Jurnalisme bisnis, lengkapnya
jurnalisme ekonomi dan bisnis, merupakan jenis jurnalisme menurut masalah yang
dicakup, yakni bidang ekonomi dan bisnis. Ia menghasilkan berita bisnis, yaitu
berita tentang perubahan ekonomi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam
prakteknya, jurnalisme bisnis menelusuri, mencatat, dan menganalisis semua
perubahan ekonomi itu, baik yang terjadi karena perubahan nilai tukar mata
uang, indeks harga saham gabungan, harga sembako di pasar tradisional, harga
barang di mall, kinerja BUMN dan perusahaan swasta, dan sebagainya. Wajar bila
banyak ahli menilai bahwa jurnalisme bisnis sangat kompleks.
Secara selintas, tidak semua
berita bisnis merupakan berita yang komprehensif. Berita model begini tidak akan mampu
melahirkan sense yang kuat di
kalangan khalayak tentang perubahan yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan
negara. Lihatlah berita berikut:
Nilai tukar rupiah kemarin terus melemah ke level 13.800 per dolar AS. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pihaknya berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. “BI tidak hanya khawatir. BI sudah mati-matian menjaga stabilitas rupiah,” kata dia pada kesempatan yang sama.Bank sentral, ucap dia, terus berada di pasar dan melakukan langkah-langkah stabiliasi nilai tukar, seperti intervensi pasar. Bank Indonesia juga telah memperkuat operasi moneter rupiah dan valas untuk memperkuat nilai tukar. “BI dengan seluruh instrumen yang dimiliki akan berada di pasar agar pergerakan nilai tukar rupiah wajar dan sesuai dengan pergerakan mata uang di kawasan,” ucapnya.
Berita berjudul “BI Perketat
Aturan Pembelian Valuta Asing” di atas disiarkan oleh Koran Tempo, 19 Agustus 2015. Namun, berita tersebut tidak
komprehensif. Tidak ada data tentang apa saja yang sudah dilakukan BI untuk
menjaga stabilitas rupiah. Tidak ada penjelasan bentuk intervensi pasar yang
dilakukan BI, apakah memasok dolar AS ke pasar. Kalaupun BI sudah memasok dolar
ke pasar, sudah berapa banyak? Kalau sudah banyak, lalu berapa jumlah cadangan
devisa RI saat ini? Bahkan, tidak ada data tentang apa yang dilakukan BI dalam
rangka operasi moneter rupiah yang dilakukan. Akibatnya, berita tersebut tidak
menjadikan khalayak punya sense yang
kuat tentang dampak negatif melemahnya kurs rupiah terhadap kehidupan ekonomi
negara. Mereka pun tenang-tenang saja.
Memang masalah ekonomi dan
bisnis tidak sejelas dan senyata seperti harapan wartawan bisnis. Namun, para
wartawan bisnis harus tetap menjelaskan masalah itu sejelas dan senyata mungkin
kepada masyarakat. Dalam bayangan mereka, harus tergambar bahwa masyarakat
tidak paham sama sekali tentang berbagai konsep tentang perubahan ekonomi.
Dalam tingkat tertentu, mereka, bahkan, harus menjadi “ahli ekonomi”.
Ketika harus menyiarkan berita
tentang kesehatan ekonomi RI misalnya, para wartawan bisnis harus membandingkan
dua “angka” yang berbeda: sebelum dan sesudah inflasi. Mereka juga harus
menyiarkan dampak jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang terhadap
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Bertolak dari kenyataan di
atas, kita pun sadar bahwa tidak mudah menyiarkan berita bisnis yang
komprehensif. Namun, bersamaan dengan itu muncul tantangan: inilah persoalan mendasar
yang harus dicarikan jalan keluarnya. Perguruan tinggi jurnalisme dan lembaga
pelatihan jurnalisme, atau siapa saja yang ingin melihat jurnalisme bisnis
Indonesia maju perlu memikirkan cara untuk membangun wartawan bisnis yang
handal, sehingga bisa menghasilkan berita bisnis yang menjadi sinyal pengatur
perilaku ekonomi masyarakat.***
Pulau
Karya, 31 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar