usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 17 September 2014

Raihul Fadjri
fadjri@tempo.co.id

Warga keturunan Arab mengadukan Menteri Pendidikan kepada Komnas HAM.

Surakarta—Lembaga Bantuan Hukum Mega Bintang mengadukan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Mohammad Nuh ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kemarin. Lembaga itu menuding Menteri Nuh mengeluarkan buku pelajaran yang berisi pelecehan terhadap keturunan Arab. “Saya kuasa hukum warga Surakarta bernama Muhsin Al Jufri yang merasa dilecehkan oleh isi buku pelajaran itu,” kata pengacara LBH Mega Bintang, Arief Sahudi, kemarin.
     Buku yang dipermasalahkan itu adalah buku pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP/MTs kelas IX. Buku yang masuk kategori buku sekolah elektronik (BSE) tersebut diterbitkan oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional pada 2008. “Hingga saat ini buku tersebut masih beredar di sekolah-sekolah,” kata Arief.
     Dia mempermasalahkan kutipan novel yang menjadi contoh bacaan dalam uji kompetensi. Pada halaman 110 ada cerita Midun yang merasa tertipu oleh lintah darat bernama Syekh Abdullah. “Dalam kutipan tersebut jelas tertulis bahwa Syekh Abdullah merupakan orang yang memiliki ras Arab,” katanya.
     Pada buku itu tertulis kutipan novel: “Terperanjat sungguh Midun mendengar perkataan Syekh Abdullah itu. Ia tahu uang yang dipinjamnya Cuma f250, tiba-tiba sekarang jadi f500. Maka ia pun berkata dengan cemasnya. Katanya, ‘Berapa Tuan? F500? Mengapa jadi f500. Padahal saya terima uang dari Tuan cuma f250 ?’ Ya, f500! Ujar Syekh Abdullah pula.
     Muka Midun jadi merah menahan marah, karena ia maklum, bahwa ia sudah tertipu. Amat sakit hatinya kepada orang Arab itu. Ia tidak dapat lagi menahan hati karena sangat panas hatinya. Ketakutannya hilang, kehormatannya kepada orang Arab lenyap sama sekali.”
     Menurut Arief, beberapa soal yang menyertai kutipan novel itu makin melecehkan masyarakat keturunan Arab. “Kami menyayangkan tulisan seperti itu diberikan di dunia pendidikan,” katanya. Dia khawatir tulisan itu akan menciptakan stigma buruk terhadap warga ras Arab yang tertanam dalam pikiran siswa.
     Arief sejatinya tidak mempermasalahkan cerita novel itu. “Kami juga tidak akan melacak novel yang menjadi rujukan buku tersebut,” katanya. Pihaknya hanya mempersoalkan penggalan cerita yang dipilih untuk menjadi bahan bacaan dalam buku pelajaran itu. “Kalau untuk bacaan siswa seharusnya dipilih penggalan cerita yang bersifat mendidik,” katanya.
     Dalam somasi yang dikirim, Arief meminta Menteri Nuh segera menarik serta merevisi buku tersebut. Dia juga meminta agar Menteri Nuh segera meminta maaf secara terbukan kepada masyarakat. Tujuannya, agar menjadi rehabilitasi terhadap pemahaman siswa yang terdampak oleh materi buku tersebut. (Ahmad Rafiq).

    Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Sabtu, 13 September 2014. Berita tersebut melaporkan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah lalai membiarkan buku pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP/MTs kelas IX terbit dan beredar di kalangan siswa SMP dan MTs. Padahal buku versi elektronik tersebut melecehkan warga negara Indonesia (WNI) keturunan Arab.

       Pelecehan terhadap ras Arab memang akan berdampak negatif dalam kehidupan bersama. Soalnya, sikap tersebut mempengaruhi sikap orang lain dalam menerima ras Arab. Bahkan, sikap itu bisa menjadi penghalang bagi usaha menciptakan persatuan Indonesia.

        Seharusnya buku bahasa Indonesia untuk SMP/MTs tersebut membangun solidaritas di antara berbagai ras yang ada di Indonesia. Sebabnya, solidaritas, kata Kasdin Sihotang (2009:115), merupakan cara melihat realitas dan menerima orang lain, bahkan dalam melihat dunia. Solidaritas merupakan sikap yang dekat dengan pengalaman hidup seorang individu. Solidaritas, bahkan, bisa menjadi sebuah prinsip yang mempersatukan setiap orang menurut partisipasinya dalam kehidupan bersama,

    Dalam konteks ini, protes WNI keturunan Arab kepada Menteri Pendidikan Kebudayaan masuk akal. Dengan pelecehan itu, mereka bukan mustahil tidak diterima di dalam pergaulan bersama. Mungkin ada yang bilang bahwa protes itu berlebihan. Namun, yang diingatkan berita tersebut bahwa, semua yang memungkinkan terhalangnya kebersamaan dalam masyarakat perlu dihindari. Semua yang memungkinkan terganggunya persatuan di Indonesia perlu dihilangkan.

       Nah, kita memerlukan Raihul Fadjri dan wartawan-wartawan lain yang mampu melihat sesuatu yang bisa menghalangi kebersamaan dalam masyarakat dan mengganggu persatuan Indonesia.***

Rejodani, 15 September 2014  

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.