Wajah jurnalisme
Indonesia merupakan rupa dan rona jurnalisme Indonesia. Ia direpresentasikan
oleh berita-berita yang disiarkan media pers Indonesia. Ia akan menjadi mulus
kalau berita yang disiarkan media pers Indonesia tidak bermasalah. Sebaliknya, ia
akan lusuh kalau berita yang disiarkan
media pers Indonesia bermasalah. Dengan begitu, penampilan berita bisa menjadi indikator untuk menilai wajah
jurnalisme Indonesia.
Persoalan yang kemudian timbul
adalah, bagaimana kita bisa mengidentifikasi masalah yang terkandung dalam
jurnalisme Indonesia? Sesungguhnya masalah yang terkandung dalam jurnalisme
tersebut berkaitan dengan wartawan (yang mempraktikkan jurnalisme), kondisi khalayak
(yang membaca berita), dan media pers (yang menyiarkan berita). Kita lihat dulu
masalah jurnalisme yang berkaitan dengan wartawan.
Bila dilihat
praktik jurnalisme Indonesia mutakhir, sedikitnya terdapat empat potensi masalah
jurnalisme yang berkaitan dengan wartawan. Potensi itu meliputi, pertama, berkurangnya peran wartawan
dalam mencerahkan pikiran khalayak, meningkatkan martabat khalayak, memperbesar
semangat khalayak menjalani kehidupan, dan menjaga menjaga moral khalayak.
Semua itu terjadi karena wartawan terpaksa harus mengutamakan kepentingan media
tempat mereka bekerja.
Kedua,
menyeimbangkan keinginan beropini dengan profesionalisme dalam “berberita”
kepada khalayak. Keinginan ini untuk beropini muncul karena wartawan sangat
ingin memenuhi kebutuhan informasi khalayak. Lebih dari itu, wartawan punya
banyak informasi yang mereka peroleh dari hasil interaksi dengan narasumber dan
membaca berbagai dokumen. Sayang, mereka harus mengutamakan profesionalisme.
Ketiga, berempati pada penderitaan orang, baik yang berasal
dari struktur sosial maupun yang bersifat individual karena dorongan media pers
untuk selalu menyajikan berita yang menarik Berempati terhadap penderitaan
orang lain tentu saja baik. Ia, bahkan, dianjurkan. Ia menjadi tidak baik
karena didorong oleh keinginan media pers untuk menyiarkan berita yang menarik.
Padahal belum tentu berita yang menarik menjadi penting bagi khalayak. Kecuali
itu, dari sisi khalayak, unsur penting lebih utama daripada unsur menarik.
Keempat, terjerumus menjadi corong narasumber karena begitu seriusnya
menggali pendapat narasumber. Memang tidak mudah mencari narasumber yang bisa
memenuhi keinginan wartawan. Wajar bila wartawan menemukan narasumber yang
disenangi akan merasa sangat beruntung. Saking beruntungnya, mereka sangat
bersemangat menggali informasi dari sang narasumber. Tanpa sadar mereka jadi
corong si narasumber.
Bertolak dari sini, wartawan perlu mendidik
diri mereka untuk tidak membiarkan potensi masalah itu menjadi masalah yang
sebenarnya. Soalnya, masalah itu akan merusak wajah jurnalisme Indonesia. Wajah
jurnalisme Indonesia yang rusak akan mempengaruhi kepercayaan khalayak kepada
media pers Indonesia.***
Rejodani, 15
Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar