Kita pernah
mendengar pendapat bahwa jurnalisme merupakan bentuk ekspresi (Baca: Tugas
Jurnalisme dalam blog ini). Namun, ekspresi itu bukan hasil olah rasa wartawan.
Ia bukan pula hasil pengembaraan imajinasi wartawan. Ia adalah hasil olah pikir
wartawan berdasarkan fakta yang ditemuinya menggunakan logika jurnalisme.
Dengan demikian,
ekspresi itu tidak terbatas. Ia bisa menyangkut apa saja. Ia juga mengangkut
apa saja. Namun, kebiasaan menunjukkan bahwa ekspresi itu berurusan dengan
kepentingan orang banyak. Artinya, jurnalisme hanya berurusan dengan fakta
tentang orang banyak. Inilah yang kemudian disebut sebagai batas jurnalisme
itu.
Sampai di sini
muncul masalah, siapa sebenarnya yang layak menjadi aktor dalam berita tentang
orang banyak itu? Jawabannya tegas, semua pihak yang mengurusi, mengelola dan
yang mewakili orang banyak. Misalnya pejabat publik (mulai dari kepala-kepala
kantor, bupati, walikota, gubernur, direktur jenderal, menteri hingga
presiden), public figure (artis,
seniman, dan sastrawan) hingga tokoh publik (mulai dari pendamping rakyat
miskin, penggagas komunitas peduli lingkungan sampai tokoh oposisi). Namun,
kepada semua aktor itu harus ditanyakan dan dikonfirmasikan tentang apa yang
telah mereka lakukan untuk mengutamakan kepentingan orang banyak.
Dengan sendirinya
wartawan harus peduli dengan kepentingan orang banyak. Mereka harus mengenal
persis kehidupan orang banyak. Mereka perlu merasakan apa yang dirasakan orang
banyak. Mereka, bahkan, perlu memiliki kesadaran tentang penderitaan orang
banyak. Tegasnya, mereka menjadi “bagian” dari orang banyak.
Ketika menjadi
“bagian” dari orang banyak inilah wartawan membangun rasa pengabdiannya kepada
orang banyak. Ketika pengabdian itu sudah terbangun, tanpa sadar mereka akan
berusaha memajukan dan mensejahterakan orang banyak lewat informasi. Informasi
ini yang mereka “buru” dari aktor dan narasumber yang kelak mereka sampaikan
kepada orang banyak lewat media pers.
Lalu, bolehkah
wartawan mengumpulkan informasi tersebut dari media online? Dalam ungkapan yang lain: apakah wartawan menulis berita
dengan merajut informasi yang mereka peroleh dari berbagai media, termasuk
media online, ataukah harus
mengumpulkan fakta langsung ke lapangan? Kaum objektif akan mengatakan, berita
adalah berita. Sepanjang penulisan berita dilakukan bertolak dari kemampuan
jurnalisme yang tinggi dan dipandu oleh etika jurnalistik, tidak ada masalah. Namun,
kaum subjektif akan menyangkal pendapat ini. Mereka akan mengatakan bahwa
wartawan harus mencari sendiri fakta ke lapangan. Mereka tidak boleh egois:
mencari yang enaknya saja. Mereka tidak boleh mereduksi hasil karya wartawan
lain.
Maka, terjadilah
perdebatan. Lama-kelamaan perdebatan itu berkembang menjadi perdebatan klasik
yang bagi masyarakat awam cukup memusingkan. Untuk menyelesaikan perdebatan
ini, agaknya wartawan perlu melihat wacana yang berkembangan dalam masyarakat.
Kalau masyarakat tidak keberatan dengan
pendapat kaum objektif, wartawan mengikutinya. Bukankah berita itu
diorientasikan untuk mengutamakan kepentingan masyarakat?***
Rejodani,
15 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar