Jurnalisme bukan ilmu pengetahuan
seperti sosiologi atau ilmu hukum atau ilmu kedokteran. Ia, terutama,
merupakan teknik. Wajar bila Richard Weiner (1996) memaknai
jurnalisme sebagai keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan
berita, penyuntingan berita, dan penyiaran berita. Maka semua
kegiatan yang bermuara pada penyiaran berita tergolong jurnalisme.
Jamaknya sebuah teknik,
penguasaan teknik dalam jurnalisme hanya bisa dilakukan lewat
latihan. Latihan itu harus berjenjang dan terencana. Namun, latihan
tersebut tidak harus dilakukan pada sekolah resmi, misalnya perguruan
tinggi. Bukankah banyak wartawan yang menguasai jurnalisme karena
berlatih secara otodidak? Bukankah ada wartawan yang menguasai
jurnalisme karena sebelumnya pernah belajar logika dan bahasa?
Sampai di sini, mungkin timbul
pertanyaan, lalu mengapa ada orang yang harus menempuh pendidikan S-3
di bidang jurnalisme untuk bisa menguasai jurnalisme? Karena
perkembangan kondisi khalayak sebagai penerima berita sangat pesat.
Karena jenis masalah yang dicakup berita sangat kompleks. Karena
motif media pers menyiarkan berita sangat beragam. Karena lingkup
pemberitaan sudah mulai menjangkau internasional. Karena dampak
negatif berita sudah mulai merugikan khalayak. Tegasnya, seorang
individu perlu menempuh pendidikan lanjutan jurnalisme untuk memahami
semua kondisi tersebut dan mencarikan solusi terhadap masalah yang
muncul.
Lebih dari itu, jurnalisme tidak
pernah menghasilkan berita yang “mendikte khalayak untuk berpikir
tentang sesuatu”, melainkan “mempengaruhi khalayak memutuskan apa
yang dipikirkan atau apa yang tidak dipikirkan”. Nah, “mendikte
khalayak untuk berpikir atau tidak berpikir tentang sesuatu” sangat
berbeda dengan “mempengaruhi untuk memutuskan apa yang dipikirkan
atau tidak dipikirkan”. Pada kondisi yang pertama, khalayak hanya
menjadi follower. Pada kondisi yang kedua, khalayak berposisi
sebagai pengambil keputusan. Untuk memahami semua itu, diperlukan
landasan filosofis jurnalisme. Pembahasan landasan filosofis
jurnalisme, biasanya, dilakukan di pendidikan lanjutan jurnalisme.
Bila dilihat lebih jauh, ternyata
pada level konseptual, jurnalisme memiliki kesamaan struktur dengan
filosofi. Keduanya, kata Anthony Serafini (1992), merupakan “meta”
disiplin. “Jurnalisme dan filosofi sama–sama tidak memiliki “isi”
dari dirinya sendiri”, tambah Serafini. Yang terakhir ini makin
meneguhkan bahwa pendidikan lanjutan jurnalisme diperlukan bagi
mereka yang benar-benar ingin menguasai jurnalisme.***
Rejodani, 14 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar