Kerugian tersebar di SKK Migas, PLN, dan
Pertamina.
Jakarta—Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kerugian Negara hingga Rp 8,5
triliun dalam sejumlah kasus yang melibatkan PT Trans—Pacific Petrochemical
Indotama (TPPI). Potensi kerugian itu tersebar di tiga lembaga, yaitu Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), PT
Perusahaan Listrik Negara, serta PT Pertamina. “Ini audit investigasi,
rekomendasinya akan agak keras,” kata anggota BPK, Achsanul Qosasi, dua hari
lalu.
Achsanul mengatakan BPK mengaudit
kasus itu sejak enam bulan lalu. Saat ini, yang sudah rampung adalah audit
terhadap PLN yang ditaksir menimbulkan kerugian Negara Rp 68 miliar. Adapun
audit terhadap dua lembaga lain diperkirakan akan rampung dalam satu bulan
mendatang. BPK memprediksi kerugian Negara di Pertamina mencapai Rp 6 triliun
dan di SKK Migas sebesar Rp 2,4 triliun.
Dihubungi lagi kemarin, Achsanul
menjelaskan potensi kerugian negara di PLN disebabkan kegagalan TPPI memenuhi
pasokan bahan bakar minyak sebesar 300 ribu kiloliter high speed diesel (HSD).
Sedangkan di Pertamina, karena TPPI tak bisa membayar pendanaan pembangunan
kilang. “Ini, kan, perusahaan milik negara. Jadi kalau tidak dibayar ada
kerugian,” ucap Achsanul.
Di SKK Migas, Achsanul
melanjutkan, uang Negara bisa amblas karena TPPI tak mengembalikan uang yang
semestinya masuk kas Negara. Pada 2009, kata Achsanul, pemerintah ingin
menghidupkan kembali TPPI yang sedang sekarat dengan mengucurkan talangan dan
hak penjualan langsung kondensat. Namun TPPI tak menyetorkan hasil penjualannya
kepada Negara.
Dalam kasus terakhir inilah Badan
Reserse Kriminal Polri telah menjerat tiga orang sebagai tersangka. Mereka
adalah Raden Prijono, yang dulu menjabat Kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas
Bumi (BP Migas); Djoko Harsono, bekas Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP
Migas; dan Honggo Wendratno, salah seorang pendiri TPPI. Ketiganya dituduh
melakukan korupsi dan pencucian uang.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi
Khusus Bareskrim, Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak, mengatakan polisi tak
ingin berhenti pada tiga tersangka tadi. “Dari keterangan saksi-saksi baru bisa
kami lihat apakah ada tersangka lain,” ujar Victor, kemarin.
Presiden Direktur TPPI, Honggo
Wendratno, belum bisa dimintai konfirmasi. Didatangi di lantai 20 gedung
MidPlaza, Jakarta, petugas keamanan membenarkan bahwa di sana kantor Honggo.
Namun ia mengatakan bosnya sedang tak berada di tempat. Demikian pula menurut
seorang pegawai di lantai itu. “Beliau sudah beberapa hari tidak ada.”
Pelaksana harian Komunikasi
Korporat PLN, Sampurno Marnoto, belum mau menanggapi kasus TPPI yang melibatkan
PLN. “Saat ini saya tidak bisa memberikan informasi itu,” ucapnya. Juru bicara
Pertamina, Wianda Pusponegoro, menyatakan Pertamina ingin TPPI membayar
utangnya melalui skema restrukturisasi yang telah ditentukan.
Adapun Kepala SKK Migas, Amien
Sunaryadi, mengatakan sebenarnya tak ada persoalan di lembaganya. “Saat itu SKK
Migas hanya mendapat perintah sebenarnya tak ada persoalan di lembaganya. “Saat
itu SKK Migas hanya mendapat surat perintah dari Kementerian Keuangan untuk
mengirimkan kondensat ke TPPI,” ujarnya. “Jika surat perintah datang, kami
tidak bisa berbuat apa-apa.” (Aditya Budiman/Tri Artining Putri/Istman
MP/Robby Irfani).
Demikian berita
yang disiarkan Koran Tempo, 12 Mei 2015. Berita ini
menunjukkan bahwa negara merugi Rp 8,5
triliun karena korupsi, manipuasi, dan salah urus di PT
Trans—Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Kerugian ini melibatkan lembaga
dan perusahaan milik negara, yakni SKK Migas, PT Perusahaan Listrik Negara, dan
PT Pertamina. Semuanya terkait dengan pengurusan dan pengusahaan energi. Dari
sini, khalayak menyadari bahwa pengurusan dan pengusahaan energi di Indonesia
selama ini memang bermasalah (Selama ini kesadaran itu hanya dirasakan secara
intuitif).
Mungkin
ada juga khalayak yang skeptis dengan berita tersebut. Mereka menduga berita
itu hanya untuk “menyenang-nyenangkan” khalayak saja. Mereka tidak yakin bahwa
berita tersebut akan mampu mengembalikan kerugian negara sebanyak itu. Mereka,
bahkan, curiga berita itu untuk memperbaiki citra polisi setelah diharu-birukan
oleh usaha mengkriminalisasikan KPK.
Sampai di sini muncul persoalan,
bagaimana wartawan bisa menghindari kemungkinan itu? Wartawan hanya pencerita,
tukang kabar. Dia bukan seorang politisi, bukan pula petugas partai. Kemampuannya hanya berkisah. Maka, dia harus
terus-menerus meng-update berita
tersebut. Dia tidak boleh berhenti menulis berita lanjutan dari berita
itu. Dia perlu terus-menerus memenuhi
kebutuhan informasi khalayak tentang kejadian itu. Dengan begitu, Polri tidak
berhenti mengusut kasus itu. Bukankah mereka melihat bahwa ada wartawan yang
mengawasi mereka dan ada pula khalayak yang menunggu kelanjutan berita itu?
Begitulah berita yang bersifat
mengawasi atau mengkritik penguasa atau penyelenggara negara. Berita ini memang
membuat kuping obyek berita menjadi merah. Namun, pada gilirannya ia akan
mendorong pemerintahan di masa depan menjadi lebih baik.***
Rejodani, 15 Mei 2015


0 komentar:
Posting Komentar