usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 06 Juli 2016



Pulau Agung Sedayu tetap dilanjutkan dengan sejumlah syarat.
Devy Ernis


JAKARTA—Komite Bersama Reklamasi Teluk Jakarta memutuskan melarang PT Agung Podomoro Land meneruskan pembangunan Pulau G. “Kami putuskan pembangunan Pulau G harus dihentikan dalam waktu seterusnya,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli di kantornya, kemarin.
Keputusan tersebut diambil seusai rapat koordinasi yang dipimpin oleh Rizal Ramli serta dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, juga Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Siti Nurbaya.
Rizal mengatakan Komite Bersama menilai pembangunan Pulau G masuk kategori pelanggaran berat karena mengancam lingkungan hidup, obyek vital strategis, pelabuhan, dan lalu lintas laut. Obyek vital antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang, yang hanya berjarak 300 meter dari pulau.
PLTU ini memasok kebutuhan listrik di wilayah Jakarta, seperti di Bandara Soekarno-Hatta dan Stasiun Gambir. Pembangkit ini mengandalkan air laut sebagai air baku untuk menghasilkan listrik dan air pendingin mesin pembangkit. Karena itu, jika pembangunan pulau tetap dilanjutkan, dapat berpotensi mengganggu pasokan listrik ke Jakarta.
Menurut Rizal, pembangunan di Pulau G juga bakal mengganggu kabel bawah laut yang menghubungkan jaringan nasional dan internasional. Reklamasi juga dinilai akan mengganggu lalu lintas kapal nelayan karena mereka jadi sulit berlabuh di Muara Angke akibat pendangkalan laut. “Sekarang nelayan harus memutar, sehingga ongkos bahan bakar jadi mahal,” ucapnya.
Selain Pulau G, Komite Bersama menyoroti Pulau C, D, dan N. Pembangunan ketiga pulau tersebut masuk dalam pelanggaran sedang lantaran pembangunannya tidak sesuai dengan proposal. Dalam proposal, Pulau C dan D dibuat terpisah, tapi kenyataannya menyatu.
Agung Sedayu Group masih bisa melanjutkan pembangunan tiga pulau itu dengan sejumlah perbaikan, seperti membangun kanal pemisah selebar 100 meter dan dalam 8 meter untuk mencegah banjir. Ada sekitar 300 ribu meter kubik batu-batu dan tanah yang harus dikeruk untuk membuat kanal. “Biayanya memang bisa sampai miliaran rupiah untuk mengeruk itu, tapi harus dilakukan,” Rizal.
Ketua Tim Lingkungan Komite Bersama Reklamasi San Afri Awang mengatakan saat ini PT Kapuk Niaga Indah, anak usaha Agung Sedayu, sedang mengeruk pulau untuk membuat kanal. “Tim kami sudah mengecek ke lapangan,” kata Direktur Planologi Kementerian Lingkungan itu. Sedangkan untuk Pulau N, pembangunan pelabuhan milik Pelindo II, juga diteruskan dengan beberapa perbaikan.
Keputusan penghentian proyek Pulau G itu akan dituangkan dalam surat keputusan yang nantinya ditandatangani oleh menteri terkait, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perhubungan, serta Menteri Lingkungan Hidup, dalam waktu dekat.
Komite Bersama masih mengkaji 13 pulau lainnya. Selama tiga bulan ke depan, komite juga bakal menyelaraskan seluruh aturan mengenai reklamasi. Jika telah selesai, aturan akan disahkan.
Menteri Susi menyambut baik keputusan ini. “Sudah seharusnya pengembang ikut aturan.”

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 1 Juli 2016. Berita ini segera dibantah oleh PT Agung Podomoro Land (APL). Bantahan ini disiarkan oleh Detik.com, 2 Juli 2016 sebagai berikut:

 PT Agung Podomoro Land (PT APL) mengklaim reklamasi pulau G dilakukan oleh para ahli profesional. Mereka juga membantah aktivitas reklamasi tersebut merusak lingkungan maupun mengganggu jalur kapal nelayan. 
"Pelaksana proyek ini merupakan para ahli di bidang reklamasi, sehingga proses reklamasi Pulau G dilaksanakan dengan baik dan tentunya dengan kajian yang menyeluruh. Sebelum pelaksanaan, survei lapangan telah dilaksanakan dengan berbagai metode, antara lain: batimetri, pinger dan soiltest," ucap VP Director PT APL, Noer Indradjaja dalam konfrensi pers di Hotel Pulman Central Park, Jakarta Barat, Sabtu (2/6/2016). (http://news.detik.com/berita/3247422/agung-podomoro-bantah-reklamasi-pulau-g-rusak-lingkungan-dan-ganggu-kapal, diakses 2 Juli 2016).

     Persoalannya lantas, wacana mana yang harus kita percaya: wacana yang disampaikan pemerintah atau wacana yang disampaikan PT APL? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa mengetahui indikator yang dipakai. Maka, diperlukan informasi tentang indikator itu.

          Secara konseptual, wacana adalah makna yang tersirat. Ia lahir berkat teknik framing yang dipakai. Dalam jurnalisme, apa pun teknik framing yang dipakai, tentu saja sah. Namun, teknik itu harus merujuk kepada kepentingan publik. Dengan kata lain, dalam melihat wacana yang pantas kita tangkap, yang menjadi pertimbangan utama adalah kepentingan publik. 

Dari kedua berita di atas, kira-kira berita mana yang mengutamakan kepentingan publik? Jawabannya sangat tegas: berita pertama. Jadi, wacana yang harus kita pegang adalah wacana yang disampaikan berita pertama.***

Rejodani, 2 Juli 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.