Tradisi,
kata almarhum W.S. Rendra (2007:2), merupakan kebiasaan bersama dalam
masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi-reaksi para
anggota masyarakat itu dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan yang menjadi
sumber kebiasaan tersebut, antara lain pengertian baik-buruk, benar-salah,
pantas-tidak pantas, adil-tidak adil, halal-tidak halal, yang semuanya bersumber
pada agama, kepercayaan, mitologi, ideologi masyarakat. Dengan begitu, tradisi bisa
berubah. Hanya saja, perubahan itu sesuai dengan perkembangan penghayatan
terhadap semua sumber kebiasaan masyarakat.
Meminjam pengertian tradisi di atas, tradisi jurnalisme adalah kebiasaan
bersama dalam proses jurnalisme, yang secara otomatis mempengaruhi pengambilan
keputusan tentang berita yang laik siar. Salah satu kebiasan bersama yang
penting adalah proses gatekeeping
(kepenjagaan gawang). Yang melakukan proses ini disebut gatekeeper (penjaga gawang), mulai dari redaktur pelaksana, wakil
pemimpin redaksi, hingga pemimpin redaksi.
Kepenjagaan gawang merupakan proses pemilihan fakta yang kemudian dikonstruksikan
menjadi sebuah berita dan disiarkan kepada khalayak. Kalau berita tersebut
diterima khalayak, tentu ia menentukan versi khalayak dalam memandang realitas
sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, ia bisa menjadi sebuah
visi dalam memandang dunia ini. Wajar bila berita memiliki makna sosial.
Dari sisi gatekeeper, selalu muncul keinginan agar berita yang disiarkannya
bermanfaat buat khalayak. Semakin banyak manfaat yang dirasakan khalayak,
semakin senang sang gatekeeper.
Keadaan ini menyebabkan gatekeeper
harus memperhatikan khalayak. Nah, kegiatan gatekeeper
memperhatikan khalayak ini, oleh Kasdin Sihotang (2009:113) dianggap merupakan
bagian dari nilai sosialitas.
Bila dililihat lebih lanjut, keadaan
ini akan menjadikan seorang gatekeeper
merasa bahwa khalayak bermanfaat buat dirinya. Dia menjalani profesinya karena,
terutama, keberadaan khalayak. Dia menjadi gatekeeper
karena diperteguh khalayak. Tegasnya, dia menjadi subjek menjalani profesinya
karena ada subjek lain yang bernama khalayak. Tanpa terasa terjadilah kondisi: gatekeeper dan khalayak membutuhkan satu
sama lain dalam rangka menyiarkan berita yang bermanfaat buat khalayak.
Bertolak dari kenyataan ini kita
tentu boleh berpendapat bahwa hidup gatekeeper
dan khalayak merupakan hubungan timbal balik. Dalam hubungan seperti inilah
lahir keputusan gatekeeper untuk
menyiarkan berita yang sampai kepada khalayak. Berita ini menjadi bagian dari
realitas yang dirasakan oleh khalayak. Tanpa sadar gatekeeper sudah menjadi pihak yang terlibat dalam pembentukan
realitas sosial.
Seorang gatekeeper yang baik tentu saja berusaha menyiarkan berita tentang
peristiwa atau ide yang akurat. Dia akan berusaha menjadikan berita yang dia
siarkan sebagai gambaran dari dunia yang sesungguhnya. Namun, secara umum, gatekeeper tidak lepas dari usaha untuk
menyiarkan berita dengan cara semenarik mungkin. Bukankah kita selalu ingat
dengan jargon tentang praktik kerja media pers: media pers tidak menjual
peristiwa, melainkan menjual berita tentang peristiwa itu?***
Rejodani,
15 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar