usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 17 Mei 2015

 
Bagi Bob Franklin, seperti tertulis dalam buku Key Concepts in Journalism Studies, hal 214,  jurnalisme publik sama dengan jurnalisme kewarganegaraan. Dalam jurnalisme ini, media pers tidak hanya menyiarkan berita kepada khalayak, tetapi juga medorong khalayak untuk menciptakan debat publik. Tidak terlalu berlebih-lebihan bila jurnalisme publik merupakan usaha mengintegrasikan jurnalisme ke dalam proses demokratisasi.
Selanjutnya Bob Franklin, dalam buku dan halaman yang sama, mengatakan bahwa titik tolak jurnalisme publik adalah tanggung jawab wartawan publik untuk mempromosikan komitmen warganegara dan partisipasinya dalam proses demokratisasi. “Jurnalisme harus mempromosikan dan membantu menyempurnakan kualitas kehidupan publik”, tambahnya. Akibatnya, wartawan publik harus menyiarkan berita yang bertolak dari padangan warga negara biasa. Mereka tidak menyiarkan berita yang faktanya bersumber dari elit politik atau para penguasa.
Dalam konteks ini, sebelum wartawan publik mengumpulkan fakta, dia harus dilengkapi dulu dengan berbagai pengetahuan tentang proses demokratisasi. Dia juga harus mengenal berbagai isu hangat yang terkait dengan proses demokratisasi. Dengan begitu, beritanya kelak bisa membantu khalayak mengidentifikasi dan menyelesaikan problem mereka.
Bertolak dari penjelasan singkat ini, wartawan publik bukan hanya karyawan sebuah perusahaan media pers, namun juga menjadi wartawan yang memposisikan khalayak sebagai warga negara yang harus memperoleh informasi yang lengkap tentang kehidupan publik, perkembangan politik dan suasana sosial kontemporer.
Sampai di sini muncul persoalan, apakah wartawan publik ini bisa memperoleh kebenaran di lapangan? Tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk menemukan kebenaran. Ambil contoh soal kekuatan kapitalis global yang menancapkan pengaruhnya pada elit partai politik (parpol) dan elit penguasa. Tidak mudah bagi wartawan publik untuk memperoleh data akurat tentang kenyataan ini. Soalnya, kedua belah pihak sama-sama menyimpan rahasia dan bermain muslihat. Namun, wartawan publik tidak boleh membodohi khalayaknya, misalnya dengan memuat keterangan dari kedua belah pihak. Mereka harus mencari informasi dari narasumber lain yang berpihak kepada publik. Mereka perlu menlakukan observasi terhadap berbagai dokumen yang menggambarkan suasana demikian. Setelah beritanya tersiarkan, terpulang kepada khalayak untuk memaknainya. 
 Apakah praktik jurnalisme semacam ini bisa berjalan lancar dalam kehidupan media pers Indonesia? Tentu saja bisa, sepanjang wartawan publik memandang jurnalisme publik sebagai strategi untuk memajukan demokrasi, bukan sekadar melaksanakan tugas yang diberikan oleh media pers tempat mereka bekerja.***
Rejodani, 15 Mei 2015




0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.