usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 01 Juni 2015


Jurnalisme online lahir berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi (TKI). Dengan TKI, ia memiliki cara berada yang khas dibandingkan dengan jurnalisme lain. Dengan TKI pula ia bisa menyampaikan informasi yang tidak tergolong mainstream. Persoalannya, apakah ia bisa digolongkan ke dalam jurnalisme? 
Untuk memperoleh jawabannya, simaklah penjelasan Ana Nadhya Abrar dalam bukunya yang berjudul Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi berikut:
Sesungguhnya jurnalisme online lahir pada 19 Januari 1998, ketika Mark Drudge membeberkan cerita perselingkungan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang sering disebut “monicagate” (Grossman, 1999:17). Ketika itu, Drudge, berbekal sebuah laptop dan modem, menyiarkan berita tentang “monicagate” lewat internet. Semua orang yang mengakses internet segera mengetahui rincian cerita “monicagate”.

Berpangkal pada kenyataan di atas, jurnalisme online itu seolah-olah bukan jurnalisme. Jonathan Dube, seorang wartawan jurnalisme online, bahkan merasakan jurnalisme online tidak seseru jurnalisme biasa (1999:37). Ini terasa logis. Sebab, orang yang tidak memiliki keterampilan jurnalistik memadai pun bisa bercerita lewat jurnalisme online. (hal.47).

          Kutipan yang agak panjang ini memperlihatkan bahwa jurnalisme online lahir karena lahirnya keinginan orang untuk menyiarkan berita yang bersifat rahasia. Ia terwujud lewat internet dengan bantuan laptop dan modem. Praktiknya bisa dilakukan oleh siapa saja yang punya informasi rahasia dan ingin membaginya dengan pengakses internet.
          Namun, seiring dengan perjalanan waktu, orang mempraktikkan jurnalisme online dengan cara yang lebih terstruktur. Lihatlah, James C. Foust (2009: 5) mengatakan bahwa jurnalisme online sekarang sudah menempuh proses jurnalisme untuk mengumpulkan fakta, mengolahnya serta melaporkannya sesuai dengan format yang tepat. Sampai di sini, muncul pertanyaan, apakah sekarang siapa saja yang memiliki informasi rahasia dan bisa mengakses internet bisa mempraktikkan jurnalisme online?
          Kalau harus menggunakan keterampilan jurnalisme yang memadai, tentu saja tidak semua orang bisa melakukan praktik jurnalisme online. Lalu, mengacu kepada pendapat Mark Deuze (2001), yang mengatakan bahwa tiga ciri jurnalisme online adalah hipertekstualitas, multimedialitas dan interaktivitas, jurnalisme online tidak bisa dipraktikkan banyak orang. Soalnya, pertama, hipertekstualitas berkaitan dengan cara sebuah berita berhubungan dengan berita lainnya menggunakan tautan (hyperlink). Sebuah berita harus berkaitan dengan berita lain untuk memperoleh berita lanjutan. Kedua, multimedialitas berhubungan dengan isi multimedia yang akan digunakan untuk mendukung narasi kisah tertentu. Pilihan ini akan mempengaruhi bagaimana khalayak menangkap berita. Ketiga, interaktivitas memberi ruang bagi khalayak untuk merespons dan berinteraksi dengan penulis berita. Dalam berinteraksi ini, setidaknya terdapat tiga bentuk navigasi, yakni interaktivitas navigasi, interaktivitas fungsional, dan interaktivitas adaptif.     
Perkembangan jurnalisme online di atas menyebabkan ia hanya bisa dipraktikkan oleh media online yang memang bisa memenuhi semua persyaratan di atas. Di Indonesia, media seperti ini,  ditandai oleh .com di belakang namanya, misalnya: detik.com, kompas.com, okezone.com, dan sebagainya. 
Lalu bagaimana dengan para individu yang tidak berafiliasi dengan media online itu? Agaknya mereka bisa mempraktikkan jurnalisme warga. Sedangkan untuk media yang akan menyiarkan hasilnya, mereka bisa menggunakan media sosial, misalnya blog.***
Rejodani, 31 Mei 2015



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.