usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 01 Juni 2014

Kita Harus Bersatu!
Obituari Mengenang 1.000 Hari Wafatnya
Prof. Dr. Akt Hadori Yunus
Penulis: Ana Nadhya Abrar
Penerbit: Keluarga Prof. Dr. Hadori Yunus, Akt., Yogyakarta
             Tahun Terbit: 2012
161 hal + x

Judul obituari ini dikutip dari pernyataan Hadori Yunus (Pak Hadori) ketika dia mengakhiri presentasinya di Gedung Gita Tamtama, Jalan Gentengkali, Surabaya, 20 November 2012. Pernyataan lengkapnya berbunyi, Tantangan ke depan sangat berat. Kita harus satu, harus satu. Setelah menyampaikan pernyataan itu, Pak Hadori terkena serangan jantung dan pingsan. Tidak lama kemudian dia meninggal dunia.

Pak Hadori wafat dalam posisi sebagai Ketua Umum Keluarga Besar Marhaenis (KBM). Sebagai Ketua Umum KBM, Pak Hadori sangat banyak memberikan donasi kepada KBM. Dalam bahasa Gunung Rajiman, Pak Hadori merupakan ujung tombak dan sekaligus ujung tombok KBM.

Dalam membesarkan KBM, Pak Hadori tidak pernah lupa bahwa KBM merupakan organisasi kemasyarakatan yang mensosialisasikan dan menerapkan pemikiran-pemikiran dan ajaran Bung Karno. Tujuan utama KBM adalah meluruskan desoekarnoisasi yang dilakukan orde baru. Agar orang tahu bahwa Soekarno itu tidak pernah mengatakan demikian, kata Tadjudin Nur Effendi (Pak Tadjudin), yang pernah mendapat pesanan Pak Hadori menuliskan pikiran-pikiran Bung Karno dalam sebuah buku berjudul Perspektif Pemikiran Bung Karno.

Menurut Pak Tajuddin, secara ideologis Pak Hadori sangat konsisten. Dari dulu, dia sangat setia dengan pemikiran Bung Karno. Dia mengerti betul bahwa akibat desoekarnoisasi selama orde baru, banyak orang yang tidak mengerti persis pemikiran Bung Karno. Kalaupun ada yang mengerti, mereka hanya mengerti sepotong-sepotong, tambah Pak Tadjudin.

Pikiran Pak Hadori tidak hanya terfokus kepada bidang kemasyarakatan saja. Dia adalah juga seorang akuntan publik handal yang punya Kantor Akuntan Publik (KAP) di berbagai kota besar di Indonesia. Dia juga seorang guru besar. Namun, jabatan guru besar itu tidak diperolehnya di UGM, di tempat dia mengajar selama 37 tahun; melainkan di Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta.
  
Mengapa Pak Hadori tidak bisa memperoleh jabatan guru besar di UGM? Apakah karena dia seorang yang sangat Soekarnois dan sekaligus sangat sosialis? Atau ada alasan lain? Obituari ini menyimpan jawabannya. Namun, jawaban itu tidak akan diungkapkan di sini. Yang jelas, Pak Hadori memperoleh gelar Ph.D dari Department of Accounting and Finance, School of Management of University of Hull, Inggris.***

Rejodani, 31 Mei 2014.

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.