Usia mereka baru belasan hingga awal 20-an
tahun, tapi ditakuti pemerintah Cina
Sita Planasari Aquadini
Hong Kong—Dia merupakan salah satu tokoh muda Hong Kong
yang kini menjadi incaran pemerintah Cina. Media-media di Negeri Tirai Bambu
menyebutnya sebagai ekstremis, meski ia bahkan belum cukup umur untuk
mengemudi.
Namanya
Joshua Wong. Usianya baru menginjak 17 tahun. Sosoknya yang tinggi, kurus, dan
berkacamata mirip remaja-remaja lain di wilayah otonomi khusus tersebut. Namun
Wong merupakan salah satu penggerak demonstran siswa pro-demokrasi yang
memenuhi jalan-jalan di Kota Hong Kong sejak Jumat pekan lalu.
Bersama
kelompok Scholarism yang dibentuknya tiga tahun lalu, Wong memimpin puluhan
ribu pemuda berunjuk rasa mendesak pemerintah Cina agar memberikan demokrasi
secara penuh kepada Hong Kong. Generasi muda Hong Kong ingin bisa menentukan pemimpinnya sendiri tanpa
campur tangan Beijing.
“Lima
tahun lalu, tidak banyak pemuda Hong Kong yang tertarik kepada politik. Tetapi
ini berubah setelah isu pendidikan kewarganegaraan dua tahun lalu. Kami mulai
peduli,” kata Wong kepada CNN, pada Jumat pekan lalu.
Meski
usianya baru 17 tahun, Wong bukan anak baru bagi pergerakan politik di Hong
Kong. Dua tahun lalu, saat masih berusia 15 tahun, ia sudah memimpin protes
ratusan ribu siswa dan warga yang menolak proposal pendidikan pro komunis
diperkenalkan di sekolah-sekolah umum Hong Kong. Dengan bantuan beberapa teman,
ia kemudian memulai sebuah kelompok protes bernama Scholarism.
Wong
dipantau langsung oleh Beijing, dan akun media sosial Scholarism ditutup paksa
pemerintah Cina. Namun Wong dan gerakannya menang. Beijing akhirnya membatalkan
rencana penerapakn kurikulum itu setelah aksi protes berhasil mengumpulkan 120
ribu orang, 13 aktivis menggelar aksi mogok makan, hingga menguasai sejumlah
kantor pemerintah.
Seusai
wawancara dengan CNN, Wong bersama para pemuda yang memimpin aksi protes
Occupy Central ditangkap. Ia baru dibebaskan dua hari kemudian. Setelah
dibebaskan pada Ahad lalu, Wong kembali ke rumah untuk mandi. Dan ia kembali
memimpin unjuk rasa. “Setelah pulang dan membersihkan diri, saya punya kekuatan
untuk berjuang lagi,” ujar dia.
Selain
Wong, masih banyak pemuda lain yang turut serta untuk memperjuangkan demokrasi
di Hong Kong. Trio Jolly Lam, 21 tahun, Clare Wong, (20), dan Phoenix Ng, (21)
mengaku tak pernah bolos dari kelas. Kecuali pekan lalu hingga sekarang. “Saya
siap ditangkap dan dipenjara jika Beijing menerapkan kembali aturan subversif,”
tutur Lam, mahasiswi jurusan sastra Cina, dengan suara pelan tapi tegas.
Dedikasi
para pemuda untuk memberikan masa depan yang lebih baik kepada Hong Kong pun
disambut oleh gerakan pro demokrasi warga, Occupy Central Hong Kong, Benny Tai,
pemimpin gerakan tersebut, mengaku malu karena “kalah” cepat bergerak. “Kami
tersentuh oleh aksi protes para siswa. Dan kami malu karena terlambat
bergerak,” ucap Benny Tai.
Siapa
pun yang kini memimpin unjuk rasa, bagi para pemuda tak penting. “Kami siap
bertaruh nyawa untuk menghindarkan Hong Kong dari masa depan suram,” kata Alex
Chow, 24 tahun, Ketua Federasi Mahasiswa Hong Kong (CNN/The Strait Times/SCMP/Washington Post).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 1
Oktober 2014. Berita ini memperlihatkan
kesungguhan anak muda bernama Joshua Wong memimpin demonstrasi untuk memperoleh
demokrasi di Hong Kong. Dia ingin mengubah Hong Kong menjadi negara lebih
demokratis daripada Hong Kong saat ini. Dia sadar betul segala konsekuensi yang
akan menimpanya. Namun, dia tidak surut. Bersama dengan beberapa pemuda lain,
Wong menggerakkan para demonstran demi menuntut demokrasi kepada Beijing.
Tentu saja tidak mudah bagi Wong memimpin para
demonstran. Namun, dia berusaha memperbaiki kemampuan yang ada pada dirinya.
Dia berusaha mencari cara yang tepat untuk mendesakkan keinginannya. Dia
memposisikan dirinya dalam konteks reformasi. Dia, bahkan, mengorientasikan
segala kegiatannya untuk masa depan Hong Kong yang lebih demokratis.
Kita tentu masih bisa menambah deretan fakta yang
berkaitan dengan profil Wong dan
kawan-kawannya yang menjadi penggerak demonstrasi di Hong Kong. Namun, semua
cerita itu akan bermuara pada satu hal: sikap yang progresif. Sikap inilah yang
seharusnya ditiru atau diteladani oleh pemuda Indonesia. Tegasnya, pemuda
Indonesia harus mempraktikkan budaya progresif. Dengan budaya itu, banyak
keberhasilan yang bisa dicapai dan banyak target kerja yang bisa digapai.
Kita pun perlu berterima kasih kepada Sita Planasari
Aquadini yang telah menulis berita ini.***
Rejodani, 15 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar