Bagi Bob Franklin, seperti
tertulis dalam buku Key Concepts in
Journalism Studies, hal 214, jurnalisme
publik sama dengan jurnalisme kewarganegaraan. Dalam jurnalisme ini, media pers
tidak hanya menyiarkan berita kepada khalayak, tetapi juga medorong khalayak
untuk menciptakan debat publik. Tidak terlalu berlebih-lebihan bila jurnalisme
publik merupakan usaha mengintegrasikan jurnalisme ke dalam proses
demokratisasi.
Selanjutnya Bob Franklin, dalam
buku dan halaman yang sama, mengatakan bahwa titik tolak jurnalisme publik
adalah tanggung jawab wartawan publik untuk mempromosikan komitmen warganegara
dan partisipasinya dalam proses demokratisasi. “Jurnalisme harus mempromosikan
dan membantu menyempurnakan kualitas kehidupan publik”, tambahnya. Akibatnya,
wartawan publik harus menyiarkan berita yang bertolak dari padangan warga
negara biasa. Mereka tidak menyiarkan berita yang faktanya bersumber dari elit
politik atau para penguasa.
Dalam konteks ini, sebelum
wartawan publik mengumpulkan fakta, dia harus dilengkapi dulu dengan berbagai
pengetahuan tentang proses demokratisasi. Dia juga harus mengenal berbagai isu
hangat yang terkait dengan proses demokratisasi. Dengan begitu, beritanya kelak
bisa membantu khalayak mengidentifikasi dan menyelesaikan problem mereka.
Bertolak dari penjelasan
singkat ini, wartawan publik bukan hanya karyawan sebuah perusahaan media pers,
namun juga menjadi wartawan yang memposisikan khalayak sebagai warga negara
yang harus memperoleh informasi yang lengkap tentang kehidupan publik,
perkembangan politik dan suasana sosial kontemporer.
Sampai di sini muncul
persoalan, apakah wartawan publik ini bisa memperoleh kebenaran di lapangan?
Tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk menemukan kebenaran. Ambil contoh soal
kekuatan kapitalis global yang menancapkan pengaruhnya pada elit partai politik
(parpol) dan elit penguasa. Tidak mudah bagi wartawan publik untuk memperoleh
data akurat tentang kenyataan ini. Soalnya, kedua belah pihak sama-sama
menyimpan rahasia dan bermain muslihat. Namun, wartawan publik tidak boleh
membodohi khalayaknya, misalnya dengan memuat keterangan dari kedua belah
pihak. Mereka harus mencari informasi dari narasumber lain yang berpihak kepada
publik. Mereka perlu menlakukan observasi terhadap berbagai dokumen yang
menggambarkan suasana demikian. Setelah beritanya tersiarkan, terpulang kepada
khalayak untuk memaknainya.
Apakah praktik jurnalisme semacam ini bisa
berjalan lancar dalam kehidupan media pers Indonesia? Tentu saja bisa,
sepanjang wartawan publik memandang jurnalisme publik sebagai strategi untuk
memajukan demokrasi, bukan sekadar melaksanakan tugas yang diberikan oleh media
pers tempat mereka bekerja.***
Rejodani,
15 Mei 2015


0 komentar:
Posting Komentar