usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 01 Juni 2015



 Setelah Bekasi, beras yang diduga mengandung plastik
ditemukan di kota lain.

SOLO—Presiden Joko Widodo berjanji akan menelusuri motif beredarnya beras sintesis mengandung plastik. Dari masukan sejumlah pakar beras, Jokowi ragu beredarnya beras, Jokowi ragu beredarnya beras mengandung plastik itu dilatarkelakangi motif mencari keuntungan.
“Secara logika, enggak masuk kalau motifnya mencari untung karena harga plastik lebih mahal dari beras,” kata Jokowi saat mengikuti acara car-free day di Jalan Slamet Riyadi, Solo, kemarin.” Yang paling penting, akar masalahnya apa? Dicek bener. Motivasinya apa?”
Jokowi mengatakan pemerintah masih menunggu hasil pengujian dari laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan serta laboratorium Institut Pertanian Bogor terhadap beras yang diduga mengandung plastik yang ditemukan di Bekasi. Sampel beras diambil dari Dewi Septiani, warga pelapor kasus beras plastik ke Kepolisian Resor Kota Bekasi, serta Sembiring, pemilik toko beras di Pasar Tanah Merah, Bekasi.
Akhir pekan lalu, PT Sucofindo sudah mengeluarkan hasil pengujian sampel beras yang sama atas permintaan Pemerintah Kota Bekasi. Hasil pengujian itu menemukan adanya tiga senyawa plastik berupa pelentur (plasticer) yang biasa dipakai sebagai bahan dasar pembuatan pipa, kabel, dan komponen lain. Mengkonsumsi beras ini, menurut temuan Sucofindo, akan berisiko menyebabkan diare, bahkan bisa memicu kanker hingga kematian.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel sudah meminta penyidik Badan Reserse Kriminal Polri dan Badan Intelijen Negara menelusuri dari hulu hingga hilir apakah peredaran beras sintetis itu diimpor secara ilegal atau merupakan produk dalam negeri. Penelusuran ini untuk memasrikan motif pelaku. “Apakah sekadar pidana pencari untung semata, atau ada tindakan kriminalitas dengan motif-motif tertentu yang merugikan pemerintah,” ujarnya.
Sampai kemarin, ada sejumlah laporan temuan beras sintetis atau beras mengandung plastik di sejumlah daerah. Misalnya, Dinas Perdagangan Yogyakarta kemarin menerima laporan adanya beras sintetis dari salah seorang warga Kecamatan Rongkop, Gunungkidul. Dinas Perdagangan Kota Depok juga menerima laporan ihwal beras yang diduga mengandung plastik yang telah dibeli warga Cilodong, Depok.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menduga ada motif politik dan upaya makar dalam peredaran beras plastik ini. Alasannya, kata dia, beras ini sangat berbahaya jika dikonsumsi masyarakat. Walhasil, ujar Tjahjo, beras plastik akan merusak citra pemerintah saat ini. “Kita percayakan kepada BIN (Badan Intelijen Negara) dan Kepolisian untuk mengusut tuntas,” ujarnya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti berjanji mengusut siapa dalang di balik peredaran beras ini. “Kami masih menunggu hasil laboratorium,” ujar Badrodin. “Jika ada pidana, kami akan jerat dengan Undang-Undang Pangan.”
Pengamat intelijen dari Universitas Indonesia, Wawan Purwanto, meminta pemerintah tak berspekulasi ihwal motif peredaran beras plastik. Dia menyarankan agar pemerintah membuktikan lebih dulu kasus itu secara hukum. “Jadi ada atau tidak motif politik itu harus dibuktikan secara hukum, bukan spekulasi,” ucapnya (Ahmad Rafiq/Tika P/Shinta Maharani/Imam Hamdi/Indra Wijaya/Anton A.
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 25 Mei 2015. Sekalipun berita ini belum secara spesifik menjelaskan motif di balik isu beredarnya beras plastik, informasinya masuk akal. Lebih dari itu, Presiden Jokowi ternyata memiliki akal sehat. Ini terlihat dari pernyataannya: “Secara logika, enggak masuk akal kalau motifnya mencari untung karena harga plastik lebih mahal dari beras”.
Kenyataan ini melegakan khalayak. Koran Tempo ingin memelihara akal sehat pembacanya. Presiden juga ingin memelihara akal sehat rakyatnya. Dengan akal sehat yang terpelihara, tentu tidak mudah pihak lain menjebak atau menjerumuskan mereka.
Kendati begitu, motif di balik isu beredarnya beras plastik itu harus tetap diusut tuntas. Bisa saja ada orang yang berspekulasi bahwa isu tersebut untuk menghindari masyarakat membeli beras impor. Kalau benar demikian, tentu saja bagus. Soalnya, masyarakat akan berduyun-duyun membeli beras dalam negeri, yang pada gilirannya akan menguntungkan para petani.
Namun, masih ada motif lain bukan? Jadi pemerintah harus tetap mengusutnya. Sembari menunggu hasilnya, kita perlu berterima kasih pada Koran Tempo yang tetap memelihara akal sehat pembacanya.***
Rejodani, 31 Mei 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.