usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 15 Oktober 2014


 
       Wajah jurnalisme Indonesia merupakan rupa dan rona jurnalisme Indonesia. Ia direpresentasikan oleh berita-berita yang disiarkan media pers Indonesia. Ia akan menjadi mulus kalau berita yang disiarkan media pers Indonesia tidak bermasalah. Sebaliknya, ia  akan lusuh kalau berita yang disiarkan media pers Indonesia bermasalah. Dengan begitu, penampilan berita  bisa menjadi indikator untuk menilai wajah jurnalisme Indonesia.

            Persoalan yang kemudian timbul adalah, bagaimana kita bisa mengidentifikasi masalah yang terkandung dalam jurnalisme Indonesia? Sesungguhnya masalah yang terkandung dalam jurnalisme tersebut berkaitan dengan wartawan (yang mempraktikkan jurnalisme), kondisi khalayak (yang membaca berita), dan media pers (yang menyiarkan berita). Kita lihat dulu masalah jurnalisme yang berkaitan dengan wartawan.

Bila dilihat praktik jurnalisme Indonesia mutakhir, sedikitnya terdapat empat potensi masalah jurnalisme yang berkaitan dengan wartawan. Potensi itu meliputi, pertama, berkurangnya peran wartawan dalam mencerahkan pikiran khalayak, meningkatkan martabat khalayak, memperbesar semangat khalayak menjalani kehidupan, dan menjaga menjaga moral khalayak. Semua itu terjadi karena wartawan terpaksa harus mengutamakan kepentingan media tempat mereka bekerja.

      Kedua, menyeimbangkan keinginan beropini dengan profesionalisme dalam “berberita” kepada khalayak. Keinginan ini untuk beropini muncul karena wartawan sangat ingin memenuhi kebutuhan informasi khalayak. Lebih dari itu, wartawan punya banyak informasi yang mereka peroleh dari hasil interaksi dengan narasumber dan membaca berbagai dokumen. Sayang, mereka harus mengutamakan profesionalisme. 

Ketiga, berempati pada penderitaan orang, baik yang berasal dari struktur sosial maupun yang bersifat individual karena dorongan media pers untuk selalu menyajikan berita yang menarik Berempati terhadap penderitaan orang lain tentu saja baik. Ia, bahkan, dianjurkan. Ia menjadi tidak baik karena didorong oleh keinginan media pers untuk menyiarkan berita yang menarik. Padahal belum tentu berita yang menarik menjadi penting bagi khalayak. Kecuali itu, dari sisi khalayak, unsur penting lebih utama daripada unsur menarik.  

Keempat, terjerumus menjadi corong narasumber karena begitu seriusnya menggali pendapat narasumber. Memang tidak mudah mencari narasumber yang bisa memenuhi keinginan wartawan. Wajar bila wartawan menemukan narasumber yang disenangi akan merasa sangat beruntung. Saking beruntungnya, mereka sangat bersemangat menggali informasi dari sang narasumber. Tanpa sadar mereka jadi corong si narasumber.

 Bertolak dari sini, wartawan perlu mendidik diri mereka untuk tidak membiarkan potensi masalah itu menjadi masalah yang sebenarnya. Soalnya, masalah itu akan merusak wajah jurnalisme Indonesia. Wajah jurnalisme Indonesia yang rusak akan mempengaruhi kepercayaan khalayak kepada media pers Indonesia.***
Rejodani, 15 Oktober 2014


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.