G.C. Adams memaknai
jurnalisme sebagai “bentuk ekspresi yang digunakan untuk memberikan laporan dan
komentar pada media publik mengenai peristiwa dan gagasan aktual” (Dalam Bryant
dan Pribani-Smith (2014). Pengertian ini menekankan “ungkapan” wartawan dalam menulis berita. Sekalipun
mengutamakan “ungkapan”, tetap saja ia melaporkan fakta tentang peristiwa dan
ide yang aktual melalui media pers.
Dalam proses
pelaporan fakta tentang peristiwa dan ide, terjadilah proses pembersihan emosi
wartawan. Wartawan tidak boleh memasukkan emosinya. Bukan cuma itu, wartawan
juga tidak berhak memasukkan pendapatnya. Maka wartawan haruslah individu yang
bisa mengendalikan perasaannya dan menahan pendapatnya (Dalam bahasa anak muda
sekarang, wartawan harus cool).
Namun, laporan fakta
tentang peristiwa dan ide itu, kata Jakob Oetama, haruslah berpangkal dan
bermuara pada kemanusiaan (Dalam Dewabrata, 2010:xiv). Degan begitu, laporan
itu harus menyentuh emosi pembaca. Artinya, laporan tersebut harus berisi
muatan emosi.
Sampai di sini,
muncul pertanyaan, apa sesungguhnya tugas jurnalisme? Tugas jurnalisme,
bertolak dari pengertian di atas, adalah: merekonstruksikan
semua peristiwa dan kejadian yang aktual, yang berpangkal dan bermuara pada
kemanusiaan, untuk kepentingan khalayak, tanpa memasukkan emosi dan pendapat
wartawan, serta menyiarkannya melalui media pers. Lalu, siapa yang
menjalankan tugas ini?
Secara normatif, yang
menjalankan tugas jurnalisme adalah wartawan. Wartawan tidak boleh tergelincir
dalam melaksanakan tugas ini. Mereka perlu menjalankan tugas ini secara
proporsional.
Berdasarkan
kenyataan di lapangan, berhasil-tidaknya tugas jurnalisme sangat ditentukan
oleh wartawan dan media pers. Artinya, kalau wartawan dan media pers ingin
membangun jurnalisme yang baik, mereka harus benar-benar menjalankan tugas
jurnalisme itu secara murni dan konsekuen. Mereka harus disiplin mentaati semua
yang termaktub dalam tugas jurnalisme tersebut.
Mungkin timbul
pertanyaan, bagaimana kalau wartawan tidak bisa menjaga amanat yang terkandung
dalam tugas jurnalisme? Terlebih dulu, kita harus mencari penyebabnya. Apakah
yang menjadi penyebabnya? Wartawan atau tugas jurnalisme? Kalau wartawan, tidak
ada jalan keluar yang lain selain mendidik diri mereka untuk mengerjakan tugas
jurnalisme itu secara murni dan konsekuen. Kalau tugas jurnalisme, tentu kita perlu
melihat tugas jurnalisme itu dengan pandangan yang jernih. Kita harus
mempertanyakan posisi tugas jurnalisme itu, misalnya, apakah masih cocok dengan
perkembangan media pers? Atau apakah masih sesuai dengan kebutuhan informasi
khalayak? Atau apakah terlalu berat bagi wartawan?
Jawaban dari
pertanyaan ini hanya bisa dilakukan lewat penelitian yang saksama. Dalam
konteks inilah perlunya didirikan laboratorium jurnalisme (Sayang, berbeda
dengan istilah laboratorium ilmu politik, istilah laboratotium jurnalisme belum
lazim di Indonesia). Laboratorium ini kelak bisa melakukan penelitian yang pada
gilirannya menghasilkan formulasi yang cocok tentang tugas jurnalisme,
misalnya, untuk Indonesia yang sedang berupaya mengejar ketertinggalannya dibandingkan
dengan Singapura dan Malaysia. Atau menuju Indonesia yang lebih menghargai
kemanusiaan (Bagi mereka yang tertarik dengan laboratorium jurnalisme, silakan
hubungi saya di ana.abrar@gmail.com.
Kita akan bicarakan pendiriannya bersama-sama).***
Rejodani, 31 Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar