Nilai Transaksinya mencapai
Rp 275 juta
Jakarta—Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan skandal senjata ilegal dari Amerika
Serikat yang dimiliki anggota Pasukan Pengamanan Presiden sedang ditangani
Pusat Polisi Militer TNI. Delapan anggota Paspampres yang terlibat bakal
dijatuhi sanksi, termasuk tiga yang disebut di dalam sidang di Pengadilan Federal New Hampshire, Amerika
Serikat.
“Hukuman nanti diserahkan kepada
ankum (atasan yang berhak menghukum) atau Komandan Paspampres (Mayor Jenderal
Bambang Suswantono),” ujar Gatot saat dicegat awak media di kompleks Istana
Kepresidenan, kemarin.
Menurut Gatot, skandal pembelian
senjata itu sudah terendus sejak empat bulan lalu. Delapan anggota paspampres
yang terdiri atas perwira pertama akan dikenai sanksi karena tidak mendaftarkan
kepemilikan senjata tersebut ke Pengurus Besar Persatuan Menembak dan Berburu
Seluruh Indonesia (Perbakin). Sedangkan senjata itu dibeli untuk kepentingan
pribadi. Padahal setiap anggota TNI yang memiliki senjata secara pribadi,
apapun kepentingannya, harus memiliki izin administrasi dari Perbakin.
Pada Selasa pekan lalu, Pengadilan
Federal New Hampshire, Amerika Serikat, menyidangkan terdakwa tentara
Amerika Serikat, Sersan Audi N. Sumilat,
36 tahun, terkait dengan penjualan senjata ilegal yang melibatkan tiga anggota
Paspampres Indonesia. Sumilat, yang bertugas di pangkalan militer Fort Bliss,
mengaku bersalah menjual senjata kepada anggota Paspampres agar diselundupkan
ke luar Amerika Serikat. Sumilat bakal divonis pada 11 Oktober mendatang dengan
ancaman hukuman 5 tahun penjara dan maksimal denda US$ 250 ribu atau sekitar Rp
3,2 miliar.
Menurut El Paso Times; Rabu pekan lalu, dokumen pengadilan federal New
Hampshire di Amerika Serikat tidak menyebutkan bahwa anggota Paspampres bakal
didakwa dalam kaitan dengan skandal tersebut. Dokumen pengadilan hanya menyebutkan,
“Polisi Militer Indonesia telah menyita semua senjata ilegal tersebut di
Indonesia.”
Tiga anggota Paspampres yang
disebutkan dalam dokumen itu adalah Erlangga Perdana Gassing, Danang Praseto
Wibowo, dan Arief Widyanto.
Gatot mengatakan senjata yang
dimiliki anggota Paspampres berjenis pistol. Jumlahnya mencapai delapan buah,
dan sudah disita Puspom TNI. Pernyataan Gatot berbeda dengan dokumen pengadilan
federal New Hampshire, yang menyebutkan jumlah senapan mencapai 22 buah dengan
nilai US$ 21 ribu atau sekitar Rp 275 juta.
Mengenai skandal tersebut, Komandan
Paspampres Mayjen Bambang Suswantono enggan menjelaskan sanksi bagi anggotanya.
“Sudah ditangani Markas Besar TNI. Silakan konfirmasi dengan Mabes,” kata dia.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
mengatakan anggota Paspampres hanya boleh menggunakan senjata yang sudah
disediakan Kementerian Pertahanan dalam operasional sehari-hari. Menurut
Ryamizard, pembelian senjata standar Paspampres itu dianggarkan oleh
Kementerian Pertahanan. “Harus sepengetahuan kami (jika pakai senjata lain),”
ujarnya.
Adapun Menteri Sekretaris Negara
Pratikno menegaskan bahwa Istana Kepresidenan tak akan ikut campur dalam
penanganan kasus kepemilikan senjata ilegal oleh Paspampres. “Sudah diserahkan
ke Polisi Militer. Itu (kepemilikan senjata ilegal) kan urusa sana.” (Istman MP/Natalia Santi/Hussen Abri
Dongoran/Kodrat).
Demikianlah berita yang disiarkan Koran Tempo, 12 Juli 2016. Berita yang
mempermalukan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Berita yang juga membuat
kita curiga, jangan-jangan masih ada tindakan paspampres lain yang melanggar
hukum. Soalnya, mereka sudah bertindak sewenang-wenang dan mentang-mentang (abuse of power).
Sebagai Panglima TNI, seharusnya Gatot
Nurmantyo merasa malu sudah “kecolongan”. Dia juga harus marah kepada Komandan
Paspampres waktu itu. Namun, berita di atas tidak memperlihatkan rasa marah
itu. Perasaan menyesal pun tidak. Malah dia memberikan keterangan yang berbeda dengan
isi dokumen pengadilan federal New Hampshire tentang jumlah senjata yang
diselundupkan. Kalau sudah begini, bagaimana rakyat bisa sepenuhnya respek
terhadap Panglima TNI?
Di zaman keterbukaan seperti ini, seorang
pejabat negara perlu berhati-hati dalam menyembunyikan informasi. Soalnya,
banyak media—apakah media asing atau media sosial—yang tiba-tiba menyiarkan
informasi rahasia. Bahkan kawat politik pun bisa bocor kepada media pers (Ingat
kasus Wikileaks yang membocorkan ratusan ribu kawat diplomatik ke beberapa
koran besar dunia). Kalau kelak masyarakat kelak mengerti apa yang sesungguhnya
terjadi dari media asing atau media sosial, yang akan jadi “korban” adalah
pejabat itu sendiri. Dia tidak akan memperoleh respek dari masyarakat. Kalau
sudah begini, bagaimana mungkin dia bisa melaksanakan semua rencana kerja
cerdasnya dengan baik?***
Rejodani,
15 Juli 2016
0 komentar:
Posting Komentar