usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Sabtu, 09 Mei 2015


Kapolri dan Kepala Badan Reserse berbeda pendapat
soal waktu penahanan.


JAKARTA—Penangkapan Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, kemarin dinihari menunjukkan sekali lagi pembangkangan polisi terhadap perintah Presiden Joko Widodo. Pada 26 Januari lalu, Jokowi secara tegas mengatakan agar polisi dan KPK tak saling mengkriminalkan. “Sekali lagi saya tegaskan, jangan ada kriminalisasi,” katanya.
Perintah kepala Negara itu tak diindahkan. Polisi meneruskan pemeriksaan terhadap para pemimpin KPK yang menetapkan Wakil Kepala Polri Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka suap. Setelah Bambang Widjajanto menjadi tersangka, Kapolisian Sulawesi Selatan dan Barat juga hendak menahan Abraham Samad, Ketua KPK nonaktif. Kini, Novel dijemput paksa.
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan penangkapan Novel diperlukan untuk merekonstruksi kasusnya di Bengkulu. Novel dituduh menembak pencuri sarang burung wallet ketika menjabat Kepala Satuan Reserse di Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004—tuduhan yang sudah dibantah oleh korbannya. Dan, kata Badrodin, Novel dua kali mangkir ketika dipanggil. Jadi, ditangkap supaya tak kabur” katanya.
Mendengar penangkapan Novel itu, Presiden Joko Widodo kembali bereaksi. Seusai salat Jumat di Masjid Kota Barat, Solo, Jawa Tengah, Jokowi kembali meminta polisi melepaskan Novel. “Saya perintahkan langsung kepada Kapolri agar (Novel) tak ditahan,” katanya.
Alih-alih mengindahkan perintah, polisi membawa Novel ke Markas Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, untuk ditahan. Tangan Novel diborgol dengan tali plastik putih. Sorenya, ia diterbangkan ke Bengkulu untuk menjalani rekonstruksi kasusnya. Rekonstruksi batal karena Novel tak didampingi pengacara.
Badrodin menjamin Novel hanya ditahan 1 x 24 jam. Namun, Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso mengatakan Novel akan ditahan dalam 20 hari ke depan. “Ini prosedur hukum,” kata dia. Saat menangkap Bambang Widjajanto, Waseso juga tak meminta izin lebih dulu kepada Badrodin.
Penangkapan Novel memancing reaksi publik. Ketua Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, menganggap penahanan Novel sebagai bentuk pembangkangan polisi secara telanjang kepada Presiden. Sebab, tak hanya terhadap KPK yang membongkar korupsi di tubuh kepolisian, polisi juga menjadikan para pendukung KPK sebagai tersangka. “Jika Jokowi tak keras, pembangkangan akan terus terjadi,” katanya.(*Putri Adityowati/Dewi Suci R/Ahmad Rafiq/Aisha S/R Rikang/Imam Hamdi/Linda T/M Rizki/Moyang K).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 2 Mei 2014 di halaman mukanya. Sebagai berita yang menempati halaman muka, sebenarnya Koran Tempo ingin menarik perhatian khalayaknya tentang pesan yang ingin disampaikannya. Apa pesannya? Sangat gamblang: polisi membangkang kepada Jokowi.

Pembangkangan itu, ternyata, bukan yang pertama. Ia merupakan pembangkangan yang kedua. Kalau sudah begini, polisi sudah tidak patuh lagi kepada Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Polisi seolah-olah ingin membentuk negara sendiri. Polisi sudah tidak peduli dengan dunia di luar dirinya. Mengerikan!

Kenyataan ini tidak akan menjadikan masyarakat lantas menghormati Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Mereka yang selama ini masih belum bersikap terhadap Polri akan segera mengecam Polri. Mereka yang selama ini sudah membenci Polri akan memandang rendah Polri. Tegasnya, masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan Polri.

Terima kasih kepada para wartawan Koran Tempo yang sudah menciptakan kesadaran baru tentang Polri.***

Rejodani, 5 Mei 2015 

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.