Media pers Indonesia, kata
Djawoto (1950:1), sudah menjadi industri sejak 1950. Sebagai industri, media
pers waktu itu sudah berorientasi pada usaha mencari keuntungan alias profit.
Kini, orientasi pada keuntungan itu makin menjadi-jadi. Soalnya, investasi yang
tertanam dalam sebuah media pers sangat besar. Wajar bila H. Rosihan Anwar,
dalam pengantarnya untuk buku Jernih
Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas,
menulis begini:
Orang boleh menyesali dan meratapi gejala ini. Tapi hukum besi perkembangan modal jalan terus. Pers kapitalis sudah suatu realitas. Wartawan dan karyawannya hanya pekerja “makan gaji” dan melayani “induk semang”, yakni pemilik kapital. Janganlah lagi bicara tentang hidup bercita-cita, tentang idealisme. Sudah tak relevan. (hal. xxix).
Menyadari
keadaan ini, beberapa orang skeptis terhadap kemampuan jurnalisme menyuarakan
kebutuhan riil rakyat kecil. Mereka tidak bahagia dengan praktik jurnalisme
media yang sudah menjadi industri, yang lebih populer disebut media pers mainstream. Mereka pun bereaksi. Lantas
mereka menciptakan sebuah antitesis dari jurnalisme mainstream, yakni jurnalisme warga.
Ketika
menciptakan jurnalisme warga itu, yang terbayang oleh mereka adalah: mereka
tidak hanya menjadi konsumen media pers mainstream,
tetapi juga menjadi produsen informasi. Dengan segala kekurangan dan
kelebihannya, mereka mengumpulkan fakta, menulis berita dan menyiarkannya
melalui media pers yang bukan mainstream,
misalnya blog, media internal, dan
sebagainya. Wajar kalau berita itu tidak sebagus dan seindah berita yang
disiarkan oleh media pers mainstream.
Namun,
para jurnalisme warga itu puas. Mereka bisa berpartisipasi menyampaikan berita
tentang apa yang mereka lihat, alami, dan dengar. Mereka bisa memproduksi
berita dengan cara mereka sendiri. Mereka juga berharap berita yang mereka
produksi itu bisa pula memperbaiki hidup warga yang lain.
Bertolak
dari kenyataan ini, sangat aneh rasanya kalau ada pihak yang ingin melatih para
jurnalisme warga menjadi jurnalis “beneran” layaknya wartawan di media pers mainstream. Pelatihan itu hanya akan
membuat mereka tidak spontan lagi memproduksi berita. Pelatihan itu juga akan
menjadikan mereka berpikir tentang profit dan menghilangkan kemurnian mereka
dalam berpartisipasi memproduksi berita. Padahal selama ini mereka tidak pernah
memikirkan profit. Lebih dari itu, pelatihan itu akan mengkooptasi mereka
menjadi bagian dari media pers mainstream.***
Rejodani,
5 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar