Tahun
2005 terbit sebuah buku berjudul Bourdieu
and the Journalistic Field. Buku yang disunting oleh Rodney Benson dan Erik
Neveu tersebut memuat 12 tulisan. Sebuah tulisan berjudul “Autonomy from What”?
karya Michael Schudson. Sekalipun judulnya bertanya, isinya ingin memastikan
bahwa jurnalisme harus otonom.
Lalu, apa makna jurnalisme yang harus
otonom? Secara umum otonomi bermakna mengatur diri sendiri dengan kemampuan
sendiri. Dari sini bisa dibayangkan bahwa otonomi jurnalisme merupakan kondisi
yang menyebabkan jurnalisme bisa mengatur dirinya sendiri dengan kemampuannya
sendiri. Tegasnya, jurnalisme yang otonom adalah jurnalisme yang mengelola
dirinya sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Bertolak dari sini, muncul
pertanyaan, apakah ini sebuah slogan atau etos kerja? Pertanyaan ini masuk
akal. Soalnya, slogan merupakan sebuah keadaan yang hendak dicapai dan etos
kerja adalah pandangan yang dipraktikkan ketika mengerjakan sebuah pekerjaan.
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas, otonomi jurnalisme
seringkali dikaitkan dengan politik dan komersil. Artinya, sebuah jurnalisme
akan disebut otonom kalau ia bebas dari campur tangan politik dan komersil.
Melihat perkembangan kehidupan media
pers sekarang, agaknya mustahil jurnalisme bisa membebaskan diri dari campur
tangan politik dan komersil. Musababnya, kekuasan dan komersialisme sudah
mencengkeram kuat media pers (baca: Saat AymanDitarik Dari Gaza dalam rubrik “Pernik Jurnalisme” dalam blog ini).
Keduanya seolah-olah bekerja sama membunuh otonomi jurnalisme. Maka dari iru,
otonomi jurnalisme di sini hendaklah dipahami sebagai sebuah slogan.
Slogan dalam jurnalisme tentu saja
boleh. Siapapun yang berminat terhadap jurnalisme tentu saja boleh membuat
slogan. Persoalannya lantas, apakah slogan itu cerdas tau tidak? Apakah slogan
itu akan menjadikan jurnalisme membuat khalayak makin lama makin rasional?
Apakah para wartawan bersedia mempraktikkan slogan itu dalam kerja profesionalnya?
Sesungguhnya otonomi jurnalisme
merupakan anugerah bagi wartawan yang jujur, yang tidak takluk pada tekanan
aparat pemerintah, tekanan pemasang iklan, dan tekanan pemilik media pers.
Wartawan model begini adalah wartawan yang ingin melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan “penilaian” terbaiknya. Tidak heran bila dia selalu kritis
terhadap berita yang akan disiarkan media tempatnya bekerja, misalnya dengan
bertanya, “Apakah berita ini memang layak siar?” atau “Apakah pantas berita ini
menjadi laporan utama?”.
Wartawan seperti ini, pada
gilirannya, akan menjadikan jurnalisme lebih hidup. Dia juga akan menjadikan
khalayak lebih menghargai jurnalisme. Dia, bahkan, membantu terciptanya
masyarakat yang lebih demokratis. Maka dari itu, otonomi jurnalisme harus tetap
diperjuangkan. ***
Rejodani,
30 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar