usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 16 April 2014

Jurnalisme bukan ilmu pengetahuan seperti sosiologi atau ilmu hukum atau ilmu kedokteran. Ia, terutama, merupakan teknik. Wajar bila Richard Weiner (1996) memaknai jurnalisme sebagai keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan berita, penyuntingan berita, dan penyiaran berita. Maka semua kegiatan yang bermuara pada penyiaran berita tergolong jurnalisme.

Jamaknya sebuah teknik, penguasaan teknik dalam jurnalisme hanya bisa dilakukan lewat latihan. Latihan itu harus berjenjang dan terencana. Namun, latihan tersebut tidak harus dilakukan pada sekolah resmi, misalnya perguruan tinggi. Bukankah banyak wartawan yang menguasai jurnalisme karena berlatih secara otodidak? Bukankah ada wartawan yang menguasai jurnalisme karena sebelumnya pernah belajar logika dan bahasa?

Sampai di sini, mungkin timbul pertanyaan, lalu mengapa ada orang yang harus menempuh pendidikan S-3 di bidang jurnalisme untuk bisa menguasai jurnalisme? Karena perkembangan kondisi khalayak sebagai penerima berita sangat pesat. Karena jenis masalah yang dicakup berita sangat kompleks. Karena motif media pers menyiarkan berita sangat beragam. Karena lingkup pemberitaan sudah mulai menjangkau internasional. Karena dampak negatif berita sudah mulai merugikan khalayak. Tegasnya, seorang individu perlu menempuh pendidikan lanjutan jurnalisme untuk memahami semua kondisi tersebut dan mencarikan solusi terhadap masalah yang muncul.

Lebih dari itu, jurnalisme tidak pernah menghasilkan berita yang “mendikte khalayak untuk berpikir tentang sesuatu”, melainkan “mempengaruhi khalayak memutuskan apa yang dipikirkan atau apa yang tidak dipikirkan”. Nah, “mendikte khalayak untuk berpikir atau tidak berpikir tentang sesuatu” sangat berbeda dengan “mempengaruhi untuk memutuskan apa yang dipikirkan atau tidak dipikirkan”. Pada kondisi yang pertama, khalayak hanya menjadi follower. Pada kondisi yang kedua, khalayak berposisi sebagai pengambil keputusan. Untuk memahami semua itu, diperlukan landasan filosofis jurnalisme. Pembahasan landasan filosofis jurnalisme, biasanya, dilakukan di pendidikan lanjutan jurnalisme.

Bila dilihat lebih jauh, ternyata pada level konseptual, jurnalisme memiliki kesamaan struktur dengan filosofi. Keduanya, kata Anthony Serafini (1992), merupakan “meta” disiplin. “Jurnalisme dan filosofi sama–sama tidak memiliki “isi” dari dirinya sendiri”, tambah Serafini. Yang terakhir ini makin meneguhkan bahwa pendidikan lanjutan jurnalisme diperlukan bagi mereka yang benar-benar ingin menguasai jurnalisme.***


Rejodani, 14 April 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.