usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 16 April 2014




Wellington Lod Wenda:
Pemimpin Papua yang Takut Pada Tuhan
Penulis: Ana Nadhya Abrar
Penerbit: Emerson, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2011







Membaca judul biografi ini, agaknya kening Anda berkerut. Anda berpikir bahwa aku ingin menyenang-menyenangkan Pak Wellington, tokoh biografi ini. Anda berpendapat bahwa aku “ngecap”. Anda menilai bahwa judul itu datang dari diriku.

Ternyata Anda keliru. Aku tidak “ngecap”. Aku juga tidak ingin menyenang-nyenangkan Pak Wellington, Bupati Pegunungan Bintang, Provinsi Papua. Judul itu keluar dari mulut narasumber penting yang kuwawancarai.

Sampai di sini, mungkin Anda masih penasaran. Lalu, Anda berkata, “Jangan-jangan Pak Wellington mengkondisikan narasumber penting itu berbicara demikian?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kukutipkan sebagian isi prolog biografi ini:
Apakah ada pihak yang merekayasa mereka agar berkomentar seperti itu, misalnya Wellington sendiri? Saya yakin tidak sebab mereka yang berkomentar itu bukan sembarang tokoh. Ada Prof. Dr. Baltazar Kambuaya, M.B.A., Rektor Universitas Cenderawasih. Ada pula Pendeta Dr. Benny Giay, M.A., Ketua Program S-2 Studi Gereja dan Masyarakat pada Sekolah Tinggi Teologi Walter Post di Sentani, Jayapura, dan ada juga Pendeta Socratez Sofyan Yoman, S.Th, M.A., penulis buku Pemusnahan Etnis Melanesia yang pernah dilarang oleh pemerintahan Presiden SBY. Ada pula Pastor Dr. Neles Tebay, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur. Ada, bahkan, Miriyam Ambolon, aktivis perempuan yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Papua 2004--2009. Tidak masuk akal mereka bersedia direkayasa demi penciptaan imaji positif Wellington.

Apakah Anda masih penasaran?
Aku mengerti perasaan Anda. Maka dari itu, sebagai biograf, aku wajib menjelaskan makna judul biografi ini dalam isinya. Aku punya tanggung jawab moral menghadirkan realitas keseharian Pak Wellington yang berasal dari pernyataan itu. Lalu, berhasilkah aku?

Tentu Anda yang berhak menjawabnya. Tentu Anda bisa memberikan jawaban itu setelah membaca biografi ini.***

Rejodani, 14 Maret 2014.

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.