Penertiban bangunan liar di Puncak
harus diikuti penanaman pohon.
Ali Anwar
Bogor—Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Wilayah Institut Pertanian Bogor, Setiya Hadi, mengatakan alih fungsi lahan dan
pengurangan lahan hutan di kawasan Puncak, Bogor, sangat berkontribusi langsung
terhadap penyusutan permukaan air Sungai Ciliwung dan Cisadane.
Itu
sebabnya, kata dia, tidak mengherankan kalau saat ini debit air di Bendung
Katulampa, Bogor, mencapai titik nol. “Ketika lahan sudah beralih fungsi, maka
akan berpengaruh pada ketersediaan air permukaan,” kata Setiya kepada Tempo,
Selasa lalu.
Sebaliknya,
saat intensitas air hujan tinggi di kawasan Puncak, lapisan tanah sebagai salah
satu tempat menampung air tidak mampu menyerap, sehingga air lebih banyak
mengalir di permukaan tanah. Air tersebut lantas menyerbu beberapa aliran
sungai. “Akibatnya, saat musim penghujan, ketinggian debit air Sungai Ciliwung
di Katulampa ikut meningkat,” kata dia.
Namun,
dia menambahkan, banjir dan kekeringan di Jakarta bukan semata diakibatkan oleh
kawasan Puncak, karena kondisi tutupan di Jakarta juga sangat berpengaruh.
“Pesatnya pembangunan di Jakarta dan banyaknya okupansi situ berubah fungsi
menjadi bangunan jadi penyebab utama banjir di Jakarta.”
Kondisi
ini diperparah oleh banyaknya bangunan permanen di sepanjang daerah lairan
sungai (DAS) Ciliwung. “Terjadi penyempitan sungai sehingga menghambat aliran
air,” kata dia.
Pembongkaran
vila dan bangunan liar di hulu Ciliwung yang tidak diiringi penanaman pohon
juga dianggap Setiya sebagai penyebab cepat menggelontornya air ke sungai.
“Harus dibarengi dengan penanaman dan dikembalikannya fungsi lahan menjadi
hutan.”
Memang,
kata dia, upaya itu tidak terlalu maksimal. “Akan tetapi dapat menutup sedikit
ketersediaan cadangan air tanah,” kata Setiya. “Pemerintah juga harus menyetop
perizinan jika pengajuannya bertentangan dengan RT/RW,” kata dia.
Sebelumnya,
Kepala Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dramaga, Dedi
Sucahyono, mengungkapkan debit air Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa
menyusut drastis sampai posisi nol. “Ada perubahan fungsi dan pengurangan lahan
di kawasan Puncak yang menjadi hulu Sungai Ciliwung,” kata Dedi.
Seharusnya,
menurut Dedi, dengan tingginya intensitas hujan pada Agustus hingga awal
September di kawasan Puncak, Katulampa masih bias menampung air. “Cadangan air
yang ditampung hingga Oktober mendatang.”
Kepala
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor, Tb. Luthfie Syam, mengakui masih
banyak vila dan bangunan liar dari Puncak, Bogor, hingga perbatasan Kota Depok.
Ada 590 bangunan yang melanggar aturan, 100 di antaranya di Puncak. “Untuk
membongkar bangunan liar tersebut, pemerintah sudah menganggarkan Rp 2 miliar.
“Tinggal menunggu perintah eksekusi,” katanya.
Dia
sependapat dengan P3W IPB, pemerintah tidak semata membongkar bangunan-bangunan
yang melanggar peruntukan. “Juga akan dilakukan penghijauan di sepanjang aliran
sungai. Sebab, 20 sampai 30 meter kiri-kanan sungai harus steril dari
bangunan,” ujar Luthfie (M Sidik Permana/Artha U. Surbakti).
Demikian
berita yang disiarkan Koran Tempo, 25
September 2014. Berita
ini memperlihatkan bahwa alih fungsi lahan dan pengurangan lahan hutan di
kawasan Puncak, Bogor, sangat berpengaruh terhadap penyusutan permukaan air
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Dengan kondisi seperti ini, pada musim
kemarau air permukaan kering dan pada musim hujan air permukaan akan menyerbu
beberapa aliran sungai.
Memang peningkatan
permukaan air Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane tidak menjadi satu-satunya
penyebab banjir di Jakarta. Ada juga penyebab lain, seperti bangunan permanen
di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane, belum
dikembalikannnya fungsi vila yang dibongkar di Puncak menjadi hutan, serta
pesatnya pembangunan di Jakarta. Namun, berita di atas meneguhkan bahwa desain
tata ruang Jakarta harus mempertimbangkan kondisi lingkungan. Tegasnya,
pemerintah perlu mengkaji dan menganalisis permasalahan lingkungan sebelum menentukan
kebijakan tata ruang Jakarta. Nah, kajian ini, biasanya, diwujudkan dalam
sebuah dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Selama ini kita sudah mengetahui
betapa perlunya AMDAL bagi kegiatan yang mengubah fungsi lingkungan hidup. Kita
juga sudah paham bahwa AMDAL merupakan amanat Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
2012 tentang Izin Lingkungan Hidup. Namun, kita belum sepenuhnya benar memaknai
posisi AMDAL. Kita beruntung, Ali Anwar menulis berita di atas. Kita terbantu
memaknai AMDAL secara benar. Wajar bila kita perlu berterima kasih
kepadanya.***
Rejodani,
30 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar