Sultan Ingatkan Sekolah
Tentang Larangan Pungutan
YOGYA,
TRIBUN—Sekolah yang terbukti melakukan pungutan biaya pendidikan ke peserta
didik ataupun wali murid, dapat dikenai pelanggaran Peraturan Daerah (Perda)
DIY nomor 10 tahun 2013 tentang pedoman pendanaan pendidikan.
Dalam
pasal 36 diterangkan satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh
pemerintah dilarang memungut biaya dari peserta didik dan wali murid. Pada
pasal 37 juga diterangkan, dilarang melakukan pemaksaan sumbangan terhadap
peserta didik ataupun wali murid.
Anggota
Komisi D DPRD DIY, Zuhrif Hudaya mengatakan, menanggapi adanya temuan dugaan
pungutan di sejumlah sekolah pada siswa baru di DIY, harus ditelusuri sampai
tuntas. Jika ditemukan pelanggaran, maka Kepala Sekolah bersangkutan harus
bertanggungjawab.
Dalam
Perda DIY Nomor 10 tahun 2013 pada Pasal 41, lanjut Zuhrif, diterangkan bahwa jika
ditemukan pelanggaran pada Pasal 36 dan 37, maka akan dikenai sanksi pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda Rp 50 juta. “Dan ini Kepala Sekolah
yang dikenai sanksi,” katanya, Jumat (7/8).
Politikus
dari daerah pemilihan Kota Yogyakarta ini mengungkapkan, meskipun sesuai
ketentuan bahwa SD-SMP kewenangan pengawasan ada di Kota dan Kabupaten, Pemda
DIY dapat memberikan perintah ke Bupati dan Wali Kota. “Gubernur dapat
memerintahkan pada Bupati dan Wali Kota untuk melaksanakan Perda ini,” katanya.
Biaya ditanggung BOS
Terpisah,
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pungutan pada siswa
ataupun wali murid tidak diperbolehkan. Meskipun dengan alasan sumbangan
bersifat sukarela.
“Itu
tidak boleh, kalau itu (sumbangan) memang harus clear, terjadi transaksi mestinya harus clear,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan.
Sultan
menambahkan, memang adanya sumbangan yang bersifat sukarela sesuai kesepakatan
antara pihak sekolah, komite, dan wali murid, hal itu dimungkinkan terjadi.
Akan tetapi persoalannya adalah saat ini seluruh biaya pendidikan sudah
dialokasikan melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Karena
pemerintah, kan lewat BOS sudah
sepenuhnya 100 persen dibiayai,” katanya.
Namun
demikian, ia belum mengambil keputusan mengenai kasus ini. Menurut Sultan,
sesuai ketentuan yang ada, satuan pendidikan setingkat SD hingga SMP berada di
tingkat Kabupaten dan Kota. Sementara di tingkat provinsi, hanya setingkat
SMA/SMK.
“Provinsi
itu hanya SLB (Sekolah Luar Biasa_Red), dan sesuai Undang-Undang yang baru
dengan SMA, jadi beda. Urusanku bukan SD ataupun SMP,” katanya.
Komite Sekolah
Anggota
Forum Pemantau Independen Pakta Integritas (Forpi) Kota Yogyakarta, Baharuddin
Kamba mengatakan, saat ini belum ada regulasi yang mengatur tegas soal pungutan
kepada siswa baru. termasuk soal hukuman yang diberi jika melanggar.
“Regulasi
yang mengatur secara tegas belum ada. Kalaupun ada, aturan yang ada masih
abu-abu,” katanya kepada Tribun Jogja,
Jumat (7/8).
Selama
ini, katanya, aturan iuran yang ditarik ke siswa ditentukan oleh pihak sekolah
melalui rapat komite sekolah. Jika pihak sekolah melanggar ketentuan dengan
menarik iuran yang semestinya tak diperbolehkan, biasanya rapat komite sekolah
itu yang menjadi acuan.
“Akhirnya
pihak sekolah pun tidak bisa disalahkan. Karena aturan dari Pemkot memang
meminta pihak sekolah untuk menentukan RAPBS, salah satunya iuran yang
dibebankan ke siswa. Meski jelas-jelas sekolah tersebut melanggar aturan,”
jelas Kamba.
Kamba
berharap, aturan yang mengatur soal pungutan siswa ke depannya dipertegas,
termasuk soal hukuman. Dinas Pendidkan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY pun
diminta pula untuk membuat aturan yang tegas dan seragam untuk tiap
kabupaten/kota di DIY.
“Hal
ini agar regulasi di tiap daerah di DIY sama, meski Disdikpora DIY sendiri
tidak membawahi langsung sekolah yang ada di kabupaten/kota,” katanya.(rfk/mrf/had)
Demikian
berita yang disiarkan Harian
Pagi Tribun Jogja, 8 Agustus 2015.
Berita itu menegaskan bahwa sekolah dilarang memungut iuran dari orang tua atau
wali murid. Soalnya, semua biaya penyelenggaraan pendidikan sudah ditanggung
oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Siapa saja yang
melanggar, menurut Perda DIY Nomor 10 tahun 2013, bisa dipenjara.
Persoalannya, siapa yang
mengawasi pelaksanaan Perda itu? Siapa orang tua yang berani menolak pungutan
liar itu? Apalagi kalau keputusan iuran itu berasal dari Komite Sekolah.
Soalnya, Komite Sekolah cenderung menjadi perpanjangan tangan kepala sekolah.
Komite sekolah juga memanfaatkan kondisi psikologis orang tua atau wali murid
yang bersedia membayar biaya sekolah yang besar asal anaknya bisa sekolah.
Lewat berita ini, penulisnya
sebenarnya mengajak orang tua atau wali murid dan Komite Sekolah untuk lebih
kritis menyikapi ide pungutan liar yang disampaikan sekolah. Mereka tidak perlu
khawatir terhadap kekurangan dana penyelenggaraan pendidikan. Bagi yang
berdomisili di Yogya, mereka harus menaati Perda DIY Nomor 10 Tahun 2013 dan
menjamin pihak sekolah juga menaati Perda yang sama.***
Rejodani, 15 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar