usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 03 Agustus 2014




G.C. Adams memaknai jurnalisme sebagai “bentuk ekspresi yang digunakan untuk memberikan laporan dan komentar pada media publik mengenai peristiwa dan gagasan aktual” (Dalam Bryant dan Pribani-Smith (2014). Pengertian ini menekankan “ungkapan”  wartawan dalam menulis berita. Sekalipun mengutamakan “ungkapan”, tetap saja ia melaporkan fakta tentang peristiwa dan ide yang aktual melalui media pers.

Dalam proses pelaporan fakta tentang peristiwa dan ide, terjadilah proses pembersihan emosi wartawan. Wartawan tidak boleh memasukkan emosinya. Bukan cuma itu, wartawan juga tidak berhak memasukkan pendapatnya. Maka wartawan haruslah individu yang bisa mengendalikan perasaannya dan menahan pendapatnya (Dalam bahasa anak muda sekarang, wartawan harus cool).

Namun, laporan fakta tentang peristiwa dan ide itu, kata Jakob Oetama, haruslah berpangkal dan bermuara pada kemanusiaan (Dalam Dewabrata, 2010:xiv). Degan begitu, laporan itu harus menyentuh emosi pembaca. Artinya, laporan tersebut harus berisi muatan emosi. 

Sampai di sini, muncul pertanyaan, apa sesungguhnya tugas jurnalisme? Tugas jurnalisme, bertolak dari pengertian di atas, adalah: merekonstruksikan semua peristiwa dan kejadian yang aktual, yang berpangkal dan bermuara pada kemanusiaan, untuk kepentingan khalayak, tanpa memasukkan emosi dan pendapat wartawan, serta menyiarkannya melalui media pers. Lalu, siapa yang menjalankan tugas ini?

Secara normatif, yang menjalankan tugas jurnalisme adalah wartawan. Wartawan tidak boleh tergelincir dalam melaksanakan tugas ini. Mereka perlu menjalankan tugas ini secara proporsional.

Berdasarkan kenyataan di lapangan, berhasil-tidaknya tugas jurnalisme sangat ditentukan oleh wartawan dan media pers. Artinya, kalau wartawan dan media pers ingin membangun jurnalisme yang baik, mereka harus benar-benar menjalankan tugas jurnalisme itu secara murni dan konsekuen. Mereka harus disiplin mentaati semua yang termaktub dalam tugas jurnalisme tersebut.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana kalau wartawan tidak bisa menjaga amanat yang terkandung dalam tugas jurnalisme? Terlebih dulu, kita harus mencari penyebabnya. Apakah yang menjadi penyebabnya? Wartawan atau tugas jurnalisme? Kalau wartawan, tidak ada jalan keluar yang lain selain mendidik diri mereka untuk mengerjakan tugas jurnalisme itu secara murni dan konsekuen. Kalau tugas jurnalisme, tentu kita perlu melihat tugas jurnalisme itu dengan pandangan yang jernih. Kita harus mempertanyakan posisi tugas jurnalisme itu, misalnya, apakah masih cocok dengan perkembangan media pers? Atau apakah masih sesuai dengan kebutuhan informasi khalayak? Atau apakah terlalu berat bagi wartawan?

Jawaban dari pertanyaan ini hanya bisa dilakukan lewat penelitian yang saksama. Dalam konteks inilah perlunya didirikan laboratorium jurnalisme (Sayang, berbeda dengan istilah laboratorium ilmu politik, istilah laboratotium jurnalisme belum lazim di Indonesia). Laboratorium ini kelak bisa melakukan penelitian yang pada gilirannya menghasilkan formulasi yang cocok tentang tugas jurnalisme, misalnya, untuk Indonesia yang sedang berupaya mengejar ketertinggalannya dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Atau menuju Indonesia yang lebih menghargai kemanusiaan (Bagi mereka yang tertarik dengan laboratorium jurnalisme, silakan hubungi saya di ana.abrar@gmail.com. Kita akan bicarakan pendiriannya bersama-sama).***

Rejodani, 31 Juli 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.