Nurwahidin
Sering Terserempet Kendaraan
Memiliki
keterbatasan fisik, tidak membuat Nurwahidin menyerah. Ia semangat
bekerja demi mencari pundi-pundi uang untuk bertahan hidup. Ia tidak
mau bergantung dengan orang lain, apalagi untuk meminta-minta belas
kasihan orang. Dengan kursi roda, pria 32 tahun tersebut setiap
harinya menjajakan koran di lampu merah simpang Pojok Beteng Wetan
Yogyakarta.
Deru
mesin kendaraan yang lalu lalang dan terik matahari di Kota Gudeg
Kamis (14/8) tak membuat semangat Nurwahidin redup bekerja menawarkan
koran-koran dalam genggamannya. Menggunakan sebuah kursi roda dengan
hati-hati ia mendekati tiap kendaraan yang berhenti saat lampu merah
menyala.
Tiap
ia menjulurkan koran dalam genggamannya kepada pengendara, tak
semuanya merespon penawarannya. Dia harus bersabar dan tak menyerah
memanfaatkan momen lampu merah menyala untuk berjualan koran.
Begitulah
rutinitas yang ia lakoni setiap hari. Lelaki yang beralamat di Ledok
Prawirodirjan, Kecamatan Mergangsan tersebut mengalami keterbatasan
pada kakinya sejak dirinya berumur dua tahun. “Menurut orangtua
saya, saat saya berumur dua tahun saya jatuh, akibatnya saya tidak
bisa jalan jika tidak memakai tongkat,” uangkap Nurwahidin.
Sebelum
berprofesi sebagai pedagang koran, Nurwahidin pernah bekerja sebagai
sales alat kesehatan. Karena harus berkeliling dengan berjalan
kaki, Nurwahidin tidak bertahan lama menggeluti pekerjaannya, karena
keterbatasan fisiknya. “Saya dua atau tiga kali bekerja sebagai
sales, tetapi saya tidak kuat karena harus keliling jalan
kaki,” tambah Nurwahidin.
Bekerja
sebagai penjaga toko penjual pulsa juga pernah dijalaninya. Sayangnya
bisnis itu tidak bertahan lama. Kemudian pasca bencana gempa 2006,
Nurwahidin mencoba berjualan koran di lampu merah simpang Pojok
Beteng Wetan Yogyakarta. Pada awal berjualan, Nurwahidin masih
menggunakan tongkat sebagai alat Bantu berjualan. Pekerjaan sebagai
loper koran dirasakannya lebih ringan dibandingkan beberapa pekerjaan
yang pernah digeluti.
Sebagai
orang yang memiliki keterbatasan dan harus mengadu nasib dijalanan,
Nurwahidin harus menghadapi risiko yang besar. Saat masih menggunakan
tongkat sebagai alat bantu jalan, dirinya sering terserempet
kendaraan saat menjajakan koran.
“Dulu
sering saya keserempet mobil hingga terjatuh. Tidak hanya terserempet
kendaraan, saya juga sering mendapatkan cemoohan dari pengguna jalan
yang merasa terganggu dengan keberadaan saya,” kisahnya.
Setahun
terakhir ini, Nurwahidin berjualan menggunakan kursi roda. Kursi
tersebut dia peroleh dari pelanggan yang biasa membeli koran.
Keberadaan kursi roda itu sangat membantunya dan tidak mudah lelah
saat berjualan.
Kursi
roda tersebut digunakannya hanya saat berjualan sebagai loper koran.
Alat Bantu kesehariannya masih menggunakan tongkat. Selepas berjualan
koran, kursi roda itu biasanya dititipkan ke salah satu rumah warga
di dekat lampu merah.
Meskipun
telah menggunakan kursi roda, tidak serta merta membuat risiko yang
dihadapinya berkurang. Dia bilang, belum lama ini dirinya juga sempat
terserempet sepeda motor hingga beberapa meter. Pun pernah ditabrak
pengayuh becak.
Sebelum
berjualan koran, tidap paginya Nurwahidin harus mengambil koran di
agen yang terletak di daerah Yudonegaran. Kemudian ia mengantarkan
koran ke beberapa rumah yang berlangganan koran. Selepas itu ia baru
memulai berjualan di lampu merah.
Setiap
harinya Nurwahidin mengambil 40 eksemplar koran dari agen. Tidak
semua koran yang dibawanya habis terjual. “Biasanya koran yang saya
ambil nanti tersisa lima hingga sepuluh buah. Dari setiap koran yang
saya jual, saya mendapat keuntungan antara Rp 300 hingga Rp 500,”
terangnya. (Hamin Thohari).
Demikian
berita yang disiarkan Tribun
Jogja, Jumat, 15
Agustus 2014. Berita tersebut ingin menyampaikan pesan: malu
rasanya kalau seorang individu yang sehat harus menggantungkan
hidupnya pada orang lain. Penyandang disabilitas saja berusaha untuk
mandiri.
Pesan di atas sangat cocok untuk kondisi saat ini. Soalnya, sudah
muncul gejala bahwa manusia sehat lebih suka mengharapkan belas
kasihan orang lain daripada bekerja keras. Mereka lebih suka
bermalas-malasan, tetapi ingin memperoleh hasil yang banyak. Mereka
tidak memiliki semangat kerja yang memadai. Padahal, melalui kerja
mereka bisa memperlihatkan siapa mereka sesungguhnya dan seperti apa
nilai kemanusiaannya.
Kalau
sudah begini, bagaimana mungkin kita menempatkan orang yang tidak
mandiri pada ungkapan Karl Marx (Dalam Sihotang, 2009:153) bahwa
seseorang bekerja tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
orang lain? Jangankan untuk orang lain, untuk dirinya saja, dia tidak
bermanfaat!
Melalui
pesan yang disampaikan berita ini, mudah-mudahan para individu sehat
yang selama ini suka menggantungkan hidupnya pada orang lain bisa
sadar. Mereka termotivasi untuk mandiri. Mereka terdorong untuk
bekerja keras sehingga memiliki makna sosial.
Bertolak
dari penjelasan ini, kita perlu berterima kasih kepada Hamin Thohari,
penulis berita ini. Dia telah mem-framing
berita di atas dengan
pesan yang mulia, mengajak orang untuk menjalankan hidupnya secara
mandiri.***
Pulau
Karya, 31 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar