usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 30 September 2014

 Penertiban bangunan liar di Puncak harus diikuti penanaman pohon.

Ali Anwar


Bogor—Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor, Setiya Hadi, mengatakan alih fungsi lahan dan pengurangan lahan hutan di kawasan Puncak, Bogor, sangat berkontribusi langsung terhadap penyusutan permukaan air Sungai Ciliwung dan Cisadane.
     Itu sebabnya, kata dia, tidak mengherankan kalau saat ini debit air di Bendung Katulampa, Bogor, mencapai titik nol. “Ketika lahan sudah beralih fungsi, maka akan berpengaruh pada ketersediaan air permukaan,” kata Setiya kepada Tempo, Selasa lalu.
     Sebaliknya, saat intensitas air hujan tinggi di kawasan Puncak, lapisan tanah sebagai salah satu tempat menampung air tidak mampu menyerap, sehingga air lebih banyak mengalir di permukaan tanah. Air tersebut lantas menyerbu beberapa aliran sungai. “Akibatnya, saat musim penghujan, ketinggian debit air Sungai Ciliwung di Katulampa ikut meningkat,” kata dia.
     Namun, dia menambahkan, banjir dan kekeringan di Jakarta bukan semata diakibatkan oleh kawasan Puncak, karena kondisi tutupan di Jakarta juga sangat berpengaruh. “Pesatnya pembangunan di Jakarta dan banyaknya okupansi situ berubah fungsi menjadi bangunan jadi penyebab utama banjir di Jakarta.”
     Kondisi ini diperparah oleh banyaknya bangunan permanen di sepanjang daerah lairan sungai (DAS) Ciliwung. “Terjadi penyempitan sungai sehingga menghambat aliran air,” kata dia.
     Pembongkaran vila dan bangunan liar di hulu Ciliwung yang tidak diiringi penanaman pohon juga dianggap Setiya sebagai penyebab cepat menggelontornya air ke sungai. “Harus dibarengi dengan penanaman dan dikembalikannya fungsi lahan menjadi hutan.”
     Memang, kata dia, upaya itu tidak terlalu maksimal. “Akan tetapi dapat menutup sedikit ketersediaan cadangan air tanah,” kata Setiya. “Pemerintah juga harus menyetop perizinan jika pengajuannya bertentangan dengan RT/RW,” kata dia.
     Sebelumnya, Kepala Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dramaga, Dedi Sucahyono, mengungkapkan debit air Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa menyusut drastis sampai posisi nol. “Ada perubahan fungsi dan pengurangan lahan di kawasan Puncak yang menjadi hulu Sungai Ciliwung,” kata Dedi.
     Seharusnya, menurut Dedi, dengan tingginya intensitas hujan pada Agustus hingga awal September di kawasan Puncak, Katulampa masih bias menampung air. “Cadangan air yang ditampung hingga Oktober mendatang.”
     Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor, Tb. Luthfie Syam, mengakui masih banyak vila dan bangunan liar dari Puncak, Bogor, hingga perbatasan Kota Depok. Ada 590 bangunan yang melanggar aturan, 100 di antaranya di Puncak. “Untuk membongkar bangunan liar tersebut, pemerintah sudah menganggarkan Rp 2 miliar. “Tinggal menunggu perintah eksekusi,” katanya.
     Dia sependapat dengan P3W IPB, pemerintah tidak semata membongkar bangunan-bangunan yang melanggar peruntukan. “Juga akan dilakukan penghijauan di sepanjang aliran sungai. Sebab, 20 sampai 30 meter kiri-kanan sungai harus steril dari bangunan,” ujar Luthfie (M Sidik Permana/Artha U. Surbakti).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 25 September 2014. Berita ini memperlihatkan bahwa alih fungsi lahan dan pengurangan lahan hutan di kawasan Puncak, Bogor, sangat berpengaruh terhadap penyusutan permukaan air Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. Dengan kondisi seperti ini, pada musim kemarau air permukaan kering dan pada musim hujan air permukaan akan menyerbu beberapa aliran sungai.

Memang peningkatan permukaan air Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane tidak menjadi satu-satunya penyebab banjir di Jakarta. Ada juga penyebab lain, seperti bangunan permanen di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane, belum dikembalikannnya fungsi vila yang dibongkar di Puncak menjadi hutan, serta pesatnya pembangunan di Jakarta. Namun, berita di atas meneguhkan bahwa desain tata ruang Jakarta harus mempertimbangkan kondisi lingkungan. Tegasnya, pemerintah perlu mengkaji dan menganalisis permasalahan lingkungan sebelum menentukan kebijakan tata ruang Jakarta. Nah, kajian ini, biasanya, diwujudkan dalam sebuah dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).  

Selama ini kita sudah mengetahui betapa perlunya AMDAL bagi kegiatan yang mengubah fungsi lingkungan hidup. Kita juga sudah paham bahwa AMDAL merupakan amanat Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Hidup. Namun, kita belum sepenuhnya benar memaknai posisi AMDAL. Kita beruntung, Ali Anwar menulis berita di atas. Kita terbantu memaknai AMDAL secara benar. Wajar bila kita perlu berterima kasih kepadanya.***


Rejodani, 30 September 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.