orang bisa melakukan praktik jurnalisme online.
Lalu, mengacu kepada pendapat Mark Deuze (2001), yang mengatakan bahwa tiga
ciri jurnalisme online adalah
hipertekstualitas, multimedialitas dan interaktivitas, jurnalisme online tidak bisa dipraktikkan banyak
orang. Soalnya, pertama,
hipertekstualitas berkaitan dengan cara sebuah berita berhubungan dengan berita
lainnya menggunakan tautan (hyperlink).
Sebuah berita harus berkaitan dengan berita lain untuk memperoleh berita
lanjutan. Kedua, multimedialitas
berhubungan dengan isi multimedia yang akan digunakan untuk mendukung narasi
kisah tertentu. Pilihan ini akan mempengaruhi bagaimana khalayak menangkap
berita. Ketiga, interaktivitas
memberi ruang bagi khalayak untuk merespons dan berinteraksi dengan penulis
berita. Dalam berinteraksi ini, setidaknya terdapat tiga bentuk navigasi, yakni
interaktivitas navigasi, interaktivitas fungsional, dan interaktivitas adaptif.
Perkembangan jurnalisme online di atas menyebabkan ia hanya bisa
dipraktikkan oleh media online yang
memang bisa memenuhi semua persyaratan di atas. Di Indonesia, media seperti
ini, ditandai oleh .com di belakang namanya, misalnya: detik.com, kompas.com, okezone.com, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan para
individu yang tidak berafiliasi dengan media online itu? Agaknya mereka bisa mempraktikkan jurnalisme warga.
Sedangkan untuk media yang akan menyiarkan hasilnya, mereka bisa menggunakan
media sosial, misalnya blog.***
Rejodani,
31 Mei 2015


0 komentar:
Posting Komentar