usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Sabtu, 01 Agustus 2015



Ada yang mengatakan bahwa jurnalisme eksistensial mirip dengan jurnalisme baru. Padahal keduanya berbeda. Jurnalisme baru merupakan satu jenis jurnalisme berdasarkan cara menulis berita, sedangkan jurnalisme eksistensial merupakan manifestasi sikap kebebasan, komitmen, perlawanan, dan tanggung jawab wartawan.
Demikian penjelasan John C. Merrill tentang jurnalisme eksistensial dalam bukunya yang berjudul Existensial Journalism. Dengan ciri di atas, jurnalisme eksistensial sering kali tampil sebagai jurnalisme subjektif. Tegasnya, jurnalisme eksistensial terkait dengan wartawan yang menulis berita.
Lalu, bagaimana kita bisa melihat praktik jurnalisme eksistensial? Salah satu indikasinya adalah: penulis berita menuliskan namanya di bawah judul berita. Menggunakan petunjuk ini, agaknya Indonesia sudah mulai menerapkan jurnalisme eksistensial sejak dua tahun yang lalu. Soalnya, sejak saat itu sudah banyak media pers yang menuliskan nama penulis beritanya di bawah judul berita. Lihatlah misalnya berita yang disiarkan Koran Tempo, 13 Juli 2015. Di bawah judul berita “PDIP Desak Pelapor Tempo Cabut Aduan” terdapat nama penulisnya: Anton Septian – antons@tempo.co.id
Penulisan nama tersebut bisa dimaknai bahwa Koran Tempo sudah menganggap Anton Septian sebagai wartawan yang otentik, tidak sekadar bagian dari roda jurnalisme Koran Tempo. Dia punya ciri khusus, sehingga tidak bisa digantikan oleh wartawan lain dalam menulis berita tersebut. Dia, bahkan, menjadi dirinya sendiri dalam menulis berita itu.
Benarkah begitu? Tentu hanya Koran Tempo yang bisa menjawabnya. Yang jelas tidak mudah bagi seorang wartawan mempraktikkan jurnalisme eksistensial. Sebab, ia harus melewati proses yang panjang dalam newsroom (Yang menjadi penguasa dalam newsroom adalah penjaga gawang-gatekeepers. Biasanya gatekeepers menerapkan kriteria yang sangat ketat bagi wartawan yang akan menjadi wartawan eksistensial. Mereka akan mengawasi segala kiprah dan kinerja wartawan sebelum memutuskan berhak menjadi wartawan eksistensial). Hanya wartawan yang memiliki integritas dan kepribadian yang mulia yang siap mengabdi kepada kepentingan khalayak yang akan lolos menjadi wartawan eksistensial.
Bertolak dari kenyataan ini, tentu kita menyadari bahwa tidak mudah menjadi wartawan eksistensial di Indonesia. Apalagi kalau harus menerapkan beberapa prinsip yang  diperkenalkan oleh John C. Merrill, seperti: (i) punya posisi dan pandangan tertentu dalam menulis berita, (ii) menerima dan menggunakan kebebasan pribadi dan kebebasan jurnalistik, serta (iii) menerapkan standar yang dimiliki wartawan secara personal. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa para wartawan besar Indonesia bisa mempraktikkan jurnalisme eksistensial***  
Rejodani, 1 Agustus 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.