Adapun fenomena kejanggalan itu antara lain pers cenderung tidak
tertarik memperdalam fakta-fakta hukum dan pernyataan Susno Duadji yang sudah
disampaikannya berkali-kali, baik kepada pers maupun pihak terkait, bahwa
dirinya tidak terlibat dugaan kriminalisasi KPK. Alasan Susno Duadji yang
menyebutkan dirinya tidak menangani kasus KPK, ternyata tidak menjadi inspirasi
bagi insan pers untuk mengolahnya sebagai tema laporan utama atau wawancara
dengan Susno Duadji.
Demikian keterangan yang tertulis dalam buku Mereka Menuduh Saya (hal. 437) karya Achmad Setiyaji. Keterangan
ini menyindir media pers yang tidak berusaha untuk menggali lebih dalam
keterangan Susno Duadji. Padahal dia menjadi obyek pemberitaan.
Pada halaman lain, buku yang sama, seorang kolega Susno Duadji mengungkapkan
keheranannya tentang sikap media pers. Katanya:
Biasanya, kan pers kritis terhadap suatu isu dengan pola kerjanya menelusuri penanggungjawab suatu kasus dan mengungkapkannya dalam suatu tulisan berita atau laporan mendalam sebagai cerminan pers bersangkutan telah menjalankan fungsi persnya melakukan penyebaran informasi, mendidik masyarakat, dan kontrol sosial. Tapi, kenapa ya, kok untuk isu yang menuduh Susno Duadji sebagai otak rekayasa kriminalisasi KPK ternyata pers tidak melakukan itu (hal. 438).
Kutipan ini menunjukkan bahwa khalayak
mengerti bahwa media pers selalu kritis terhadap sebuah isu. Namun, ketika
memberitakan isu tentang Susno Duadji tentang otak kriminalisasi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), media pers sama sekali tidak kritis. Media pers
mengikuti saja kemauan khalayak. Akibatnya, media pers melanggar azas praduga
tak bersalah, melakukan trial by the
press, dan yang lebih celaka lagi, tidak mendidik khalayak.
Sebagai sebuah fenomena politik, tentu
isu Susno Duadji sebagai otak kriminalisasi KPK sarat dengan kepentingan, sikap,
dan pikiran politik. Isu tersebut dipakai untuk menjatuhkan Susno Duadji dan
menaikkan orang lain. Karena kepentingan satu pihak sudah terlanjur lebih
penting dari kepentingan bersama, Susno Duadji harus menjadi korban politik.
Apapun alasannya, nilai kritis
jurnalisme tidak boleh luntur. Justru dengan nilai kritis itulah selama ini
media pers mampu mengungkapkan informasi yang tersembunyi. Dengan nilai kritis
itu pula media pers mampu membedah sebuah kasus menggunakan jurnalisme investigatif.
Untuk itu, media pers tidak boleh lagi mengulangi kasus Susno Duadji.
Jadikanlah itu kasus terakhir dalam praktik jurnalisme Indonesia.
Persoalannya lantas, apa yang harus
dilakukan jurnalisme agar tetap memelihara nilai kritisnya? Jawabannya tegas: “jujur”
dan “adil”. Jujur di sini hendaklah dipahami sebagai jujur kepada diri wartawan
sendiri, jujur kepada Tuhan, dan jujur kepada khalayak. Sedangkan adil haruslah
dimaknai sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya”.
Mungkin saja petuah ini hanya mudah
dibicarakan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Soalnya, kata A. Mustofa Bisri
dalam buku Mencari Bening Mata Air
(hal 125), sekalipun dianugerahi akal dan nurani, manusia dilengkapi ‘athifah, perasaan benci dan suka. Dominasi
perasaan benci atau suka kadang-kadang bisa mengalahkan akal dan nurani. Kalau
sudah begini, wartawan dituntut untuk tidak terlalu benci atau suka. Mereka
boleh benci atau suka, tetapi sekadarnya saja, agar tidak mengalahkan akal dan
nuraninya.***
Rejodani, 1 Agustus
2016
0 komentar:
Posting Komentar