usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 20 Juli 2016



Nilai Transaksinya mencapai Rp 275 juta

Jakarta—Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan skandal senjata ilegal dari Amerika Serikat yang dimiliki anggota Pasukan Pengamanan Presiden sedang ditangani Pusat Polisi Militer TNI. Delapan anggota Paspampres yang terlibat bakal dijatuhi sanksi, termasuk tiga yang disebut di dalam sidang  di Pengadilan Federal New Hampshire, Amerika Serikat.
“Hukuman nanti diserahkan kepada ankum (atasan yang berhak menghukum) atau Komandan Paspampres (Mayor Jenderal Bambang Suswantono),” ujar Gatot saat dicegat awak media di kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Menurut Gatot, skandal pembelian senjata itu sudah terendus sejak empat bulan lalu. Delapan anggota paspampres yang terdiri atas perwira pertama akan dikenai sanksi karena tidak mendaftarkan kepemilikan senjata tersebut ke Pengurus Besar Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin). Sedangkan senjata itu dibeli untuk kepentingan pribadi. Padahal setiap anggota TNI yang memiliki senjata secara pribadi, apapun kepentingannya, harus memiliki izin administrasi dari Perbakin.
Pada Selasa pekan lalu, Pengadilan Federal New Hampshire, Amerika Serikat, menyidangkan terdakwa tentara Amerika  Serikat, Sersan Audi N. Sumilat, 36 tahun, terkait dengan penjualan senjata ilegal yang melibatkan tiga anggota Paspampres Indonesia. Sumilat, yang bertugas di pangkalan militer Fort Bliss, mengaku bersalah menjual senjata kepada anggota Paspampres agar diselundupkan ke luar Amerika Serikat. Sumilat bakal divonis pada 11 Oktober mendatang dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan maksimal denda US$ 250 ribu atau sekitar Rp 3,2 miliar.
Menurut El Paso Times; Rabu pekan lalu, dokumen pengadilan federal New Hampshire di Amerika Serikat tidak menyebutkan bahwa anggota Paspampres bakal didakwa dalam kaitan dengan skandal tersebut. Dokumen pengadilan hanya menyebutkan, “Polisi Militer Indonesia telah menyita semua senjata ilegal tersebut di Indonesia.”
Tiga anggota Paspampres yang disebutkan dalam dokumen itu adalah Erlangga Perdana Gassing, Danang Praseto Wibowo, dan Arief Widyanto.
Gatot mengatakan senjata yang dimiliki anggota Paspampres berjenis pistol. Jumlahnya mencapai delapan buah, dan sudah disita Puspom TNI. Pernyataan Gatot berbeda dengan dokumen pengadilan federal New Hampshire, yang menyebutkan jumlah senapan mencapai 22 buah dengan nilai US$ 21 ribu atau sekitar Rp 275 juta.
Mengenai skandal tersebut, Komandan Paspampres Mayjen Bambang Suswantono enggan menjelaskan sanksi bagi anggotanya. “Sudah ditangani Markas Besar TNI. Silakan konfirmasi dengan Mabes,” kata dia.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan anggota Paspampres hanya boleh menggunakan senjata yang sudah disediakan Kementerian Pertahanan dalam operasional sehari-hari. Menurut Ryamizard, pembelian senjata standar Paspampres itu dianggarkan oleh Kementerian Pertahanan. “Harus sepengetahuan kami (jika pakai senjata lain),” ujarnya.
Adapun Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan bahwa Istana Kepresidenan tak akan ikut campur dalam penanganan kasus kepemilikan senjata ilegal oleh Paspampres. “Sudah diserahkan ke Polisi Militer. Itu (kepemilikan senjata ilegal) kan urusa sana.” (Istman MP/Natalia Santi/Hussen Abri Dongoran/Kodrat).

Demikianlah berita yang disiarkan Koran Tempo, 12 Juli 2016. Berita yang mempermalukan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Berita yang juga membuat kita curiga, jangan-jangan masih ada tindakan paspampres lain yang melanggar hukum. Soalnya, mereka sudah bertindak sewenang-wenang dan mentang-mentang (abuse of power).

Sebagai Panglima TNI, seharusnya Gatot Nurmantyo merasa malu sudah “kecolongan”. Dia juga harus marah kepada Komandan Paspampres waktu itu. Namun, berita di atas tidak memperlihatkan rasa marah itu. Perasaan menyesal pun tidak. Malah dia memberikan keterangan yang berbeda dengan isi dokumen pengadilan federal New Hampshire tentang jumlah senjata yang diselundupkan. Kalau sudah begini, bagaimana rakyat bisa sepenuhnya respek terhadap Panglima TNI?   

Di zaman keterbukaan seperti ini, seorang pejabat negara perlu berhati-hati dalam menyembunyikan informasi. Soalnya, banyak media—apakah media asing atau media sosial—yang tiba-tiba menyiarkan informasi rahasia. Bahkan kawat politik pun bisa bocor kepada media pers (Ingat kasus Wikileaks yang membocorkan ratusan ribu kawat diplomatik ke beberapa koran besar dunia). Kalau kelak masyarakat kelak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dari media asing atau media sosial, yang akan jadi “korban” adalah pejabat itu sendiri. Dia tidak akan memperoleh respek dari masyarakat. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin dia bisa melaksanakan semua rencana kerja cerdasnya dengan baik?***

Rejodani, 15 Juli 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.