usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Sabtu, 09 Mei 2015

 
Media pers Indonesia, kata Djawoto (1950:1), sudah menjadi industri sejak 1950. Sebagai industri, media pers waktu itu sudah berorientasi pada usaha mencari keuntungan alias profit. Kini, orientasi pada keuntungan itu makin menjadi-jadi. Soalnya, investasi yang tertanam dalam sebuah media pers sangat besar. Wajar bila H. Rosihan Anwar, dalam pengantarnya untuk buku Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas, menulis begini:


Orang boleh menyesali dan meratapi gejala ini. Tapi hukum besi perkembangan modal jalan terus. Pers kapitalis sudah suatu realitas. Wartawan dan karyawannya hanya pekerja “makan gaji” dan melayani “induk semang”, yakni pemilik kapital. Janganlah lagi bicara tentang hidup bercita-cita, tentang idealisme. Sudah tak relevan. (hal. xxix).


          Menyadari keadaan ini, beberapa orang skeptis terhadap kemampuan jurnalisme menyuarakan kebutuhan riil rakyat kecil. Mereka tidak bahagia dengan praktik jurnalisme media yang sudah menjadi industri, yang lebih populer disebut media pers mainstream. Mereka pun bereaksi. Lantas mereka menciptakan sebuah antitesis dari jurnalisme mainstream, yakni jurnalisme warga.

          Ketika menciptakan jurnalisme warga itu, yang terbayang oleh mereka adalah: mereka tidak hanya menjadi konsumen media pers mainstream, tetapi juga menjadi produsen informasi. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mereka mengumpulkan fakta, menulis berita dan menyiarkannya melalui media pers yang bukan mainstream, misalnya blog, media internal, dan sebagainya. Wajar kalau berita itu tidak sebagus dan seindah berita yang disiarkan oleh media pers mainstream.

          Namun, para jurnalisme warga itu puas. Mereka bisa berpartisipasi menyampaikan berita tentang apa yang mereka lihat, alami, dan dengar. Mereka bisa memproduksi berita dengan cara mereka sendiri. Mereka juga berharap berita yang mereka produksi itu bisa pula memperbaiki hidup warga yang lain.

          Bertolak dari kenyataan ini, sangat aneh rasanya kalau ada pihak yang ingin melatih para jurnalisme warga menjadi jurnalis “beneran” layaknya wartawan di media pers mainstream. Pelatihan itu hanya akan membuat mereka tidak spontan lagi memproduksi berita. Pelatihan itu juga akan menjadikan mereka berpikir tentang profit dan menghilangkan kemurnian mereka dalam berpartisipasi memproduksi berita. Padahal selama ini mereka tidak pernah memikirkan profit. Lebih dari itu, pelatihan itu akan mengkooptasi mereka menjadi bagian dari media pers mainstream.***

Rejodani, 5 Mei 2015



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.