usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 30 September 2014


       Tahun 2005 terbit sebuah buku berjudul Bourdieu and the Journalistic Field. Buku yang disunting oleh Rodney Benson dan Erik Neveu tersebut memuat 12 tulisan. Sebuah tulisan berjudul “Autonomy from What”? karya Michael Schudson. Sekalipun judulnya bertanya, isinya ingin memastikan bahwa jurnalisme harus otonom.

            Lalu, apa makna jurnalisme yang harus otonom? Secara umum otonomi bermakna mengatur diri sendiri dengan kemampuan sendiri. Dari sini bisa dibayangkan bahwa otonomi jurnalisme merupakan kondisi yang menyebabkan jurnalisme bisa mengatur dirinya sendiri dengan kemampuannya sendiri. Tegasnya, jurnalisme yang otonom adalah jurnalisme yang mengelola dirinya sendiri tanpa bantuan pihak lain.

            Bertolak dari sini, muncul pertanyaan, apakah ini sebuah slogan atau etos kerja? Pertanyaan ini masuk akal. Soalnya, slogan merupakan sebuah keadaan yang hendak dicapai dan etos kerja adalah pandangan yang dipraktikkan ketika mengerjakan sebuah pekerjaan. Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas, otonomi jurnalisme seringkali dikaitkan dengan politik dan komersil. Artinya, sebuah jurnalisme akan disebut otonom kalau ia bebas dari campur tangan politik dan komersil.

            Melihat perkembangan kehidupan media pers sekarang, agaknya mustahil jurnalisme bisa membebaskan diri dari campur tangan politik dan komersil. Musababnya, kekuasan dan komersialisme sudah mencengkeram kuat media pers (baca: Saat AymanDitarik Dari Gaza dalam rubrik “Pernik Jurnalisme” dalam blog ini). Keduanya seolah-olah bekerja sama membunuh otonomi jurnalisme. Maka dari iru, otonomi jurnalisme di sini hendaklah dipahami sebagai sebuah slogan.

            Slogan dalam jurnalisme tentu saja boleh. Siapapun yang berminat terhadap jurnalisme tentu saja boleh membuat slogan. Persoalannya lantas, apakah slogan itu cerdas tau tidak? Apakah slogan itu akan menjadikan jurnalisme membuat khalayak makin lama makin rasional? Apakah para wartawan bersedia mempraktikkan slogan itu dalam kerja profesionalnya? 

            Sesungguhnya otonomi jurnalisme merupakan anugerah bagi wartawan yang jujur, yang tidak takluk pada tekanan aparat pemerintah, tekanan pemasang iklan, dan tekanan pemilik media pers. Wartawan model begini adalah wartawan yang ingin melaksanakan kewajibannya sesuai dengan “penilaian” terbaiknya. Tidak heran bila dia selalu kritis terhadap berita yang akan disiarkan media tempatnya bekerja, misalnya dengan bertanya, “Apakah berita ini memang layak siar?” atau “Apakah pantas berita ini menjadi laporan utama?”.

            Wartawan seperti ini, pada gilirannya, akan menjadikan jurnalisme lebih hidup. Dia juga akan menjadikan khalayak lebih menghargai jurnalisme. Dia, bahkan, membantu terciptanya masyarakat yang lebih demokratis. Maka dari itu, otonomi jurnalisme harus tetap diperjuangkan. ***
Rejodani, 30 September 2014




0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.