usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 30 Juni 2014

Tenang Tapi Tajam Bergulat Lahirkan Keadilan:
Paulus Effendi Lotulung
Penulis: Ana Nadhya Abrar
Penerbit: Emerson, Yogyakarta
             Tahun Terbit: 2013
345 hal + xlvii

SMS dari Pak Arif (Arif Nurdu’a, S.H., M.H.) pada 29 Agustus 2013 siang itu mengabarkan bahwa Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, S.H. (Pak Paulus) meninggal dunia. Saya kaget. Saya tak menyangka dia sudah pergi. Soalnya, beberapa hari sebelumnya Pak Paulus masih menghubungi saya soal pencetakan ulang biografinya.
Memang saya pernah memperoleh informasi bahwa Pak Paulus pernah dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. Namun, dia sudah kembali ke Jakarta. Rupanya, Tuhan berkehendak lain. Dia meninggal di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta pada 29 Agustus 2013, pukul 13.35. Saya pun tafakur dan berdoa, semoga Pak Paulus beristirahat dengan tenang di alam sana. Amin.  
Tanpa saya sadari ingatan saya menuju bagian akhir epilog biografi Pak Paulus yang berjudul Tenang Tapi Tajam Bergulat Lahirkan Keadilan: Paulus Effendi Lotulung. Di situ saya menulis antara lain:
Sebagai seorang katolik yang saleh, mengutip penilaian Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Paulus sudah menempatkan iman sebagai inspirasi hidupnya. Dia sudah paham empat klasifikasi nasib manusia: (i) susah di dunia, celaka di akhirat; (ii) senang di dunia, celaka di akhirat; (iii) susah di dunia, selamat di akhirat; dan (iv) senang di dunia, selamat di akhirat. Dia sudah menetapkan pilihannya, yang keempat: senang di dunia, selamat di akhirat.

Melihat kondisinya sekarang, Paulus sudah mencapai sebagian dari senang di dunia, selamat di akhirat. Dia hidup terhormat, merdeka, dan tidak tergantung kepada orang lain. Tidak jarang dia malah yang memberi kepada orang lain, mulai dari ilmu, wawasan, hingga materi. Dia sudah mencapai segala cita-cita keduniaannya. Dia juga sudah punya modal untuk hidup di akhirat kelak. Namun, agaknya dia perlu memelihara imannya, kapan perlu meningkatkannya. Paling tidak agar dia semakin mengetahui hakikat keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan, tidak mudah ditipu oleh manusia lain, dan  kreatif menciptakan karya kemanusiaan.

Dengan iman yang sangat kuat, dia siap hidup di mana saja. Dia punya harapan dan masa depan. Dia juga siap hidup di lingkungan yang keras, seperti tergambar dalam pantun karya Abraham Ilyas dalam buku Nan Empat: Dialektika, Logika, Sistematika Alam Terkembang:

     Ibarat hidup di laut-samudra
                        Tahu badai serta guntur
                        Selalu siap menantang mara
                        Dengan ilmu hidupnya makmur

Dia siap pula hidup di lingkungan yang ramah, juga seperti tertulis dalam pantun karya Abraham Ilyas berikut:

                        Hidup sederhana di atas bumi
                        Kerja bertani sambil berternak
                        Suasana rukun istri-suami
    Menjauhkan diri dari tamak

Saya pun menjadi tenang. Saya yakin bahwa Pak Paulus sudah beristirahat dengan tenang di alam sana. 
       Lalu, siapa sesungguhnya Pak Paulus? Jawabannya bisa diperoleh dalam biografi ini. Namun, sebagai informasi awal, inilah biodata ringkasnya: Pak Paulus, kelahiran Boyolali, 9 Maret 1943, sudah melakoni profesi hukum sejak tahun 1963. Waktu itu dia bekerja sebagai pengatur hukum di Pengadilan Negeri (PN) Malang. Tidak lama kemudian dia dipindahkan ke PN Gresik dengan jabatan yang sama. Perlahan-lahan karirnya mulai merangkak. Dia menjadi hakim di PN Ngawi dan menjadi kepala biro Umum di Pengadilan Tinggi Surabaya. Pada jabatan yang terakhir inilah dia dikirim Mahkamah Agung ke Paris, Prancis, untuk bersekolah di Institut International d’Administration Publique. Ketika lulus dari sini, dia memperoleh predikat terbaik. Maka, terbukalah kesempatan buat dirinya untuk berkuliah program S-3 di L’Universite Paris I-Sorbonne.
Semenjak Pak Paulus memperoleh gelar doktor di L’Universite Paris I-Sorbonne, dia mulai diperhitungkan banyak pihak.  Pada tahun 1984, ia didaulat menjadi hakim PN Jakarta Pusat berturut-turut hingga masuk Mahkamah Agung RI pada tahun 1998 setelah setahun sebelumnya menjabat sebagai Hakim Tinggi Tata Usaha Negara. Pada tahu 2000, dia menjabat Ketua Muda Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung. Jabatan ini disandangnya sampai pensiun. Nah, dalam rangka memperingati usianya yang ke-70 dan memasuki purna baktinya di Mahkamah Agung, Pak Paulus meminta saya menulis dan menerbitkan biografinya.***

Rejodani, 30 Juni 2014.




0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.