Paulus Effendi
Lotulung
Penulis: Ana Nadhya Abrar
Penerbit: Emerson, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2013
345 hal + xlvii
SMS dari Pak Arif (Arif
Nurdu’a, S.H., M.H.) pada 29 Agustus 2013 siang itu mengabarkan bahwa Prof. Dr.
Paulus Effendi Lotulung, S.H. (Pak Paulus) meninggal dunia. Saya kaget. Saya
tak menyangka dia sudah pergi. Soalnya, beberapa hari sebelumnya Pak Paulus
masih menghubungi saya soal pencetakan ulang biografinya.
Memang saya pernah
memperoleh informasi bahwa Pak Paulus pernah dirawat di sebuah rumah sakit di
Singapura. Namun, dia sudah kembali ke Jakarta. Rupanya, Tuhan berkehendak
lain. Dia meninggal di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta pada 29 Agustus 2013,
pukul 13.35. Saya pun tafakur dan berdoa, semoga Pak Paulus beristirahat dengan
tenang di alam sana. Amin.
Tanpa saya sadari
ingatan saya menuju bagian akhir epilog biografi Pak Paulus yang berjudul Tenang Tapi Tajam Bergulat Lahirkan
Keadilan: Paulus Effendi Lotulung. Di situ saya menulis antara lain:
Sebagai seorang
katolik yang saleh, mengutip penilaian Mgr. Ignatius Suharyo
Hardjoatmodjo,
Paulus sudah menempatkan iman sebagai inspirasi hidupnya. Dia sudah paham empat
klasifikasi nasib manusia: (i) susah di dunia, celaka di akhirat; (ii) senang
di dunia, celaka di akhirat; (iii) susah di dunia, selamat di akhirat; dan (iv)
senang di dunia, selamat di akhirat. Dia sudah menetapkan pilihannya, yang
keempat: senang di dunia, selamat di akhirat.
Melihat kondisinya
sekarang, Paulus sudah mencapai sebagian dari senang di dunia, selamat di
akhirat. Dia hidup terhormat, merdeka, dan tidak tergantung kepada orang lain.
Tidak jarang dia malah yang memberi kepada orang lain, mulai dari ilmu,
wawasan, hingga materi. Dia sudah mencapai segala cita-cita keduniaannya. Dia
juga sudah punya modal untuk hidup di akhirat kelak. Namun, agaknya dia perlu
memelihara imannya, kapan perlu meningkatkannya. Paling tidak agar dia semakin
mengetahui hakikat keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan, tidak mudah ditipu oleh
manusia lain, dan kreatif menciptakan
karya kemanusiaan.
Dengan iman yang
sangat kuat, dia siap hidup di mana saja. Dia punya harapan dan masa depan. Dia
juga siap hidup di lingkungan yang keras, seperti tergambar dalam pantun karya
Abraham Ilyas dalam buku Nan Empat:
Dialektika, Logika, Sistematika Alam Terkembang:
Ibarat hidup di laut-samudraTahu badai serta gunturSelalu siap menantang maraDengan ilmu hidupnya makmur
Dia siap pula hidup
di lingkungan yang ramah, juga seperti tertulis dalam pantun karya Abraham
Ilyas berikut:
Hidup sederhana di atas bumiKerja bertani sambil berternakSuasana rukun istri-suamiMenjauhkan diri dari tamak
Saya pun menjadi
tenang. Saya yakin bahwa Pak Paulus sudah beristirahat dengan tenang di alam
sana.
Lalu, siapa sesungguhnya Pak Paulus?
Jawabannya bisa diperoleh dalam biografi ini. Namun, sebagai informasi awal,
inilah biodata ringkasnya: Pak Paulus, kelahiran Boyolali, 9 Maret 1943, sudah
melakoni profesi hukum sejak tahun 1963. Waktu itu dia bekerja sebagai pengatur
hukum di Pengadilan Negeri (PN) Malang. Tidak lama kemudian dia dipindahkan ke
PN Gresik dengan jabatan yang sama. Perlahan-lahan karirnya mulai merangkak.
Dia menjadi hakim di PN Ngawi dan menjadi kepala biro Umum di Pengadilan Tinggi
Surabaya. Pada jabatan yang terakhir inilah dia dikirim Mahkamah Agung ke Paris,
Prancis, untuk bersekolah di Institut
International d’Administration Publique. Ketika lulus dari sini, dia
memperoleh predikat terbaik. Maka, terbukalah kesempatan buat dirinya untuk
berkuliah program S-3 di L’Universite
Paris I-Sorbonne.
Semenjak Pak Paulus
memperoleh gelar doktor di L’Universite
Paris I-Sorbonne, dia mulai diperhitungkan banyak pihak. Pada tahun 1984, ia didaulat menjadi hakim PN
Jakarta Pusat berturut-turut hingga masuk Mahkamah Agung RI pada tahun 1998
setelah setahun sebelumnya menjabat sebagai Hakim Tinggi Tata Usaha Negara.
Pada tahu 2000, dia menjabat Ketua Muda Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah
Agung. Jabatan ini disandangnya sampai pensiun. Nah, dalam rangka memperingati
usianya yang ke-70 dan memasuki purna baktinya di Mahkamah Agung, Pak Paulus
meminta saya menulis dan menerbitkan biografinya.***
Rejodani, 30 Juni 2014.
0 komentar:
Posting Komentar