usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 03 September 2015



“Pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut milik negara.”

Nur Haryanti



Jakarta—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan serangkaian pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggusuran warga Ibu Kota sepanjang tahun ini. Berdasarkan data LBH Jakarta sejak Januari-Agustus, terjadi 30 kasus penggusuran yang dikategorikan sebagai penggusuran paksa. Termasuk, yang terakhir adalah penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur, pada 20 Agustus lalu.
“Ada unsur pelanggaran, terutama pelanggaran hak asasi manusia,” kata Alldo Fellix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta, di kantornya, kemarin. Alldo memaparkan, dari 30 penggusuran tersebut, sebanyak 3.433 keluarga terusir dan 433 unit usaha tutup.
Penggusuran ini, kata Alldo, sarat dengan unsur pelanggaran karena dilakukan tanpa memenuhi pendekatan HAM, yakni setiap warga berhak atas penghidupan yang layak. “Salah satu unsur yang dilanggar, pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut milik Negara,” kata Alldo menuturkan.
Menurut Alldo, warga yang menduduki suatu tanah dengan tekad baik selama 30 tahun atau lebih berhak mendaftarkan tanah yang mereka tempati sebagai miliknya. Hal itu, kata dia, sesuai dengan Pasal 1963 juncto 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. “Tapi dalam kasus Kampung Pulo, upaya pendaftaran kepemilikan tidak pernah dibuatkan atau diurus, sehingga warga tidak pernah memiliki surat resmi.”
Atika Yuanita, pengacara LBH Jakarta lainnya, mengatakan mayoritas penggusuran dilakukan dengan pengancaman alat berat, seperti yang terjadi di Kampung Pulo. Bahkan penertiban mengikutsertakan personel kepolisian dan tentara. “Seharusnya Polri dan TNI tidak terlibat karena keduanya bertanggung jawab melindungi masyarakat.”
Temuan LBH Jakarta ini hampir sama dengan pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada senin lalu, bahwa ada pelanggaran HAM dalam penggusuran Kampung Pulo. Tindakan kekerasan oleh aparat keamanan dianggap represif dan tidak manusiawi. “Berdasarkan temuan awal, kami menemukan adanya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan.” Kata Muhammad Nurkhoiron, komisioner Komnas HAM.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pemerintah DKI tidak bisa memberikan dana kerahiman atas relokasi warga Kampung Pulo. “Dana kerahiman tidak diberikan karena warga tidak dapat menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah atas lahan yang mereka tempati, “ujar Basuki, yang berpegang pada aturan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan polisi seharusnya justru dilibatkan sejak awal untuk mencegah kekerasan. Sebab, kata dia, polisi mempunyai instrumen intelijen dan Badan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat untuk mendeteksi bibit konflik sejak awal. “Sehingga penggusuran tidak harus secara represif.” (Maya Nwangwulan/Dini Pramita/Yolanda Armindya)

Demikian berita yang disiarkan oleh Koran Tempo, 27 Agustus 2015. Berita ini sebenarnya menggugat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang memerintahkan penggusuran warga DKI Jakarta dari tempat mereka tinggal. Alasan  Ahok tegas: ingin menegakkan supremasi hukum. Namun, usaha itu ternyata bertentangan dengan penghargaan terhadap HAM. Lalu, bagaimana sekarang?

Siapapun yang terlibat dalam proses penggusuran itu harus mencari upaya lain yang harus menempatkan posisi hati nurani kemanusiaan di atas segala-galanya. Jangan sampai terjadi “debat kusir” dalam melakukan pembelaan diri. Idiom “pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum” jangan dipakai sembarangan. Kalau tidak hati-hati, pemakaian idiom itu akan meluncur pada situasi pada zaman orde baru dulu. Padahal kita sekarang sudah berada pada era reformasi dan menutup pintu rapat-rapat bagi kembalinya sikap dan perilaku aparat dan pejabat pada masa orde baru! Kita ingin mengoreksi terhadap kekacauan nasional yang ditimbulkan orde baru.

Dalam melakukan pembelaan terhadap korban gusuran, agaknya semua masyarakat sipil perlu berdialog dengan pemerintahan DKI Jakarta. Mereka yang menjadi korban di satu pihak dan pemerintahan DKI Jakarta di pihak lain perlu berpikir tentang kemaslahatan orang banyak dalam waktu yang panjang. Semuanya harus jujur. Semuanya tidak hanya mengutamakan kepntingan pribadi. Semuanya harus menyampaikan suara hati nurani kemanusiaan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam konteks ini, berita di atas bisa dijadikan sebagai “tips” untuk membuka dialog itu.***

Pulau Karya, 31 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.