usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 15 Oktober 2014




Usia mereka baru belasan hingga awal 20-an tahun, tapi ditakuti pemerintah Cina



Sita Planasari Aquadini




Hong Kong—Dia merupakan salah satu tokoh muda Hong Kong yang kini menjadi incaran pemerintah Cina. Media-media di Negeri Tirai Bambu menyebutnya sebagai ekstremis, meski ia bahkan belum cukup umur untuk mengemudi.

     Namanya Joshua Wong. Usianya baru menginjak 17 tahun. Sosoknya yang tinggi, kurus, dan berkacamata mirip remaja-remaja lain di wilayah otonomi khusus tersebut. Namun Wong merupakan salah satu penggerak demonstran siswa pro-demokrasi yang memenuhi jalan-jalan di Kota Hong Kong sejak Jumat pekan lalu.

     Bersama kelompok Scholarism yang dibentuknya tiga tahun lalu, Wong memimpin puluhan ribu pemuda berunjuk rasa mendesak pemerintah Cina agar memberikan demokrasi secara penuh kepada Hong Kong. Generasi muda Hong Kong ingin bisa menentukan pemimpinnya sendiri tanpa campur tangan Beijing.

     “Lima tahun lalu, tidak banyak pemuda Hong Kong yang tertarik kepada politik. Tetapi ini berubah setelah isu pendidikan kewarganegaraan dua tahun lalu. Kami mulai peduli,” kata Wong kepada CNN, pada Jumat pekan lalu.

     Meski usianya baru 17 tahun, Wong bukan anak baru bagi pergerakan politik di Hong Kong. Dua tahun lalu, saat masih berusia 15 tahun, ia sudah memimpin protes ratusan ribu siswa dan warga yang menolak proposal pendidikan pro komunis diperkenalkan di sekolah-sekolah umum Hong Kong. Dengan bantuan beberapa teman, ia kemudian memulai sebuah kelompok protes bernama Scholarism.

     Wong dipantau langsung oleh Beijing, dan akun media sosial Scholarism ditutup paksa pemerintah Cina. Namun Wong dan gerakannya menang. Beijing akhirnya membatalkan rencana penerapakn kurikulum itu setelah aksi protes berhasil mengumpulkan 120 ribu orang, 13 aktivis menggelar aksi mogok makan, hingga menguasai sejumlah kantor pemerintah.

     Seusai wawancara dengan CNN, Wong bersama para pemuda yang memimpin aksi protes Occupy Central ditangkap. Ia baru dibebaskan dua hari kemudian. Setelah dibebaskan pada Ahad lalu, Wong kembali ke rumah untuk mandi. Dan ia kembali memimpin unjuk rasa. “Setelah pulang dan membersihkan diri, saya punya kekuatan untuk berjuang lagi,” ujar dia.

     Selain Wong, masih banyak pemuda lain yang turut serta untuk memperjuangkan demokrasi di Hong Kong. Trio Jolly Lam, 21 tahun, Clare Wong, (20), dan Phoenix Ng, (21) mengaku tak pernah bolos dari kelas. Kecuali pekan lalu hingga sekarang. “Saya siap ditangkap dan dipenjara jika Beijing menerapkan kembali aturan subversif,” tutur Lam, mahasiswi jurusan sastra Cina, dengan suara pelan tapi tegas.

     Dedikasi para pemuda untuk memberikan masa depan yang lebih baik kepada Hong Kong pun disambut oleh gerakan pro demokrasi warga, Occupy Central Hong Kong, Benny Tai, pemimpin gerakan tersebut, mengaku malu karena “kalah” cepat bergerak. “Kami tersentuh oleh aksi protes para siswa. Dan kami malu karena terlambat bergerak,” ucap Benny Tai.

     Siapa pun yang kini memimpin unjuk rasa, bagi para pemuda tak penting. “Kami siap bertaruh nyawa untuk menghindarkan Hong Kong dari masa depan suram,” kata Alex Chow, 24 tahun, Ketua Federasi Mahasiswa Hong Kong (CNN/The Strait Times/SCMP/Washington Post).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 1 Oktober 2014. Berita ini memperlihatkan kesungguhan anak muda bernama Joshua Wong memimpin demonstrasi untuk memperoleh demokrasi di Hong Kong. Dia ingin mengubah Hong Kong menjadi negara lebih demokratis daripada Hong Kong saat ini. Dia sadar betul segala konsekuensi yang akan menimpanya. Namun, dia tidak surut. Bersama dengan beberapa pemuda lain, Wong menggerakkan para demonstran demi menuntut demokrasi kepada Beijing.

Tentu saja tidak mudah bagi Wong memimpin para demonstran. Namun, dia berusaha memperbaiki kemampuan yang ada pada dirinya. Dia berusaha mencari cara yang tepat untuk mendesakkan keinginannya. Dia memposisikan dirinya dalam konteks reformasi. Dia, bahkan, mengorientasikan segala kegiatannya untuk masa depan Hong Kong yang lebih demokratis.

Kita tentu masih bisa menambah deretan fakta yang berkaitan dengan  profil Wong dan kawan-kawannya yang menjadi penggerak demonstrasi di Hong Kong. Namun, semua cerita itu akan bermuara pada satu hal: sikap yang progresif. Sikap inilah yang seharusnya ditiru atau diteladani oleh pemuda Indonesia. Tegasnya, pemuda Indonesia harus mempraktikkan budaya progresif. Dengan budaya itu, banyak keberhasilan yang bisa dicapai dan banyak target kerja yang bisa digapai.

Kita pun perlu berterima kasih kepada Sita Planasari Aquadini yang telah menulis berita ini.***

Rejodani, 15 Oktober 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.