Media asing cenderung memihak Israel dalam
serangan Gaza.
New
York—saat Israel menyerang Gaza pada awal 209, Ayman Mohyeldin merupakan satu
dari segelintir jurnalis yang berada di lokasi untuk melaporkan kejadian itu.
Ia juga melaporkan kisah serangan udara Israel ke Gaza pada November 2012. Dan
Rabu lalu, pria keturunan Mesir itu kembali menjadi saksi serangan brutal
Israel yang menewaskan empat anak Palestina di Pantai Gaza.
“Saya dan rekan saya sempat berhenti
menemui mereka (keempat korban). Kami bahkan sempat bermain sepak bola bersama
mereka selama beberapa menit,” kata Ayman kepada Chris Hayes dari MSNBC. Beberapa menit setelah Ayman dan
rekannya pergi, keempat bocah itu tewas dihantam dua misil kapal perang Israel,
saat masih bermain bola.
Ayman sempat mewawancarai salah satu
bocah yang selamat dalam serangan itu di rumah sakit. Melalui akun Facebook, jurnalis stasiun televisi
Amerika Serikat, NBC News, itu
mengunggah foto dan video yang menampilkan kesedihan luar biasa seorang ibu
yang anaknya tewas dalam insiden tersebut.
Namun, hanya sehari kemudian, Ayman
tak lagi berada di Gaza saat Israel memulai serangan darat pada Kamis lalu. Ia
juga tidak meliput konflik lain wilayah Timur Tengah, seperti Yarussalem maupun
Kairo. Ayman pun tak lagi aktif di media sosial, di mana ia memiliki banyak
pengikut karena kerap menyajikan cuitan, foto, hingga video terbaru dalam
serangan di Gaza. Tentu saja dengan perspektif korban alias warga Gaza.
Rupanya NBC News memutuskan untuk menarik Ayman dari Gaza. Menurut jurnalis
Glenn Greenwald kepada The Intercept, petinggi
stasiun televisi itu,
David Verdi, mengatakan bahwa pertimbangan keamanan menjadi alasan penarikan
Ayman dari Gaza. Anehnya, setelah menarik Ayman, NBC kemudian mengirimkan
Richard Engel, kepala koresponden asing keturunan Yahudi, ke Gaza.
Keputusan itu membuat rekan-rekan
Ayman di NBC berang. “Ayman melakukan
pekerjaan yang luar biasa dalam liputan Gaza dan dia merupakan kolega yang
sangat dihormati,” ujar Andrea Mitchell, kepala koresponden urusan luar negeri NBC, kepada Huffington Post. Sejumlah jurnalis dari media lain hingga pengikut
Ayman di Twitter turut meradang.
Tagar #LetAymanreport pun sempat menjadi topik terpopuler di Twitter.
Banyak pihak menuding, pencopotan
Ayman dari liputan Gaza dipicu oleh sebuah cuitannya terkait dengan kematian
keempat bocah Palestina. Dalam cuitan tersebut, Ayman menulis bahwa Kementerian
Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan Hamas menjadi pihak paling bertanggung
jawab atas kematian bocah Palestina karena menolak gencatan senjata. Cuitan itu
kemudian dihapus.
Adapun
Greenwald, jurnalis yang bekerja sama dengan Edward Snowden saat membuka
rahasia kelam badan intelijen Amerika Serikat, memiliki prasangka berbeda.
Menurut Greenwald, selama dua pekan liputan Ayman di Gaza, “Ia memberikan
laporan yang lebih berimbang daripada media mainstream
AS yang pro Israel. Laporannya menyediakan konteks ihwal konflik yang
selama ini hilang dari laporan media AS lainnya.”
Alhasil,
sejumlah media konservatif pro-Israel di Negeri Abang Sam menyebut Ayman
sebagai “juru bicara Hamas” hingga “pro-tikus Hamas.”
Bias
laporan konflik Gaza memang sangat massif di Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat lainnya.
Demonstrasi besar-besaran terhadap kantor berita Inggris, BBC, terjadi di sejumlah kota besar Inggris, seperti London,
Newcastle, Manchester, dan Liverpool, pada Selasa lalu. Massa memprotes laporan
BBC yang dinilai sangat berpihak pada
Israel sebagai agresor dalam konflik Gaza. *Huffington
Post/The Intercept/Mondoweiss/The Independent-(Sita Planasari Aquadini: sitaplanasari@tempo.co.id).
Demikianlah berita
yang disiarkan Koran Tempo, Sabtu, 19
Juli 2014. Berita tersebut menunjukkan bahwa petinggi NBC News tidak merasa happy dengan berita yang disiarkan Ayman
Mohyeldin. Dia menarik Ayman dari Gaza dan menggantinya dengan Richard
Engel, keturunan Yahudi. Mengapa diganti juga dijelaskan oleh berita di atas,
karena NBC News tidak ingin ada berita tentang Gaza yang tidak mengutamakan
kepentingan Israel.
NBC merupakan salah satu stasiun televisi swasta raksasa
Amerika Serikat (AS). Ia, kata Amien Rais (2008:117), sangat berpengaruh dalam
meletakkan arah pemberitaan di AS. Ia harus sejalan dengan korporasi yang
membiayainya. Akibatnya, wartawan dan korespondennya harus mengerti kepentingan
korporasi yang membiayai televisi itu. Kalau tidak, mereka bisa dipindahkan, diskors
atau dipecat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa posisi televisi sebagai
pilar keempat demokrasi tidak lagi berlaku sepenuhnya di AS. Televisi sudah
menjadi corong korporasi besar. Lalu, apa tujuannya? Tentu saja bukan untuk
melindungi kepentingan masyarakat, melainkan untuk melindungi kepentingan
korporasi besar tersebut. Lantas, bagaimana mungkin kita berharap televisi swasta
raksasa AS lain, seperti ABC, CBS, dan CNN menyiarkan berita yang berpangkal
dan bermuara kepada kemanusiaan seperti yang disarankan oleh Jakob Oetama?
Repotnya, apa yang terjadi di televisi AS sudah
dianggap baik oleh televisi swasta Indonesia. Televisi swasta Indonesia pun
ingin menirunya. Sejauh ini, televisi swasta Indonesia sudah berhasil menirunya
(Baca: Intervensi Bos Televisi Tak
Kunjung Henti). Maka, masih perlukah kita bertanya lagi tentang kondisi
berita yang disiarkan televisi swasta Indonesia?
Kita perlu berterima kasih kepada Sita Planasari
Aquadini yang telah membuka kesadaran kita bersama tentang politik pemberitaan
salah satu televisi swasta raksasa AS.***
Rejodani,
31 Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar