usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 20 September 2015



Sesungguhnya jurnalisme investigatif merupakan jenis jurnalisme menurut teknik mengumpulkan fakta. Teknik yang dipakai untuk mengumpulkan fakta bisa macam-macam, mulai dari wawancara, observasi, press release sampai konferensi pers. Tidak jarang keempat teknik itu dipakai sekaligus. Soalnya, ia memang berniat mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya.

Mengapa jurnalisme investigatif harus menggunakan berbagai teknik mengumpulkan fakta? Jawabannya tegas: karena ia ingin mengungkapkan kasus. Tegasnya, jurnalisme investigatif, biasanya, dipakai untuk memberitakan kasus. Lebih tegas lagi, jurnalisme investigatif hanya cocok untuk kasus.

Kenyataan ini melahirkan pertanyaan berikut: apa yang dimaksud dengan kasus? Kasus adalah kejadian yang memiliki latar belakang dan konteks. Bila dipetakan, di dalam kasus ada tiga kejadian, yakni kejadian utama yang menjadi fokus, kejadian yang menjadi latar belakang, dan kejadian yang menjadi konteks. Semua kejadian tersebut harus terungkap. Hubungan fakta yang terkandung dalam semua kejadian itu perlu dijelaskan. Jadinya, seorang wartawan butuh berbagai teknik mengumpulkan fakta untuk memperoleh fakta yang terkandung dalam semua kejadian tersebut.  

Bertolak dari kenyataan di atas, kita pun sadar bahwa sama sekali tidak mudah mempraktikkan jurnalisme investigatif. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan dalam mengumpulkan fakta demi fakta tentang kasus. Tidak jarang narasumbernya tidak mau bicara kecuali jati dirinya tidak diungkapkan. Narasumber seperti ini sering kali disebut narasumber rahasia. Maka, narasumber rahasia adalah salah satu indikator dalam praktik jurnalisme investigatif.

Itu sekadar gambaran tentang jurnalisme investigatif. Ia menghasilkan berita yang mendorong khalayak untuk memahami sebuah kasus. Ia terang-terangan mengajak khalayak untuk berpikir secara kritis terhadap sebuah kejadian utama dalam kasus. Tidak jarang ia menghasilkan sikap yang berbeda dengan yang diharapkan penguasa atau pengusaha sebagai pihak yang terlibat dalam sebuah kasus itu. Wajar bila khalayak senang membaca berita yang dihasilkan jurnalisme investigatif.

Semakin banyak wartawan yang mempraktikkan jurnalisme investigatif, semakin banyak pula kasus yang terberitakan. Semakin banyak wartawan yang menjadi “tokoh” jurnalisme investigatif—dalam pengertian doktrin maupun praktik—semakin berkembang jurnalisme investigatif. Yang terkahir ini adalah harapan kita sebagai peminat jurnalisme sekaligus khalayak media pers.*** 

Rejodani, 19 September 2015



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.