Wellington
Lod Wenda:
Penulis:
Ana Nadhya Abrar
Penerbit:
Emerson, Yogyakarta
Tahun
Terbit: 2011
Membaca judul biografi ini,
agaknya kening Anda berkerut. Anda berpikir bahwa aku ingin
menyenang-menyenangkan Pak Wellington, tokoh biografi ini. Anda
berpendapat bahwa aku “ngecap”. Anda menilai bahwa judul itu
datang dari diriku.
Ternyata Anda keliru. Aku tidak
“ngecap”. Aku juga tidak ingin menyenang-nyenangkan Pak
Wellington, Bupati Pegunungan Bintang, Provinsi Papua. Judul itu
keluar dari mulut narasumber penting yang kuwawancarai.
Sampai di sini, mungkin Anda
masih penasaran. Lalu, Anda berkata, “Jangan-jangan Pak Wellington
mengkondisikan narasumber penting itu berbicara demikian?” Untuk
menjawab pertanyaan ini, kukutipkan sebagian isi prolog biografi ini:
Apakah ada pihak yang merekayasa mereka agar berkomentar seperti itu, misalnya Wellington sendiri? Saya yakin tidak sebab mereka yang berkomentar itu bukan sembarang tokoh. Ada Prof. Dr. Baltazar Kambuaya, M.B.A., Rektor Universitas Cenderawasih. Ada pula Pendeta Dr. Benny Giay, M.A., Ketua Program S-2 Studi Gereja dan Masyarakat pada Sekolah Tinggi Teologi Walter Post di Sentani, Jayapura, dan ada juga Pendeta Socratez Sofyan Yoman, S.Th, M.A., penulis buku Pemusnahan Etnis Melanesia yang pernah dilarang oleh pemerintahan Presiden SBY. Ada pula Pastor Dr. Neles Tebay, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur. Ada, bahkan, Miriyam Ambolon, aktivis perempuan yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Papua 2004--2009. Tidak masuk akal mereka bersedia direkayasa demi penciptaan imaji positif Wellington.
Apakah Anda masih penasaran?
Aku mengerti perasaan Anda. Maka
dari itu, sebagai biograf, aku wajib menjelaskan makna judul biografi
ini dalam isinya. Aku punya tanggung jawab moral menghadirkan
realitas keseharian Pak Wellington yang berasal dari pernyataan itu.
Lalu, berhasilkah aku?
Tentu Anda yang berhak
menjawabnya. Tentu Anda bisa memberikan jawaban itu setelah membaca
biografi ini.***
Rejodani, 14 Maret 2014.
0 komentar:
Posting Komentar