“Pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti
surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut milik negara.”
Nur Haryanti
Jakarta—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
menemukan serangkaian pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dalam penggusuran warga Ibu Kota sepanjang tahun ini. Berdasarkan data
LBH Jakarta sejak Januari-Agustus, terjadi 30 kasus penggusuran yang
dikategorikan sebagai penggusuran paksa. Termasuk, yang terakhir adalah
penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur, pada 20 Agustus lalu.
“Ada unsur pelanggaran, terutama
pelanggaran hak asasi manusia,” kata Alldo Fellix Januardy, pengacara publik
LBH Jakarta, di kantornya, kemarin. Alldo memaparkan, dari 30 penggusuran tersebut,
sebanyak 3.433 keluarga terusir dan 433 unit usaha tutup.
Penggusuran ini, kata Alldo,
sarat dengan unsur pelanggaran karena dilakukan tanpa memenuhi pendekatan HAM,
yakni setiap warga berhak atas penghidupan yang layak. “Salah satu unsur yang
dilanggar, pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan
atas tanah yang disebut milik Negara,” kata Alldo menuturkan.
Menurut Alldo, warga yang
menduduki suatu tanah dengan tekad baik selama 30 tahun atau lebih berhak
mendaftarkan tanah yang mereka tempati sebagai miliknya. Hal itu, kata dia,
sesuai dengan Pasal 1963 juncto 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
“Tapi dalam kasus Kampung Pulo, upaya pendaftaran kepemilikan tidak pernah
dibuatkan atau diurus, sehingga warga tidak pernah memiliki surat resmi.”
Atika Yuanita, pengacara LBH
Jakarta lainnya, mengatakan mayoritas penggusuran dilakukan dengan pengancaman
alat berat, seperti yang terjadi di Kampung Pulo. Bahkan penertiban
mengikutsertakan personel kepolisian dan tentara. “Seharusnya Polri dan TNI
tidak terlibat karena keduanya bertanggung jawab melindungi masyarakat.”
Temuan LBH Jakarta ini hampir
sama dengan pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada senin lalu, bahwa
ada pelanggaran HAM dalam penggusuran Kampung Pulo. Tindakan kekerasan oleh
aparat keamanan dianggap represif dan tidak manusiawi. “Berdasarkan temuan
awal, kami menemukan adanya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.” Kata
Muhammad Nurkhoiron, komisioner Komnas HAM.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pemerintah DKI tidak bisa memberikan dana
kerahiman atas relokasi warga Kampung Pulo. “Dana kerahiman tidak diberikan
karena warga tidak dapat menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah atas lahan
yang mereka tempati, “ujar Basuki, yang berpegang pada aturan Undang-Undang
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sementara itu, Kepala Kepolisian
Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan polisi
seharusnya justru dilibatkan sejak awal untuk mencegah kekerasan. Sebab, kata dia,
polisi mempunyai instrumen intelijen dan Badan Pembinaan Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat untuk mendeteksi bibit konflik sejak awal. “Sehingga
penggusuran tidak harus secara represif.” (Maya Nwangwulan/Dini
Pramita/Yolanda Armindya)
Demikian berita
yang disiarkan oleh Koran Tempo, 27 Agustus 2015. Berita ini sebenarnya menggugat
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang memerintahkan
penggusuran warga DKI Jakarta dari tempat mereka tinggal. Alasan Ahok tegas: ingin menegakkan supremasi hukum.
Namun, usaha itu ternyata bertentangan dengan penghargaan terhadap HAM. Lalu,
bagaimana sekarang?
Siapapun yang terlibat dalam proses penggusuran
itu harus mencari upaya lain yang harus menempatkan posisi hati nurani
kemanusiaan di atas segala-galanya. Jangan sampai terjadi “debat kusir” dalam
melakukan pembelaan diri. Idiom “pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum” jangan dipakai sembarangan. Kalau tidak hati-hati, pemakaian idiom itu
akan meluncur pada situasi pada zaman orde baru dulu. Padahal kita sekarang
sudah berada pada era reformasi dan menutup pintu rapat-rapat bagi kembalinya
sikap dan perilaku aparat dan pejabat pada masa orde baru! Kita ingin
mengoreksi terhadap kekacauan nasional yang ditimbulkan orde baru.
Dalam melakukan pembelaan terhadap korban gusuran,
agaknya semua masyarakat sipil perlu berdialog dengan pemerintahan DKI Jakarta.
Mereka yang menjadi korban di satu pihak dan pemerintahan DKI Jakarta di pihak
lain perlu berpikir tentang kemaslahatan orang banyak dalam waktu yang panjang.
Semuanya harus jujur. Semuanya tidak hanya mengutamakan kepntingan pribadi.
Semuanya harus menyampaikan suara hati nurani kemanusiaan untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran. Dalam konteks ini, berita di atas bisa dijadikan
sebagai “tips” untuk membuka dialog itu.***
Pulau Karya, 31 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar