Kapolri dan Kepala Badan Reserse berbeda
pendapat
soal waktu penahanan.
JAKARTA—Penangkapan Novel Baswedan, penyidik
Komisi Pemberantasan Korupsi, kemarin dinihari menunjukkan sekali lagi
pembangkangan polisi terhadap perintah Presiden Joko Widodo. Pada 26 Januari
lalu, Jokowi secara tegas mengatakan agar polisi dan KPK tak saling
mengkriminalkan. “Sekali lagi saya tegaskan, jangan ada kriminalisasi,”
katanya.
Perintah kepala Negara itu tak
diindahkan. Polisi meneruskan pemeriksaan terhadap para pemimpin KPK yang
menetapkan Wakil Kepala Polri Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka suap.
Setelah Bambang Widjajanto menjadi tersangka, Kapolisian Sulawesi Selatan dan
Barat juga hendak menahan Abraham Samad, Ketua KPK nonaktif. Kini, Novel
dijemput paksa.
Kepala Polri Jenderal Badrodin
Haiti mengatakan penangkapan Novel diperlukan untuk merekonstruksi kasusnya di
Bengkulu. Novel dituduh menembak pencuri sarang burung wallet ketika menjabat
Kepala Satuan Reserse di Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004—tuduhan yang sudah
dibantah oleh korbannya. Dan, kata Badrodin, Novel dua kali mangkir ketika
dipanggil. Jadi, ditangkap supaya tak kabur” katanya.
Mendengar penangkapan Novel itu,
Presiden Joko Widodo kembali bereaksi. Seusai salat Jumat di Masjid Kota Barat,
Solo, Jawa Tengah, Jokowi kembali meminta polisi melepaskan Novel. “Saya
perintahkan langsung kepada Kapolri agar (Novel) tak ditahan,” katanya.
Alih-alih mengindahkan perintah,
polisi membawa Novel ke Markas Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, untuk
ditahan. Tangan Novel diborgol dengan tali plastik putih. Sorenya, ia
diterbangkan ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi kasusnya. Rekonstruksi
batal karena Novel tak didampingi pengacara.
Badrodin menjamin Novel hanya
ditahan 1 x 24 jam. Namun, Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal
Budi Waseso mengatakan Novel akan ditahan dalam 20 hari ke depan. “Ini prosedur
hukum,” kata dia. Saat menangkap Bambang Widjajanto, Waseso juga tak meminta
izin lebih dulu kepada Badrodin.
Penangkapan Novel memancing
reaksi publik. Ketua Bidang Hukum Indonesia
Corruption Watch, Emerson Yuntho, menganggap penahanan Novel sebagai bentuk
pembangkangan polisi secara telanjang kepada Presiden. Sebab, tak hanya
terhadap KPK yang membongkar korupsi di tubuh kepolisian, polisi juga
menjadikan para pendukung KPK sebagai tersangka. “Jika Jokowi tak keras,
pembangkangan akan terus terjadi,” katanya.(*Putri Adityowati/Dewi Suci R/Ahmad Rafiq/Aisha S/R Rikang/Imam
Hamdi/Linda T/M Rizki/Moyang K).
Demikian berita
yang disiarkan Koran Tempo, 2 Mei
2014 di halaman mukanya. Sebagai berita yang menempati halaman muka, sebenarnya
Koran Tempo ingin menarik perhatian
khalayaknya tentang pesan yang ingin disampaikannya. Apa pesannya? Sangat
gamblang: polisi membangkang kepada Jokowi.
Pembangkangan
itu, ternyata, bukan yang pertama. Ia merupakan pembangkangan yang kedua. Kalau
sudah begini, polisi sudah tidak patuh lagi kepada Presiden, Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Polisi seolah-olah ingin membentuk
negara sendiri. Polisi sudah tidak peduli dengan dunia di luar dirinya.
Mengerikan!
Kenyataan ini
tidak akan menjadikan masyarakat lantas menghormati Kepolisian Republik
Indonesia (Polri). Mereka yang selama ini masih belum bersikap terhadap Polri akan
segera mengecam Polri. Mereka yang selama ini sudah membenci Polri akan
memandang rendah Polri. Tegasnya, masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan
Polri.
Terima kasih
kepada para wartawan Koran Tempo yang
sudah menciptakan kesadaran baru tentang Polri.***
Rejodani, 5 Mei 2015


0 komentar:
Posting Komentar