Kualitas jurnalisme
online, setidaknya, bisa dilihat dari
dua aspek. Pertama, dari cara berada
wartawan yang mempraktikkan jurnalisme online.
Kedua, dari berita yang dihasilkan
jurnalisme online. Dari yang terakhir
ini, paling tidak, ada empat syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, memiliki kelengkapan berita. Fakta yang ada harus
menjawab setidaknya pertanyaan 3W + 1 H, yakni What, Who, Why, How. Kalau ada
halayak yang tidak puas dengan berita tersebut, mereka bisa mengikuti berita
selanjutnya. Berita selanjutnya ini, menurut Ninok Leksono dalam tulisannya
yang “Surat Kabar di Tengah Era Baru
Media & Jurnalistik”, terdiri dari berita perkembangan, berita lanjutan,
dan kesimpulan. Bila dikaitkan dengan berita awal, setidaknya ada empat tahap
berita, yang dijelaskannya sebagai beirkut:
Pada berita awal, wartawan menyajikan semua informasi yang berkaitan dengan peristiwa yang dilaporkan. Pada berita perkembangan, peristiwa dijelaskan; latar belakang dan hubungan dengan topik lain dicari dan diuraikan. Pada berita lanjutan, berita tentang peristiwa dibuat, pertanyaan terbuka coba dijawab. Pada kesimpulan, kajian ulang atas peristiwa yang terjadi, konsekuensinya dan keseluruhan berita diterbitkan. (hal. 269).
Kutipan
ini memperlihatkan bahwa sejalan dengan perkembangan waktu, sebuah berita
memiliki kedalaman. Berita awal, setelah menempuh tiga langkah, bisa menjadi
sebuah “kesimpulan” yang memiliki kedalaman informasi yang memadai. Dengan
informasi semacam ini, khalayak akan memiliki kesempatan untuk lebih memahami
apa yang sesungguhnya terjadi dan mampu memberikan respons yang proporsional.
Kedua, punya hyperlink.
Dalam jurnalisme online, keberartian
diri seorang wartawan juga penting. Seorang reporter, misalnya, tidak hanya
memposisikan dirinya sebagai reporter, tetapi juga sebagai pembaca. Keterangan
ini sesuai dengan penjelasan Thamzil Thahir dalam tulisannya yang berjudul
“Teknik Peliputan dan Penyajian Berita Online”
berikut:
Jika di media konvensional jurnalis mengandalkan 5 W + 1 H, maka di media online jurnalis butuh 3 tools tambahan, atau alat pelacak berita tambahan. Kami di Tribun, menyebutnya dengan 3 What: What happens (apa yang terjadi sesungguhnya), What that is it mean to me (apa artinya bagi saya), dan What should I do (apa yang harus saya perbuat).
Jika di media konvensional 5 W + 1 H hanya menginformasikan berita, dan jurnalis memposisikan diri sebagai reporter (juru lapor) dengan banyak pertanyaan, maka di media online 3 What, jurnalis memposisikan diri sebagai pembaca. Berempati dan melibatkan partisipasi publik sebanyak mungkin (hal. 2).
Kutipan ini
menggambarkan bahwa secara praktis dalam menulis berita online, seorang reporter juga harus memosisikan dirinya sebagai
pembaca. Dari posisi ini, dia bisa berempati kepada pembaca dan membayangkan
informasi apa yang masih diperlukan oleh pembaca. Kalau dia merasa bahwa perlu
ada tambahan informasi yang tidak bisa dia berikan, dia bisa memperluas
informasi melalui hyperlink atau hypertext transfer protocol.
Ketiga, mempraktikkan prinsip “BASIC”. Untuk menjamin berita online sesuai dengan karakteristik media
online, ia perlu mempraktikkan
prinsip “BASIC”. Prinsip ini, kata Zainuddin Muda Zainuddin Monggilo, dalam
tesisnya yang berjudul Kualitas Berita Online pada Portal Berita Online di Indonesia (Analisis Isi Berita
Kecelakaan Pesawat Air Asia QZ8501 pada detik.com Periode Desember 2014-Januari 2015), merupakan:
Singkatan dari ringkas (brevity), bersifat adaptif (adaptability), dapat dibaca dengan cepat (scannability), bersifat interaktif (interactivity), dan mengenai masyarakat dan percakapan (community and conversation). Semuanya merupakan prinsip-prinsip fundamental dalam jurnalisme online (hal. 28).
Keempat, tetap mengamalkan prinsip jurnalisme. Salah satu
keunggulan media online selama ini
adalah kecepatan berita. Kecepatan ini, kalau dimanfaatkan oleh jurnalisme online, tentu akan terjadi get the story first and right. Namun,
pada praktiknya media online tidak
jarang terjerumus kepada get the story first- then-get it right.
Kalau sudah begini, jurnalisme online
sudah mengabaikan kebenaran. Padahal kebenaran menjadi salah satu ukuran
kualitas berita yang dihasilkan jurnalisme publik. Ini sesuai dengan petuah
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku berjudul The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, bahwa
prinsip pertama jurnalisme adalah wajib melayani kebenaran (hal.12).
Keunggulan lain dalam media online adalah dalam pengumpulan fakta.
Untuk pengumpulan fakta, bisa saja reporter melakukan “cut and paste” fakta dari berita lain. Lepas dari perdebatan
berita itu sudah menjadi hak publik, tetap saja ia melakukan plagiarisme.
Padahal menurut Ninok Leksono, yang mengutip tulisan pada Online Journalism Review, 02/04/2002 dalam tulisan yang sama dengan
di atas, reporter dilarang melakukan plagiarisme (hal. 276).
Bila dilihat lebih jauh, kewajiban
jurnalisme yang disebutkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel di atas diterbitkan
tahun 2001. Pada saat itu, perkembangan jurnalisme online belum sepesat seperti sekarang. Namun, pada 2010, Bill
Kovach & Tom Rosenstiel tetap setia menyarankan bahwa apa pun medianya,
prinsip-prinsipnya tetap seperti yang mereka usulkan pada tahun 2001. Bahkan,
mereka menambahkan satu prinsip lagi. Maka jadilah sepuluh prinsip, seperti
yang tertulis dalam buku Blur: How to Know What’s True in the Age of
Information Overload, yakni:
1. Kewajiban
jurnalisme kepada kebenaran
2. Loyalitas
jurnalisme adalah kepada masyarakat
3. Intisari
jurnalisme adalah disiplin verifikasi
4. Praktisnya
harus menjaga independensi terhadap sumber berita
5. Jurnalisme
harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan
6. Jurnalisme
harus menyediakan forum publik untuk kritik dan dukungan masyarakat
7. Jurnalisme
harus berupaya buat hal penting, menarik, dan relevan
8. Jurnalisme
harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional
9. Para
praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka
10. Khalayak
punya hak dan tanggung jawab ketika mereka sudah masuk ke dalam berita (hal.
223).
Kelima, menjadi arena percakapan. Banyak orang mencari berita online karena ingin memperoleh berita
yang eksklusif. Dalam dunia media, eksklusivitas itu dilihat dari tingkat
ketersembunyian sebuah peristiwa atau ide. Semakin tersembunyi sebuah peristiwa
atau ide, semakin menarik berita itu disiarkan. Dalam konteks inilah tidak
jarang berita kedua atau ketiga merupakan koreksi dari berita pertama.
Ketika
menghadirkan berita koreksi, tidak jarang wartawan juga menyajikan berita yang
dikoreksi. Dari kehadiran berita seperti ini, terjadilah percakapan. Berita
yang disiarkan kemudian menjadi arena percakapan. Dari sini, khalayak bisa membangun
diskusi yang lebih luas. Atau mereka bisa mencari informasi yang lebih akurat
tentang informasi yang berkaitan dengan berita yang keliru.
Dalam
bahasa yang lain, berita seperti ini tidak “menggurui” khalayak. Sebaliknya, ia
mengajak khalayak untuk berpikir tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Sikap
ini tentu saja mulia. Bukankah salah satu sifat hakiki manusia itu tidak ingin
digurui?***
Rejodani, 29 Februari 2016.
0 komentar:
Posting Komentar