Kini, setiap orang bisa dengan mudah
menghasilkan content di media sosial.
Sepanjang ada keinginan untuk berpartisipasi dan punya informasi yang akan
disampaikan, setiap individu bebas mempostingkan informasi tersebut. Dalam
keadaan begini, bukan mustahil seorang warga menyiarkan gosip, rumor, dan hoax tentang seorang tokoh teriring
harapan agar reputasi seorang tokoh hancur.
Kalau reputasi sang tokoh memang
hancur gara-gara informasi di media sosial yang sudah dibroadcast sampai jauh, berarti media sosial sudah dimanfaatkan untuk
keburukan. Kasihan sang tokoh dan kasihan pula media sosialnya. Lalu, bagaimana
cara menghindari kehancuran reputasi sang tokoh yang sudah dibangun
bertahun-tahun itu? Jawabannya ada dua, yakni, pertama, pengawasan pelaksanaan regulasi tentang berkomunikasi
lewat media sosial diperketat. Kedua,
menyiarkan profil sang tokoh lewat media pers. Yang terakhir ini berurusan
dengan jurnalisme.
Profil sang tokoh, biasanya ditulis
dalam feature (berita kisah). Tentang
ini, St. Sularto, dalam menyambut kehadiran buku Menulis Sosok, menulis antara lain:
Ada yang menerjemahkannya sebagai karangan khas—sejalan dengan jati diri media yang menyampaikan informasi, hiburan, dan pendidikan bagi pembaca—yang berbeda (khas) dalam mkendekati persoalan dibandingkan dengan berita. Ada yang mendistingsikan feature sebagai softnews, berbeda dengan berita sebagai hardnews. Tetapi, apa pun sebutan dan definisinya, feature lebih rinci dan lebih mendalam, lebih memberi latar belakang serta nuansa disbanding berita (hal. ix).
Kutipan
ini menunjukkan dalam sebuah feature,
penulisnya bisa memperlihatkan sosok tokoh yang diceritakannya secara lengkap.
Bisa saja ia merupakan pelengkap dari berita yang disiarkan. Namun, ia bisa
pula berdiri sendiri.
Biasanya feature tentang sosok tokoh meliputi
biodata, pengalaman dan ide sang tokoh. Untuk itu, penulisnya harus bekerja keras mengumpulkan
fakta yang bisa memperlihatkan ketiga unsur itu. Dia tidak cukup hanya
mewawancarai sang tokoh saja. Dia perlu juga memanfaatkan kepustakaan, merujuk
kepada sumber tertulis lain, dan mengumpulkan data dari sumber lain. Dia,
bahkan, perlu mewawancarai orang lain, baik yang pro maupun yang kontra dengan
tokoh tersebut. Wajar bila informasi yang terkandung dalam feature bersangkutan merupakan informasi yang lengkap.
Dalam
keadaan begini, feature tentang tokoh
bisa menjadi tempat konfirmasi bagi informasi yang disiarkan oleh media sosial
yang mengandung niat untuk menghancurkan reputasi sang tokoh. Tidak terlalu
berlebih-lebihan rasanya bila jurnalisme—yang menghasilkan feature tersebut—bisa menjaga reputasi tokoh.***
Rejodani, 15 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar