Ada yang mengatakan bahwa jurnalisme
eksistensial mirip dengan jurnalisme baru. Padahal keduanya berbeda. Jurnalisme
baru merupakan satu jenis jurnalisme berdasarkan cara menulis berita, sedangkan
jurnalisme eksistensial merupakan manifestasi sikap kebebasan, komitmen,
perlawanan, dan tanggung jawab wartawan.
Demikian penjelasan John C.
Merrill tentang jurnalisme eksistensial dalam bukunya yang berjudul Existensial Journalism. Dengan ciri di
atas, jurnalisme eksistensial sering kali tampil sebagai jurnalisme subjektif.
Tegasnya, jurnalisme eksistensial terkait dengan wartawan yang menulis berita.
Lalu, bagaimana kita bisa
melihat praktik jurnalisme eksistensial? Salah satu indikasinya adalah: penulis
berita menuliskan namanya di bawah judul berita. Menggunakan petunjuk ini,
agaknya Indonesia sudah mulai menerapkan jurnalisme eksistensial sejak dua
tahun yang lalu. Soalnya, sejak saat itu sudah banyak media pers yang
menuliskan nama penulis beritanya di bawah judul berita. Lihatlah misalnya berita
yang disiarkan Koran Tempo, 13 Juli
2015. Di bawah judul berita “PDIP Desak Pelapor Tempo Cabut Aduan” terdapat
nama penulisnya: Anton Septian – antons@tempo.co.id.
Penulisan nama tersebut bisa
dimaknai bahwa Koran Tempo sudah menganggap
Anton Septian sebagai wartawan yang otentik, tidak sekadar bagian dari roda
jurnalisme Koran Tempo. Dia punya
ciri khusus, sehingga tidak bisa digantikan oleh wartawan lain dalam menulis
berita tersebut. Dia, bahkan, menjadi dirinya sendiri dalam menulis berita itu.
Benarkah begitu? Tentu hanya Koran Tempo yang bisa menjawabnya. Yang
jelas tidak mudah bagi seorang wartawan mempraktikkan jurnalisme eksistensial. Sebab,
ia harus melewati proses yang panjang dalam newsroom
(Yang menjadi penguasa dalam newsroom
adalah penjaga gawang-gatekeepers.
Biasanya gatekeepers menerapkan
kriteria yang sangat ketat bagi wartawan yang akan menjadi wartawan
eksistensial. Mereka akan mengawasi segala kiprah dan kinerja wartawan sebelum
memutuskan berhak menjadi wartawan eksistensial). Hanya wartawan yang memiliki
integritas dan kepribadian yang mulia yang siap mengabdi kepada kepentingan
khalayak yang akan lolos menjadi wartawan eksistensial.
Bertolak dari kenyataan ini, tentu
kita menyadari bahwa tidak mudah menjadi wartawan eksistensial di Indonesia. Apalagi
kalau harus menerapkan beberapa prinsip yang diperkenalkan oleh John C. Merrill, seperti: (i)
punya posisi dan pandangan tertentu dalam menulis berita, (ii) menerima dan
menggunakan kebebasan pribadi dan kebebasan jurnalistik, serta (iii) menerapkan
standar yang dimiliki wartawan secara personal. Namun, catatan sejarah
menunjukkan bahwa para wartawan besar Indonesia bisa mempraktikkan jurnalisme
eksistensial***
Rejodani,
1 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar