Hak dan
kewajiban merupakan hal yang sambung-menyambung atau korelatif antara satu dan
lainnya. Setiap ada hak maka ada kewajiban. Demikian kutipan pendapat Abd.
Haris dalam bukunya yang berjudul Etika
Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius hal. 103.
Apakah
isi kutipan di atas juga berlaku pada wartawan? Wartawan memang punya hak dan
kewajiban. Apa hak wartawan? Hak wartawan adalah memperoleh segala jenis
informasi tentang publik yang kelak akan ditulis menjadi berita. Apa pula
kewajiban wartawan? Kewajiban wartawan adalah menggunakan haknya untuk kebaikan
dirinya dan kebaikan khalayak. Dalam implementasinya, wartawan menyiarkan berita
dengan mengutamakan kepentingan khalayak dan menjaga kehormatan dirinya. Dengan
demikian, hak wartawan adalah kekuasaan yang diberikan oleh media pers
tempatnya bekerja. Namun, hak ini sesungguhnya berasal dari khalayak.
Dalam
praktiknya, wartawan memaknai haknya bertolak dari kesadaran batinnya.
Akibatnya, dia merasa punya kekuatan untuk menembus semua hambatan dalam memperoleh informasi publik. Kekuatan inilah
yang kemudian menjadi fondasi kerjanya sehari-hari.
Persoalannya
lantas, apakah hak dan kewajiban wartawan itu setara? Mengacu kepada pendapat
Buya Hamka yang dikutip Abd. Haris dalam buku Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius, hal 104, hak lebih luas daripada kewajiban.
Artinya, tidak semua informasi publik yang diperoleh wartawan wajib dilaporkan
kepada khalayak. Ketika seorang narasumber minta informasi yang disampaikannya off the record, wartawan wajib tidak menyiarkannya.
Sebaliknya, ketika seorang narasumber ikhlas semua informasi dari dirinya untuk
disiarkan, wartawan tidak wajib menyiarkan semuanya. Dia boleh menyiarkan hanya
satu kalimat saja.
Sampai
di sini, muncul pertanyaan, bagaimana sih
sebenarnya pekerjaan wartawan itu? Setiap wartawan dilatih sebelum menjalani
profesinya. Dia juga diawasi oleh editornya ketika menjalani profesinya. Dia
tidak menyiarkan berita yang akan ditulisnya seorang diri. Dengan demikian,
berita yang sampai kepada khalayak merupakan hasil kerja kolektif. Namun, kalau
ada narasumber dan khalayak yang protes atau menuntut, mereka bisa
menyampaikannya kepada penanggung jawab media pers bersangkutan.
Kalau kelak
memang ada kejadian seperti itu, media pers wajib “melayaninya” sesuai dengan
batasan pemberitaan yang berlaku. Media pers tidak boleh mendiamkan saja protes
dan tuntutan itu. Artinya, kewajiban media pers berlaku sampai pada pasca
penyiaran berita.
Maka praktis ada kegiatan yang tidak wajib
dikerjakan wartawan tetapi dia berhak mengerjakannya. Tegasnya, tidak selalu
dimana ada kewajiban di sana pula ada hak wartawan. Atau sebaliknya, tidak
selalu dimana ada hak di sana pula ada kewajiban wartawan. Namun, wartawan yang
menjadi penanggung jawab media pers wajib “melayani” protes dan tuntutan
narasumber atau khalayak.
Bertolak
dari uraian singkat di atas, tentu timbul pertanyaan, apa sebenarnya kewajiban
jurnalisme? Kewajiban jurnalisme adalah meyakinkan wartawan, narasumber dan
khalayak bahwa jurnalisme tidak pernah melayani kebohongan dan fitnah. Kalau
ada berita bohong atau fitnah, itu bukan karena jurnalismenya, melainkan karena
wartawan yang tidak menjalankan hak dan kewajibannya secara proporsional.***
Rejodani, 15 Juli
2016
0 komentar:
Posting Komentar