usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 17 Mei 2015

Kerugian tersebar di SKK Migas, PLN, dan Pertamina.

Jakarta—Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kerugian Negara hingga Rp 8,5 triliun dalam sejumlah kasus yang melibatkan PT Trans—Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Potensi kerugian itu tersebar di tiga lembaga, yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), PT Perusahaan Listrik Negara, serta PT Pertamina. “Ini audit investigasi, rekomendasinya akan agak keras,” kata anggota BPK, Achsanul Qosasi, dua hari lalu.
Achsanul mengatakan BPK mengaudit kasus itu sejak enam bulan lalu. Saat ini, yang sudah rampung adalah audit terhadap PLN yang ditaksir menimbulkan kerugian Negara Rp 68 miliar. Adapun audit terhadap dua lembaga lain diperkirakan akan rampung dalam satu bulan mendatang. BPK memprediksi kerugian Negara di Pertamina mencapai Rp 6 triliun dan di SKK Migas sebesar Rp 2,4 triliun.
Dihubungi lagi kemarin, Achsanul menjelaskan potensi kerugian negara di PLN disebabkan kegagalan TPPI memenuhi pasokan bahan bakar minyak sebesar 300 ribu kiloliter high speed diesel (HSD). Sedangkan di Pertamina, karena TPPI tak bisa membayar pendanaan pembangunan kilang. “Ini, kan, perusahaan milik negara. Jadi kalau tidak dibayar ada kerugian,” ucap Achsanul.
Di SKK Migas, Achsanul melanjutkan, uang Negara bisa amblas karena TPPI tak mengembalikan uang yang semestinya masuk kas Negara. Pada 2009, kata Achsanul, pemerintah ingin menghidupkan kembali TPPI yang sedang sekarat dengan mengucurkan talangan dan hak penjualan langsung kondensat. Namun TPPI tak menyetorkan hasil penjualannya kepada Negara.
Dalam kasus terakhir inilah Badan Reserse Kriminal Polri telah menjerat tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Raden Prijono, yang dulu menjabat Kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas); Djoko Harsono, bekas Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas; dan Honggo Wendratno, salah seorang pendiri TPPI. Ketiganya dituduh melakukan korupsi dan pencucian uang.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim, Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak, mengatakan polisi tak ingin berhenti pada tiga tersangka tadi. “Dari keterangan saksi-saksi baru bisa kami lihat apakah ada tersangka lain,” ujar Victor, kemarin.
Presiden Direktur TPPI, Honggo Wendratno, belum bisa dimintai konfirmasi. Didatangi di lantai 20 gedung MidPlaza, Jakarta, petugas keamanan membenarkan bahwa di sana kantor Honggo. Namun ia mengatakan bosnya sedang tak berada di tempat. Demikian pula menurut seorang pegawai di lantai itu. “Beliau sudah beberapa hari tidak ada.”
Pelaksana harian Komunikasi Korporat PLN, Sampurno Marnoto, belum mau menanggapi kasus TPPI yang melibatkan PLN. “Saat ini saya tidak bisa memberikan informasi itu,” ucapnya. Juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, menyatakan Pertamina ingin TPPI membayar utangnya melalui skema restrukturisasi yang telah ditentukan.
Adapun Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi, mengatakan sebenarnya tak ada persoalan di lembaganya. “Saat itu SKK Migas hanya mendapat perintah sebenarnya tak ada persoalan di lembaganya. “Saat itu SKK Migas hanya mendapat surat perintah dari Kementerian Keuangan untuk mengirimkan kondensat ke TPPI,” ujarnya. “Jika surat perintah datang, kami tidak bisa berbuat apa-apa.” (Aditya Budiman/Tri Artining Putri/Istman MP/Robby Irfani).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 12 Mei 2015. Berita ini menunjukkan  bahwa negara merugi Rp 8,5 triliun karena korupsi, manipuasi, dan salah urus di PT Trans—Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Kerugian ini melibatkan lembaga dan perusahaan milik negara, yakni SKK Migas, PT Perusahaan Listrik Negara, dan PT Pertamina. Semuanya terkait dengan pengurusan dan pengusahaan energi. Dari sini, khalayak menyadari bahwa pengurusan dan pengusahaan energi di Indonesia selama ini memang bermasalah (Selama ini kesadaran itu hanya dirasakan secara intuitif).
Mungkin ada juga khalayak yang skeptis dengan berita tersebut. Mereka menduga berita itu hanya untuk “menyenang-nyenangkan” khalayak saja. Mereka tidak yakin bahwa berita tersebut akan mampu mengembalikan kerugian negara sebanyak itu. Mereka, bahkan, curiga berita itu untuk memperbaiki citra polisi setelah diharu-birukan oleh usaha mengkriminalisasikan KPK.

          Sampai di sini muncul persoalan, bagaimana wartawan bisa menghindari kemungkinan itu? Wartawan hanya pencerita, tukang kabar. Dia bukan seorang politisi, bukan pula petugas partai.  Kemampuannya hanya berkisah. Maka, dia harus terus-menerus meng-update berita tersebut. Dia tidak boleh berhenti menulis berita lanjutan dari berita itu.  Dia perlu terus-menerus memenuhi kebutuhan informasi khalayak tentang kejadian itu. Dengan begitu, Polri tidak berhenti mengusut kasus itu. Bukankah mereka melihat bahwa ada wartawan yang mengawasi mereka dan ada pula khalayak yang menunggu kelanjutan berita itu?
          Begitulah berita yang bersifat mengawasi atau mengkritik penguasa atau penyelenggara negara. Berita ini memang membuat kuping obyek berita menjadi merah. Namun, pada gilirannya ia akan mendorong pemerintahan di masa depan menjadi lebih baik.***
Rejodani, 15 Mei 2015



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.