usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 06 Juli 2016




Pekerjaan dan keahlian para wartawan adalah mengemas informasi menjadi sebuah berita yang penting dan bermanfaat buat khalayak. Dalam mengerjakan pekerjaan itu, mereka menggunakan berbagai teknik, mulai dari teknik mengumpulkan fakta, teknik menulis berita, tekni mem-framing berita, teknik menyunting berita hingga teknik menyiarkan berita. Mereka yang menguasai semua teknik inilah yang berhak disebut memiliki keterampilan teknis jurnalisme. 

Semua teknik di atas bisa dipelajari dan dilatihkan. Namun, untuk memperoleh keterampilan teknis jurnalisme yang memadai, semua orang harus berlatih menggunakan semua teknik tersebut. Semakin sering mereka berlatih, semakin terampil pula mereka menggunakan teknis jurnalisme.   

          Bagi mereka yang sudah terampil menggunakan teknis jurnalisme, profesi wartawan bukan sekadar mempraktikkan keterampilan teknis jurnalisme. Mereka menjadikan profesi wartawan sebagai sarana mengabdi untuk kepentingan orang banyak. Mereka menjadikannya sebagai jalan hidup. Dalam keadaan begini, mereka ingin berita yang dibaca khalayak mengutamakan kepentingan khalayak dan bermanfaat buat khalayak. Kalau sudah begini, barulah mereka puas. Pada titik inilah mereka menganggap diri mereka sudah menjalankan profesinya dengan baik. 

          Persoalannya lantas, bagaimana khalayak menilai sebuah berita memang penting dan bermanfaat buat mereka? Yakni dengan mengidentifikasi wacana yang terkandung dalam berita. Kalau wacananya memang penting buat khalayak dan bermanfaat buat mereka, sesungguhnya wartawan yang menulis berita bersangkutan sudah menjalankan profesinya dengan baik. Sebaliknya, kalau wacananya tidak penting buat khalayak dan tidak pula bermanfaat buat khalayak, atau malah beritanya tidak punya wacana sama sekali, penulis berita tersebut belum menjalankan profesinya dengan baik. Yang terakhir inilah yang membuat reputasi jurnalisme menjadi jelek. 

          Bertolak dari penjelasan singkat ini, kita bisa mengatakan bahwa reputasi jurnalisme ditentukan oleh wacana yang terdapat dalam sebuah berita. Kalau wacana itu penting dan bermanfaat buat khalayak, jurnalismenya bereputasi. Kalau wacana itu tidak ada atau ada tapi tidak penting dan tidak pula bermanfaat buat khalayak, jurnalismenya tidak bereputasi.

          Dengan penampilan berita yang disiarkan media pers sekarang ini, mungkin tidak mudah mencari praktik jurnalisme yang bereputasi. Soalnya, beberapa pemilik media pers sekarang adalah juga ketua umum partai politik. Mereka menggunakan media persnya untuk menyiarkan berita dengan wacana yang mengutamakan kepentingan partainya dan bermanfaat untuknya. Namun, kita tidak boleh larut dengan kondisi ini. Kita perlu mencari wacana lain yang bisa meng-counter wacana itu.***

Rejodani, 2 Juli 2016
 

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.