usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 01 Juli 2015


Kenaikan dana partai tidak relevan dengan upaya pencegahan korupsi.


Mahardika Satria Hadi


JAKARTA—Presiden Joko Widodo mendukung keputusan Kementerian Dalam Negeri membatalkan kenaikan dana bantuan partai politik. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Indra Baskoro, mengatakan rencana melipatgandakan dana partai urung dilakukan karena tak sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini.
“Setelah berdiskusi dengan Presiden dan Wakil Presiden, kami memutuskan tidak melanjutkannya,” kata Indra saat dihubungi, kemarin. “Presiden juga sudah setuju dengan penolakan itu karena memang tidak sesuai.”
Indra membenarkan bahwa kementeriannya telah menyerahkan draf usulan dana partai yang terbaru kepada Jokowi. Namun, usulan itu terpaksa ditunda sampai keadaan ekonomi Indonesia membaik. “Besaran dana dari negara yang hanya diberikan untuk parpol akan menimbulkan kesenjangan bagi masyarakat,” ujarnya.
Sabtu lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan usulan kenaikan dana partai. Padahal sebelumnya Tjahjo yang berinisiatif menambah dana partai sebesar 10 kali lipat untuk mencegah potensi korupsi yang dilakukan para kader partai. “Kalau perlu, pemerintah mendanai seluruh parpol, baik untuk operasional, kaderisasi, maupun persiapan memasuki pemilu,” katanya, pekan lalu.
Sejumlah petinggi partai menanggapi beragam pembatalan kenaikan dana parpol tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demikrasi Indonesia Perjuangan, Komarudin Watubun, misalnya, mengatakan dana partai diperlukan dalam negara demokrasi. “Partai adalah bagian dari republik. Memang sudah sepatutnya dibiayai negara,” ujarnya, kemarin.
Sedangkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)—partai yang menjadi motor koalisi nonpemerintah—tak ambil pusing oleh pembatalan tambahan dana partai. “Dinaikkan silakan, tidak pun tak masalah,” kata Sekretaris  Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Menurut dia, selama ini Gerindra tak pernah menggantungkan sumber pendanaan dari sumbangan pemerintah. “Sumber internal kami jauh lebih kuat.”
Peneliti dari Indonesia Budget Center, Roy Salam, mengatakan kenaikan dana partai tidak relevan dengan upaya pencegahan korupsi. Sebab, menurut dia, tata kelola keuangan di internal partai selama ini juga kurang baik. “Mereka tak transparan dengan sistem keuangan sendiri.” (Reza Aditya/Indri Maulidar/Indra Wijaya/Faiz Nasrillah.

Demikianlah berita yang disiarkan Koran Tempo, 29 Juni 2015. Kita lega mendengar respons pemerintah terhadap usulan kenaikan dana partai dari pemerintah. Soalnya, kondisi ekonomi Indonesia lagi terpuruk. Kita tidak tahu persis kapan kondisi ekonomi Indonesia ini akan membaik.

Namun, kita juga tidak tahu persis mengapa Menteri Dalam Negeri mengusulkan kenaikan dana partai dari pemerintah. Apalagi jika dikaitkan dengan pencegahan korupsi. Sekalipun dana partai sudah banyak, kalau elit partainya tidak bermoral, tetap saja akan terjadi korupsi. Jadi, sulit membayangkan dana partai yang besar dari pemerintah akan menyebabkan korupsi elite partai berkurang.

Kalau kita mau jujur, dengan adanya elit partai yang duduk di dalam kabinet kerja Presiden Jokowi, tanda-tanda korupsi itu sudah mulai tampak. Misalnya, dengan menempatkan orang partai sebagai staf ahli menteri. Lewat kegiatan yang dirancang oleh staf ahli ini, partai memperoleh fee dari kegiatan tersebut. Lucu juga rasanya mendengar elit partai yang mengatakan tidak memperoleh dana dari pemerintah. 

Namun, dalam berurusan dengan partai politik, tidak ada yang transparan dan jujur. Para elit partai politik selalu berusaha menyembunyikan rahasia tentang apa saja yang menyangkut partainya. Lebih dari itu, mereka punya kuasa wicara. Jadi, kita sebagai masyarakat tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada partai politik.***

Rejodani, 30 Juni 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.